Rokok dan Nawacita
Hasbullah Thabrany ; Guru
Besar UI
|
KOMPAS, 27 April
2016
Kementerian Perindustrian
mengganjal Nawacita. Semua orang tahu rokok membahayakan kesehatan serta
membunuh diri sendiri dan orang lain secara perlahan. Fakta bahaya rokok di
dunia sudah tak terbilang. Oleh karena itu, Mufti Mesir telah mengharamkan
konsumsi, produksi, dan berjualan rokok sejak lebih 30 tahun lalu. Selain
itu, merokok adalah konsumsi mubazir.
Seberapa mubazir bangsa ini?
Jumlah cukai rokok yang diterima pemerintah tahun 2015 Rp 139 triliun. Itu
adalah denda perokok, bukan kontribusi industri rokok. Rata-rata porsi cukai
rokok 42 persen harga jual. Karena itu, dapat ditaksir bahwa jumlah uang yang
dibakar mencapai Rp 331 triliun.
Jika uang sebanyak itu digunakan
untuk menyekolahkan putra bangsa, uang itu cukup untuk mengirim 250.000 orang
kuliah di Eropa. Jika digunakan untuk menghajikan Muslim, uang sebanyak itu
cukup untuk membayari 200.000 orang pergi haji selama 50 tahun. Laporan
Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2015 menunjukkan, prevalensi perokok
Indonesia (64 persen pria dewasa) adalah yang tertinggi di dunia.
Politik
tembakau
Rakyat jadi begitu boros dan makin
keracunan asap rokok karena percaturan politik tembakau. Politik tidak bisa
lepas dari uang. Uang dari rokok sangat besar dan dikuasai beberapa
perusahaan saja.
Simak penjualan bersih PT HM
Sampoerna, hingga September 2015 mencapai Rp 65,5 triliun, naik dibandingkan
periode yang sama 2014 sebesar Rp 59,6 triliun. Penjualan domestik Gudang
Garam naik dari Rp 33,7 triliun pada 2005 menjadi 62,3 triliun di 2014.
Penjualan Sampoerna dan Gudang
Garam-masing-masing- jauh melebihi anggaran Kementerian Kesehatan yang hanya
Rp 47,4 triliun pada 2015. Bisa dipahami jika ada pihak-pihak yang
mempertahankan dan menginginkan industri rokok terus berkembang, meskipun
rokok telah memakan nyawa lebih dari 200.000 rakyat setahun.
Upaya mengendalikan konsumsi
rokok, yang paling efektif dengan harga mahal, belum pernah berhasil. Fakta
di dunia menunjukkan, harga rokok yang mahal menahan laju konsumsi. Untuk
membuat rokok mahal itulah dipungut cukai rokok. Cukai rokok bukan kontribusi
industri rokok. Pemerintah negara- negara berbudaya menetapkan harga dan
cukai rokok tinggi untuk mengendalikan konsumsi.
Di Indonesia, penerapan cukai
rokok yang dipatok maksimum 57 persen dari harga rokok belum pernah tercapai.
Konsumsi rokok terus naik. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, porsi
belanja rumah tangga untuk rokok pada 1999 sebesar 5,33 persen dari total
belanja rumah tangga. Pada 2014 porsi itu naik menjadi 6,33 persen. Jumlah
rokok yang diisap rakyat naik dari 204 miliar batang (2004) menjadi 344
miliar batang (2015). Cukai rokok belum mencapai tujuannya: mengendalikan
konsumsi rokok.
Angin segar diembuskan ketika
Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya menjanjikan program Nawacita. Dalam
Nawacita 5, Jokowi berjanji akan meningkatkan kualitas hidup bangsa ini,
antara lain, melalui pendidikan (target 1) dan kesehatan (target 2). Dalam
target 2 nomor 20 dari Nawacita 5, ia menjanjikan 100 persen area publik
bebas asap rokok di 100 persen kabupaten/ kota pada 2019. Dalam target nomor
21, ia berjanji meningkatkan cukai rokok 200 persen dari nilai pada 2013,
mulai 2015.
Janji Presiden memang merupakan amanat
UUD 1945 tentang hak lingkungan hidup bersih dan sehat. Sejatinya, para
pembantu Presiden, yaitu para menteri dan pejabat tinggi negara beserta
jajarannya harus memastikan bahwa janji-janji Presiden tersebut dilaksanakan.
Namun, pelaksanaan Nawacita terkait
kualitas hidup bangsa dapat terganjal kepentingan dagang yang merusak
kualitas hidup bangsa. Sampai awal 2016, belum tampak upaya sungguh-sungguh
untuk mewujudkan target tersebut. Sebaliknya, di akhir 2015 terjadi kebijakan
yang berlawanan dengan Nawacita melalui pemberian izin perusahaan rokok asing
menambah investasi sampai Rp 25 triliun.
Mungkin, kehausan akan dana
investasi menyebabkan pemerintah lupa pada janjinya. Jika tambahan produksi
rokok dari investasi baru itu ditujukan untuk ekspor, dampak negatif rokok
tak menggerogoti dividen demografis. Pertanyaannya, ke negara mana rokok
tersebut akan diekspor? Pemimpin negara-negara maju dan negara besar secara
konsisten terus melindungi rakyatnya dari racun asap rokok dengan cukai yang
sangat tinggi.
Sebelumnya, seorang petinggi
tentara pernah mengeluarkan pernyataan salah bahwa kendali konsumsi rokok
adalah ulah industri farmasi yang akan menjual obat anti tembakau. Salah
besar! Seorang menteri yang belum lama dilantik sudah sesumbar menyatakan
Indonesia tidak akan menandatangani FCTC (Framework
Convention on Tobacco Control). Prejudice mewarnai pemikiran sebagian
pejabat. Esensi janji Presiden dalam pengendalian konsumsi rokok melalui
kawasan tanpa rokok dan kenaikan cukai bertabrakan dengan kepentingan
sebagian penggede.
Musuh
dalam selimut
Yang paling menonjol benturan
kepentingan Nawacita 5 (20-21) terjadi dengan keluarnya Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Produksi Rokok. Di sana disebutkan, target produksi rokok
ditingkatkan jadi 524 miliar batang pada 2020. Dengan target tersebut, di
setiap mulut rakyat Indonesia akan dijejalkan 2.000 batang rokok. Akankah
kebijakan ini sesuai moto "kerja, kerja, kerja"? Sebaliknya:
"rokok, rokok, dan rokok". Inilah "musuh dalam selimut"
Nawacita. Kita tahu, seorang pegawai perokok akan keluar dari ruang kerjanya
paling tidak 10 menit untuk tiap batang rokok. Berapa miliar jam kerja akan
hilang untuk mendukung peta jalan tersebut.
Lebih menyakitkan wong cilik
adalah bahwa peta jalan tersebut menurunkan peran industri kecil, pembuat
sigaret kretek tangan yang diturunkan dari 19 persen pada 2015 menjadi 15
persen pada 2020. Sementara porsi sigaret kretek mesin mild akan digenjot
naik 111 persen dari 161 miliar batang menjadi 306 miliar batang. Jadi, tahan
penderitaanmu, wong cilik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar