Panama Papers dan Model Pajak Amerika
Ronny P Sasmita ; Analis
Ekonomi Politik Financeroll Indonesia
|
HALUAN, 22 April
2016
Di tataran
global, Panama Papers cukup manjur menggempur beberapa penguasa yang
terlibat offshore
company yang mencurigakan.
Petinggi-petinggi negara yang terindikasi bermain api di dalam dokumen ini,
harus bersibuk-sibuk ria memberi penjelasan kepada publik terkait namanya
yang terseret Mossack Fonseca, begitu pula dengan figur publik mulai dari
artis, pemain sepak bola kelas wahid, atau konglomerat kelas berat.
Semuanya berlomba menetralisir keadaan
dan berjuang meluruskan cara pandang, bahkan beberapa diantaranya langsung
angkat bendera putih dengan pernyataan pengunduran diri. Cukup hebat
implikasinya, setidaknya itulah yang terjadi sampai hari ini.
Di dalam negeri, yang terlihat cukup sibuk
memoles situasi salah satunya adalah Sandiaga Uno, pengusaha muda yang
belakangan sedang kecanduan memamerkan kebolehan dirinya agar punya
kesempatan duduk di Balai Kota DKI Jakarta. Sehari pascarilis Panama Papers
oleh tim investigasi Tempo, Salahudin Uno harus roadshow dari satu media ke media lainya
untuk menentralisir situasi, agar bola tidak menggelinding liar dan menghadang
pencalonan dirinya sebagai balon gubernur DKI Jakarta. Berbekal jurus
politisi dengan level kebolehan yang lumayan, Uno berjuang keras dengan
mengatakan bahwa keterlibatannya dengan dunia usaha (utamanya Offshore company) sudah
kelar sejak 2015 lalu karena saat ini sedang dalam proses pencalonan diri
sebagai pejabat publik. Jawaban ini terlihat cukup manjur sebagai exit gate dari pertanyaan mengapa nama beliau
muncul sebagai salah satu pengusaha yang menikmati berbagai layanan plus-plus offshore company.
Sebenarnya data detail tentang
pemilik offshore company di Indonesia belum dirilis secara
resmi, baru sebatas penggalan-penggalan bahasan yang muncul dalam laporan
tim investigasi Tempo. Setidaknya demikianlah pernyataan kawan saya yang
terlibat langsung dengan penggodokan data Mossack Fonseca. Jadi jika ada
nama-nama pemilikoffshore
company yang
beredar, maka diperkirakan itu adalah nama-nama yang muncul pada data offshoreleak tahun 2013 lalu. Artinya, secara
resmi tim investigasi tempo belum merilis siapa saja insan Indonesia yang
menggunakan jasa Mossack Fonseca untuk mendapatkan bendera offshore company di
luar negeri.
Bagi pemerintah, kehadiran Panama Papers
tentu menjadi instrumen tambahan untuk semakin menekankan pentingnya Tax
Amnesty. Isu signifikansi tax amnesty telah diteriakan oleh Menkeu dan Dirjen
Pajak sedari akhir tahun lalu. Bukan saja sebagai sebuah kebijakan yang
akan memperluas basis dan objek pajak agar penikmat-penikmat tax haven yang
selama ini betah di luar sistem perpajakan kembali ke dalam negeri, tapi
juga karena pemerintah memang sedang kocar-kacir memenuhi target penerimaan
pajak yang terindikasi terancam virus shortfall.
Namun dalam perjalanan waktu sejak Panama
Papers versi Indonesia dikumandangkan, pemerintah nyatanya
hanya menjadikan dokumen-dokumen ini sebagai referensi pelengkap saja
lantaran data yang dikantongi dinilai jauh lebih lengkap dan kredibel.
Dari sekian banyak gelindingan ekspansif
Panama Papers, ada satu hal yang menarik minat saya. Mengapa dokumen ini
tidak akrab dengan pengusaha dan orang-orang kaya Amerika? Pada awalnya saya
sempat berfikir bahwa jangan-jangan pembocoran dokumen ini digunakan untuk
menyudutkan para pihak yang tidak sejalan dengan kepentingan Amerika, seperti
Putin dan beberapa petinggi pemerintahan China misalnya. Tapi selidik demi
selidik, akhirnya saya dikirimi beberapa artikel oleh seorang kawan terkait
mengapa orang Amerika tidak tertarik menempatkan dananya di negara tax haven seperti Panama cs. Jawabanya, orang
super kaya Amerika, kata tulisan itu, tak perlu mencari humberger di Panama,
sebab di Amerika sudah ada “steak” yang lebih lezat. Kongres dan para Senator
penulis undang undang pajak di Amerika memang dengan sengaja mendisain aturan
pajak yang memanjakan orang superkaya dan orang yang miskin. Yang pajaknya
tinggi bukan pemilik asset akan tetapi mereka yang mempunyai pendapatan atau income yang
amat besar. Income adalah objek
pajak. Sementara kekayaan bukanlah objek pajak.
Seseorang yang memiliki income atau
pendapatan 50,000 dollar per tahun pastilah harus membayar pajak pendapatan,
baik yang dipungut negara federal maupun negara bagian. Akan tetapi mereka
yang memiliki asset 10 milyar dollar tak perlu bayar pajak sepeserpun.
Karenanya mereka yang superkaya di Amerika bisa membeli lukisan masa lalu
untuk menyimpannya. Membeli rumah di Manhattan untuk memelihara gedung
gedung tua. Dan menjadikannya sebagai asset yang bukan income.
Jika ingin membayar operasi sehari-hari, mereka bisa hidup melalui kredit
bank dengan jaminan harta bendanya yang tanpa pajak.
Disana seolah tidak ada skandal karena
orang super kaya tidak perlu menghindari pajak atau tax avoidance. Harta
benda bisa disimpan dengan secara kasat mata tanpa ada orang yang mengganggu.
Jika harta yang bebas pajak tersebut ingin ditukar dengan uang
cash, di saat itulah pajak penghasilan dikenakan karena proses
jual beli harta atau capital gain yang
diperoleh akan terkena pajak sebesar 20 %. Sehingga tak heran disana ada
dynansti Rockefeller, Ford, Boeing, Bush, Kennedy dan lain sebagainya, orang
kaya lama, termasuk Mark Elliot Zuckerberg yang dalam usia 32 tahun
dengan kekayaan lebih dari 12 Milyar Dollar sebagai barisan utama
orang kaya baru. Jika harta tersebut digunakan untuk menciptakan lapangan
kerja, mereka juga akan diberi insentif dengan pajak yang lebih murah sebesar
15,3 %, itupun masih dapat dibuat lebih ringan dengan keahlian para konsultan
pajak yang dapat mengaturnya sehingga mendapatkan potongan pajak yang
telah dibayarkan oleh para pekerja yang digaji dari hasil usaha tersebut.
Disamping itu, mereka juga bisa menggunakan
skema pendirian badan amal atau charity foundation. Tak
heran jika salah seorang paling kaya di dunia seperti Bill Gate dan Melinda
mendirikan Yayasan untuk memberantas penyakit dan mengalokasikan dana untuk
memerangi penyakit yang melanda orang miskin diseluruh dunia. Begitu juga
yang lain. Badan amal atau charity foundation adalah cara legal yang elegan untuk
mengurangi pajak. Dengan kata lain, jika ada orang super kaya di Amerika
ingin mendapatkan “tax
heaven”, mereka tak perlu mencari Virgin Island atau tempat
lainnya karena tax
heaven ada di Negaranya sendiri.
Dari contoh di Amerika ini kita sebetulnya
akan menarik cukup banyak pelajaran berharga, terutama untuk sistem perpajakan
domestik. Membuat aturan pajak tidak perlu meniru VOC yang membuat
Diponegoro marah dan angkat senjata lantaran tanah kuburan orang tua dan
leluhurnya ingin dikenakan pajak oleh VOC. Kita juga tak perlu membuat aturan
pajak bumi dan bangunan yang telah menjadi harta para pensiunan dengan
pungutan PBB yang semakin lama semakin meroket. Sehingga para orang kaya
lama di Jakarta terpaksa minggir dari Menteng ke pinggiran kota. Di satu
sisi, Indonesia memang sedang memerlukan pajak, tapi di sisi lain kita juga
kekurangan orang atau objek yang akan membayar karena terdapat begitu banyak
objek pajak yang enggan masuk ke dalam sistem perpajakan nasional dengan
berbagai alasan dan pertimbangan. Tapi jika semua kesempatan bagi orang super
kaya untuk menciptakan lapangan kerja juga ikut dipersukar dengan berbagai
jenis pajak ini dan itu, negara ini tentu perlu introspeksi.
Saya secara spesifik memang bukan ahli
pajak dan tidak terlalu mengetahui seluk - beluk tentang pajak. Namun sebagai
seorang yang saban hari akrab dengan berita dan data ekonomi, baik makro
maupun finansial, tentu acapkali saya merasa aneh dengan sistem perpajakan
yang malah membuat banyak modal-modal potensial enggan menemukan lahan produktif
di dalam negeri di satu sisi dan ancaman shortfall penerimaan pajak di sisi yang lain.
Di sinilah saya kira kita dituntut untuk tidak saja berfikir keras tentang
bagimana memperjuangkan ekstensifikasi objek pajak dan kreasi-kreasi perpajakan
untuk meningkatkan penerimaan negara, tapi juga melakukan introspeksi mendalam
atas sistem perpajakan yang kita jalani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar