Kelautan sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru
Rokhmin Dahuri ; Ketua
DPP PDI Perjuangan Bidang Kemaritiman
|
KORAN SINDO, 23 April
2016
Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang 3/4 wilayahnya berupa laut, Indonesia
dianugerahi potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar dengan total nilai
sekitar USD1,5 triliun/tahun (1,5PDB atau 7 kali lipat APBN 2016), dan dapat
menyediakan lapangan kerja untuk sedikitnya 45 juta orang, lebih dari
sepertiga angkatan kerja Indonesia.
Dan,
hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 22% dari total potensi ekonomi
tersebut. Lebih dari itu, posisi geoekonomi dan geopolitik laut Indonesia
juga sangat strategis. Di mana sekitar 45% dari seluruh barang yang
diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500 triliun /tahun diangkut dengan
ribuan kapal melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (UNCTAD, 2012).
Posisi
geoekonomi yang strategis ini sejatinya menempatkan Indonesia pusat dari
sistem rantai suplai (perdagangan) global. Sayangnya, sampai sekarang kita
lebih sebagai bangsa pembeli berbagai produk bangsa-bangsa lain, bukan
sebagai produsen (pemasok) barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia.
Padahal,
banyak emerging economies menjadi lebih maju dan makmur, seperti Singapura,
Malaysia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Turki lantaran mampu mengapitalisasi
posisi geoekonomi wilayah lautnya. Potensi ekonomi kelautan yang luar biasa
besar, bak ‘rakasasa yang masih tidur’ itu mesti kita bangunkan dengan
menggunakan teknologi dan manajemen yang tepat supaya bisa menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi baru dan pengungkit daya saing nasional secara
berkelanjutan.
Poros Maritim Dunia
Kebijakan
terobosan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk menjadikan Indonesia sebagai
Poros Maritim Dunia (PMD) sangatlah tepat dan visioner. Melalui PMD, bangsa
Indonesia diajak melakukan reorientasi platform pembangunannya, yang sejak
awal kolonialisme hingga sebelum Pemerintahan KH Abdurrahman Wahid
(berdirinya KKP) berorientasi pada daratan (land-based development) ke
orientasi kelautan (marine-based development).
Dengan
aplikasi iptek dan manajemen yang ramah sosial dan lingkungan serta etos
kerja unggul, kebijakan PMD akan mampu mengurangi disparitas pembangunan
antarwilayah, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif,
menciptakan banyak lapangan kerja, dan membuat ekonomi Indonesia lebih
berdaya saing.
Indonesia
sebagai PMD mengandung makna bahwa melalui strategi pembangunan kelautan
secara tepat dan benar, Indonesia dalam waktu tidak terlalu lama akan mampu
menjadi bangsa besar yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi
kelautan, hankam, dan budaya maritim yang kokoh.
Dengan
kekuatan dan kemakmurannya itu, Indonesia diharapkan mampu menjadi a role model (teladan) dan mengajak
bangsa-bangsa lain untuk menyelamatkan, mendayagunakan, dan mengelola wilayah
laut dunia, terutama di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, untuk
perdamaian dan kesejahteraan dunia yang lebih baik.
Sayang,
kebijakan dan gebrakan pemerintah Kabinet Kerja selama satu setengah tahun
ini terlalu dominan bersifat larangan, moratorium, dan restriksi lainnya yang
membuat iklim investasi tidak kondusif. Akibatnya, justru menyulut
demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana,
mengakibatkan
ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri
pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, Bitung, Ambon, dan Tual)
mengalami mati suri, ribuan ton ikan kerapu, kepiting soka, dan lobster tidak
terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lainnya.
Sejauh
ini, Kemenko Maritim pun belum punya konsep dan nampak kebingungan dalam
melaksanakan fungsi dan tugas utamanya, yakni mengoordinasikan,
menyinergikan, mengakselerasi, dan melakukan terobosan (breakthrough) pembangunan di bidang kelautan, yang mencakup
perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan,
pariwisata bahari, ESDM, transportasi laut dan kepelabuhanan, wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, dan sumber daya alam laut
nonkonvensional.
Belum
ada upaya dari Kemenko Maritim untuk menyamakan ‘playing field’ (seperti suku
bunga bank, insentif usaha, iklim investasi, dan ease of doing business)
dengan negara-negara kelautan Asia lainnya, terutama Singapura, Malaysia,
Thailand, Korea, Jepang, dan China.
Padahal,
dengan ‘playing field’ yang kurang kondusif seperti sekarang, sektor-sektor
ekonomi kelautan Indonesia hampir mustahil untuk bisa bersaing dengan
negara-negara tetangga tersebut. Untuk dapat mendayagunakan potensi ekonomi
kelautan secara optimal bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, kita mesti
melaksanakan kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka pendek dan
panjang secara terpadu dan berkesinambungan.
Yang
dimaksud dengan kebijakan dan program jangka panjang adalah kebijakan dan
program pembangunan kelautan yang dikerjakan sejak sekarang, tetapi hasilnya
baru kita rasakan setelah lima tahun atau lebih. Yang pasti, kebijakan dan
program jangka pendek tidak boleh bertentangan, apalagi mematikan jangka
panjang.
Kebijakan
dan program jangka panjang antara lain meliputi penataan ruang wilayah laut-
pesisir-darat secara terpadu, pengembangan sektor-sektor ekonomi dan bisnis
kelautan baru (bioteknologi kelautan, nanoteknologi kelautan, energi
kelautan, mineral dari laut, dan sumber daya kelautan nonkonvensional),
mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan iklim global dan bencana alam lainnya,
peningkatan kekuatan hankam laut, diplomasi maritim dan penegakan kedaulatan
wilayah laut NKRI, penelitian dan pengembangan (R&D), dan peningkatan
kapasitas serta kualitas SDM kelautan.
Program Quick Wins
Mengingat
masalah utama bangsa kita adalah tingginya pengangguran dan kemiskinan serta
rendahnya daya saing; maka kebijakan dan program pembangunan kelautan jangka
pendek (quick wins) seyogianya berupa sektor-sektor ekonomi dan unit bisnis
yang mampu menciptakan banyak lapangan kerja, menyejahterakan rakyat, potensi
produksinya besar, dibutuhkan pasar domestik dan ekspor, dan mampu
meningkatkan daya saing Indonesia.
Program
quickwins itu mencakup: optimalisasi perikanan tangkap, pengembangan
perikanan budi daya laut (mariculture) dan tambak di lahan pesisir (coastal
aquaculture), industri pengolahan hasil perikanan dan seafood, optimalisasi
eksplorasi dan produksi minyak dan gas dari wilayah pesisir dan lautan,
pariwisata bahari, industri galangan kapal dan perawatan kapal, industri
mesin dan peralatan kelautan (jaring dan alat penangkapan ikan lain, mesin
kapal, kincir air tambak, dan lainnya), transportasi laut, tol laut, dan
konektivitas digital maritim. Penyamaan ‘playing field’ kelautan juga mesti
masuk dalam program jangka pendek.
Dalam
sektor perikanan tangkap, gebrakan KKP dalam menumpas IUU fishing, khususnya
oleh nelayan asing harus dilanjutkan sampai tuntas. Namun, harus segera
diberangi dengan meningkatkan kapasitas nelayan nasional dengan teknologi
penangkapan ikan (fishing vessels dan fishing gears) yang lebih produktif,
efisien, dan ramah lingkungan.
Di
wilayah-wilayah perairan laut yang telah overfishing, seperti pantura, Selat
Malaka, dan selatan Sulawesi harus dikurangi upaya tangkapnya (jumlah kapal
ikan). Sebaliknya, di wilayah perairan laut yang selama ini sebagai ajang
pencurian ikan oleh nelayan asing atau masih underfishing (seperti Laut
Natuna, Sulawesi, Banda, Teluk Tomini, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia)
harus ditingkatkan jumlah kapal ikan nasionalnya.
Di
sektor perikanan budi daya, harus menggenjot usaha budi daya komoditas
perikanan untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik (ketahanan pangan dan
kesejahteraan rakyat) maupun ekspor. Komoditas perikanan budi daya untuk
ekspor antara lain berupa udang windu dan van name, ikan kerapu, kakap,
lobster, kepiting, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut.
Sementara
untuk pasar domestik antar lain meliputi ikan bandeng, nila salin, kepiting
soka, bawal bintang, kerapu lumpur, dan rumput laut. Indonesia memiliki potensi
produksi perikanan budi daya laut dan pesisir terbesar di dunia, sekitar 60
juta ton per tahun dengan total nilai ekonomi sekitar USD180 miliar/tahun,
dan pada tahun 2015 baru diproduksi sekitar 10 juta ton (14%).
Sebagai
ilustrasi betapa dahsyatnya potensi ekonomi perikanan budi daya Indonesia
adalah usaha budi daya udang van name. Potensi luas lahan pesisir yang cocok
untuk budi daya udang sekitar 3 juta ha. Bila kita mampumengusahakan300.000
ha (10%) untuk budi daya udang van name dengan produktivitas rata-rata 40
ton/ha/tahun (konservatif), maka dihasilkan 1,2 juta ton udang/tahun.
Dengan
harga rata-rata saat ini di tambak (onfarm) USD5/kg, makadihasilkan devisa
(ekonomi wilayah) USD6 miliar dolar AS/tahun (Rp80 triliun/tahun) dan 1,2
juta tenaga kerja langsung (kerja di tambak) serta 2,4 juta tenaga kerja yang
bekerja di sektor hulu dan hilir dari tambak udang.
Melalui
implementasi kebijakan pembangunan kelautan seperti di atas, ekonomi kelautan
tidak hanya akan mampu mengatasi persoalan bangsa kekinian, seperti
pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga mampu menghantarkan
Indonesia sebagai PMD dalam waktu dekat, tahun 2030 inshaa Allah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar