Senin, 25 April 2016

Kelautan sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru

Kelautan sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru

Rokhmin Dahuri  ;   Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kemaritiman
                                                   KORAN SINDO, 23 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut, Indonesia dianugerahi potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar dengan total nilai sekitar USD1,5 triliun/tahun (1,5PDB atau 7 kali lipat APBN 2016), dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk sedikitnya 45 juta orang, lebih dari sepertiga angkatan kerja Indonesia.

Dan, hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensi ekonomi tersebut. Lebih dari itu, posisi geoekonomi dan geopolitik laut Indonesia juga sangat strategis. Di mana sekitar 45% dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500 triliun /tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (UNCTAD, 2012).

Posisi geoekonomi yang strategis ini sejatinya menempatkan Indonesia pusat dari sistem rantai suplai (perdagangan) global. Sayangnya, sampai sekarang kita lebih sebagai bangsa pembeli berbagai produk bangsa-bangsa lain, bukan sebagai produsen (pemasok) barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia.

Padahal, banyak emerging economies menjadi lebih maju dan makmur, seperti Singapura, Malaysia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki lantaran mampu mengapitalisasi posisi geoekonomi wilayah lautnya. Potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, bak ‘rakasasa yang masih tidur’ itu mesti kita bangunkan dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang tepat supaya bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dan pengungkit daya saing nasional secara berkelanjutan.

Poros Maritim Dunia

Kebijakan terobosan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) sangatlah tepat dan visioner. Melalui PMD, bangsa Indonesia diajak melakukan reorientasi platform pembangunannya, yang sejak awal kolonialisme hingga sebelum Pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (berdirinya KKP) berorientasi pada daratan (land-based development) ke orientasi kelautan (marine-based development).

Dengan aplikasi iptek dan manajemen yang ramah sosial dan lingkungan serta etos kerja unggul, kebijakan PMD akan mampu mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, menciptakan banyak lapangan kerja, dan membuat ekonomi Indonesia lebih berdaya saing.

Indonesia sebagai PMD mengandung makna bahwa melalui strategi pembangunan kelautan secara tepat dan benar, Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama akan mampu menjadi bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim yang kokoh.

Dengan kekuatan dan kemakmurannya itu, Indonesia diharapkan mampu menjadi a role model (teladan) dan mengajak bangsa-bangsa lain untuk menyelamatkan, mendayagunakan, dan mengelola wilayah laut dunia, terutama di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, untuk perdamaian dan kesejahteraan dunia yang lebih baik.

Sayang, kebijakan dan gebrakan pemerintah Kabinet Kerja selama satu setengah tahun ini terlalu dominan bersifat larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang membuat iklim investasi tidak kondusif. Akibatnya, justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana,

mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, Ambon, dan Tual) mengalami mati suri, ribuan ton ikan kerapu, kepiting soka, dan lobster tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lainnya.

Sejauh ini, Kemenko Maritim pun belum punya konsep dan nampak kebingungan dalam melaksanakan fungsi dan tugas utamanya, yakni mengoordinasikan, menyinergikan, mengakselerasi, dan melakukan terobosan (breakthrough) pembangunan di bidang kelautan, yang mencakup perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, ESDM, transportasi laut dan kepelabuhanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, dan sumber daya alam laut nonkonvensional.

Belum ada upaya dari Kemenko Maritim untuk menyamakan ‘playing field’ (seperti suku bunga bank, insentif usaha, iklim investasi, dan ease of doing business) dengan negara-negara kelautan Asia lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand, Korea, Jepang, dan China.

Padahal, dengan ‘playing field’ yang kurang kondusif seperti sekarang, sektor-sektor ekonomi kelautan Indonesia hampir mustahil untuk bisa bersaing dengan negara-negara tetangga tersebut. Untuk dapat mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, kita mesti melaksanakan kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek dan panjang secara terpadu dan berkesinambungan.

Yang dimaksud dengan kebijakan dan program jangka panjang adalah kebijakan dan program pembangunan kelautan yang dikerjakan sejak sekarang, tetapi hasilnya baru kita rasakan setelah lima tahun atau lebih. Yang pasti, kebijakan dan program jangka pendek tidak boleh bertentangan, apalagi mematikan jangka panjang.

Kebijakan dan program jangka panjang antara lain meliputi penataan ruang wilayah laut- pesisir-darat secara terpadu, pengembangan sektor-sektor ekonomi dan bisnis kelautan baru (bioteknologi kelautan, nanoteknologi kelautan, energi kelautan, mineral dari laut, dan sumber daya kelautan nonkonvensional),

mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global dan bencana alam lainnya, peningkatan kekuatan hankam laut, diplomasi maritim dan penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI, penelitian dan pengembangan (R&D), dan peningkatan kapasitas serta kualitas SDM kelautan.

Program Quick Wins

Mengingat masalah utama bangsa kita adalah tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing; maka kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek (quick wins) seyogianya berupa sektor-sektor ekonomi dan unit bisnis yang mampu menciptakan banyak lapangan kerja, menyejahterakan rakyat, potensi produksinya besar, dibutuhkan pasar domestik dan ekspor, dan mampu meningkatkan daya saing Indonesia.

Program quickwins itu mencakup: optimalisasi perikanan tangkap, pengembangan perikanan budi daya laut (mariculture) dan tambak di lahan pesisir (coastal aquaculture), industri pengolahan hasil perikanan dan seafood, optimalisasi eksplorasi dan produksi minyak dan gas dari wilayah pesisir dan lautan, pariwisata bahari, industri galangan kapal dan perawatan kapal, industri mesin dan peralatan kelautan (jaring dan alat penangkapan ikan lain, mesin kapal, kincir air tambak, dan lainnya), transportasi laut, tol laut, dan konektivitas digital maritim. Penyamaan ‘playing field’ kelautan juga mesti masuk dalam program jangka pendek.

Dalam sektor perikanan tangkap, gebrakan KKP dalam menumpas IUU fishing, khususnya oleh nelayan asing harus dilanjutkan sampai tuntas. Namun, harus segera diberangi dengan meningkatkan kapasitas nelayan nasional dengan teknologi penangkapan ikan (fishing vessels dan fishing gears) yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan.

Di wilayah-wilayah perairan laut yang telah overfishing, seperti pantura, Selat Malaka, dan selatan Sulawesi harus dikurangi upaya tangkapnya (jumlah kapal ikan). Sebaliknya, di wilayah perairan laut yang selama ini sebagai ajang pencurian ikan oleh nelayan asing atau masih underfishing (seperti Laut Natuna, Sulawesi, Banda, Teluk Tomini, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) harus ditingkatkan jumlah kapal ikan nasionalnya.

Di sektor perikanan budi daya, harus menggenjot usaha budi daya komoditas perikanan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik (ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat) maupun ekspor. Komoditas perikanan budi daya untuk ekspor antara lain berupa udang windu dan van name, ikan kerapu, kakap, lobster, kepiting, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.

Sementara untuk pasar domestik antar lain meliputi ikan bandeng, nila salin, kepiting soka, bawal bintang, kerapu lumpur, dan rumput laut. Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budi daya laut dan pesisir terbesar di dunia, sekitar 60 juta ton per tahun dengan total nilai ekonomi sekitar USD180 miliar/tahun, dan pada tahun 2015 baru diproduksi sekitar 10 juta ton (14%).

Sebagai ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi perikanan budi daya Indonesia adalah usaha budi daya udang van name. Potensi luas lahan pesisir yang cocok untuk budi daya udang sekitar 3 juta ha. Bila kita mampumengusahakan300.000 ha (10%) untuk budi daya udang van name dengan produktivitas rata-rata 40 ton/ha/tahun (konservatif), maka dihasilkan 1,2 juta ton udang/tahun.

Dengan harga rata-rata saat ini di tambak (onfarm) USD5/kg, makadihasilkan devisa (ekonomi wilayah) USD6 miliar dolar AS/tahun (Rp80 triliun/tahun) dan 1,2 juta tenaga kerja langsung (kerja di tambak) serta 2,4 juta tenaga kerja yang bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang.

Melalui implementasi kebijakan pembangunan kelautan seperti di atas, ekonomi kelautan tidak hanya akan mampu mengatasi persoalan bangsa kekinian, seperti pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga mampu menghantarkan Indonesia sebagai PMD dalam waktu dekat, tahun 2030 inshaa Allah! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar