GBHN dan Haluan Ketatanegaraan
Pan Mohamad Faiz ; Kandidat
PhD Hukum Tata Negara di TC Beirne School of Law, the University of
Queensland, Australia
|
KORAN SINDO, 27 April
2016
Wacana untuk menghidupkan kembali
garis-garis besar haluan negara semakin menguat akhir-akhir ini. Alasannya,
Indonesia dirasakan tidak lagi memiliki haluan bernegara di bidang
pembangunan dan pemerintahan yang terarah dan berkesinambungan.
Terminologi terhadap haluan negara
ini masih bervariatif. Ada yang menyebutnya secara umum atau menamakan secara
khusus misalnya Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PSBN) era Soekarno
ataupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) era Soeharto. Penyusunan
terhadap haluan negara ini direncanakan akan dimandatkan kepada MPR.
Masalahnya, pascaperubahan UUD
1945, MPR tak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan garis-garis besar
haluan negara. Untuk mewujudkan itu, UUD 1945 harus diubah dengan menambahkan
kembali kewenangan tersebut. Dalam perspektif hukum tata negara, penyusunan
GBHN atau istilah lain sejenisnya akan memiliki implikasi turunan yang tidak
sedikit.
Apalagi jika hasilnya dituangkan
ke dalam ketetapan MPR. Kehadiran GBHN justru dikhawatirkan tidak sejalan
dengan tujuan mendasar dari perubahan UUD 1945 era Reformasi yaitu penguatan
sistem pemerintahan presidensial dan penegasan pemisahan kekuasaan negara.
Implikasi
Ketatanegaraan
Banyak yang beranggapan bahwa GBHN
dapat disusun kembali melalui langkah sederhana dengan cukup mengembalikan
satu frasa kewenangan MPR di dalam Pasal 3 UUD 1945. Perubahan satu pasal
tersebut diyakini tidak akan menjadi kotakpandorabagi perubahandi dalam
pasal-pasal UUD 1945 lain.
Padahal, penambahan kewenangan ini
dapat mengubah kembali struktur dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama,
para pengusung wacana GBHN berpandangan bahwa haluan negara tidak saja akan
mengatur haluan pembangunan dan pemerintahan, namun juga akan mengatur pola
hubungan yang mengikat lembagalembaga negara lain.
Dengan kata lain, MPR akan
terlibat mengatur polapola hubungan antara lembaga negara, termasuk presiden
di ranah eksekutif, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi di ranah
yudikatif, serta hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengaturan
ini secara tidak langsung akan menempatkan MPR seakan-akan menjelma kembali
sebagai lembaga tertinggi negara.
Padahal, dalam teori konstitusi,
pola-pola hubungan antarlembaga negara sebagai perwujudan pemisahan kekuasaan
negara merupakan aturan pokok yang seharusnya menjadi bagian dari undang-undang
dasar (Phillips, Jackson, dan Leopold, 2001). Kalaupun ada aturan dan pola
yang lebih rinci, ketentuan tersebut lazimnya dituangkan dalam tingkatan
undang-undang atau berdasar konvensi ketatanegaraan.
Kedua, GBHN direncanakan juga akan
memuat haluan negara terkait pembangunan dan pemerintahan yang harus
dijalankan oleh presiden terpilih. Artinya, ada kebijakankebijakan yang harus
dipenuhi presiden terhadap haluan negara yang dibuat MPR terkait arah dan
target pembangunannya. Hal ini menjadi tidak berkesesuaian dengan sistem
presidensial yang ingin kita perkuat.
Sebab, saat ini presiden dan wakil
presiden telah dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh lembaga
perwakilan sebagai mandataris MPR. Artinya, presiden yang memperoleh amanat
langsung dari rakyat seyogianya menjalankan program-program yang ditawarkan
dan mempertanggungjawabkannya langsung kepada rakyat, bukan kepada lembaga
perwakilan.
Ketiga, penyusunan GBHN
direncanakan akan dituangkan dalam bentuk ketetapan MPR. Pertanyaannya,
sejauh mana ketetapan MPR tersebut dapat mengikat dan mengatur
lembaga-lembaga negara lain? Padahal, ketetapan MPR sejatinya tidak lagi
bersifat mengatur keluar (regeling).
Apakah MPR dapat meminta
pertanggungjawaban atau memberi sanksi kepada lembaga negara ataupun presiden
yang mungkin bermuara pada proses pemakzulan? Apabila iya, jelas konsep ini
akan mengaburkan prinsip-prinsip sistem presidensial yang sedang kita bangun,
bahkan cenderung bergerak ke arahsistem parlementer (Verney, 1992; Linz,
2001). Kalau jawabannya tidak, artinya tak ada perbedaan prinsipiil mengenai
daya mengikat antara ketetapan MPR ini dan undang-undang.
Akar
Masalah
Selain ada implikasi ketatanegaraan,
hallainyang perlu ditelaah adalah akar masalah dari pandangan terhadap
pembangunan Indonesia yang tidak terarah dan berkesinambungan. Saat ini telah
ada UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dibuat era
Presiden Megawati.
Selanjutnya UU SPPN ini dijabarkan
lebih lanjut era Presiden SBY ke dalam UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJP Nasional) untuk jangka waktu selama 20 tahun (2005-2025).
RPJPN ini kemudian telah dibagi menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) yang memuat visi, misi, dan program pembangunan dari presiden
terpilih.
Begitu pula dengan RPJP dan RPJM
daerah harus pula merujuk pada RPJP nasional. Dengan demikian, apakah wacana
GBHN ini lebih pada soal substansi atau jenis produknya? Jangan-jangan,
masalahnya lebih terletak pada kurangnya legitimasi karena dianggap tidak
berwibawa. Padahal, penyusunan UU SPPN dan UU RPJP Nasional juga telah
melibatkan DPR dan presiden.
Naskahnya pun dibuat oleh para
ahli dan akademisi terkait. Kalaupun isi SPPN dan RPJPN ini dianggap
bermasalah, masih dapat dilakukan revisi dan penyempurnaan melalui legislative review dengan tetap
memberikan ruang pada partisipasi publik. Penyebab lain, bisa jadi karena
kurang sosialisasi, khususnya di kalangan para pejabat negara, baik di pusat
maupun daerah.
Jangankan pernah membaca isinya,
mendengarnya pun hanya sesekali. Berbeda dengan masa Orde Baru, murid-murid
sekolah dasar pun sampai diwajibkan menghafal materi GBHN dan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Menjadi wajar jika romantika terhadap GBHN
tetap hidup hingga saat ini.
Kehadiran GBHN yang dijalankan
secara konsisten hanya akan terwujud di dalam kondisi politik yang ideal.
Sebaliknya, realitas perilaku dan konflik para elite politik seperti saat ini
menjadikan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan menjadi tidak optimal.
Singkatnya, penyusunan GBHN oleh
MPR hanya akan kompatibel dengan sistem ketatanegaraan kita sebelum amendemen
UUD 1945. Apabila dipaksakan, justru berpotensi memunculkan persoalan
ketatanegaraan yang baru.
Saat ini haluan pokok negara
Indonesia dapat merujuk pada Pancasila, tujuan bernegara, dan prinsip-prinsip
pokok yang telah tertuang di dalam pembukaan serta batang tubuh UUD 1945. Kalaupun
perlu diperjelas, produk undang-undang dan putusan pengadilan konstitusi
menjadi wadah yang lebih tepat untuk merumuskan dan menafsirkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar