Memaknai (Lagi) Ontosoroh
Agus Hernawan ; Penyair;
Terlibat dalam berbagai kerja edukasi dan advokasi sejak 1999; Pernah
terlibat di Tim Advokasi Child
Labor-Firestone, di Liberia, Afrika
|
KOMPAS, 30 April
2016
A settled
home
for white settlers!
Demikian Hindia Belanda diinginkan
di suatu waktu imperial. Waktu itu dimulai pangkal abad ke-20.
Keberhasilan aneksasi pulau-pulau
di luar Jawa sepanjang abad ke-19 dengan patok kekuasaan mulai dari
Sumatera-Aceh masih pengecualian-sampai ke Benteng Dus Bus di Lobo, Papua,
mendorong reorientasi penguasaan. Jika tujuan awal VOC sekadar mencari
kekayaan, sejak pangkal abad ke-20 itu Hindia Belanda diproyeksikan jadi
mukim permanen orang Putih.
Linda Tuhiwai Smith (2005)
menguraikan bagaimana imperialisme abad ke-20 itu berlangsung. Ia tidak lagi
semata bertopang di ekspedisi militer dan ekspansi ekonomi, tetapi mewujud
sebagai satu kesatuan analisis dan diskursif di wilayah pengetahuan.
Pengetahuan jadi perangkat ideologi imperial untuk melahirkan kebudayaan,
tradisi intelektual, dan ekspresi teknis. Tradisi penulisan yang melakukan
pemisahan ketat antara sastra dan sejarah adalah salah satu bentuk ekspresi
teknis itu.
Fokus dialihkan dari struktur ke
kultur. Kekuasaan merangkul pengetahuan. Monopoli ditukar hegemoni. Aneksasi
diganti legitimasi. Ilmu pengetahuan jadi subtle ways, penjinakan dan
penundukan secara halus guna melahirkan kepatutan menurut "etika
kolonial". Di titik ini, seperti dinyatakan Edward Said, pengetahuan
jadi cara-cara sistematik untuk menaklukkan orang lain (subjugation of others), sekaligus "bahan baku" ("raw material") bagi mesin
produksi imperial.
Narasi
yang mengacaukan
Novel Bumi Manusia-nya Pramoedya
Ananta Toer diterbitkan pertama kali bulan Juli 1980. Bumi Manusia bertahan hanya enam bulan
sebelum dibredel oleh Jaksa Agung melalui SK-052/JA/5/1981. Respons kekuasaan
di bandul kecurigaan, juga kepandiran.
Padahal, novel Pram ini membuka ruang bertemu sastra dan sejarah.
Bahkan, Keith Foulcher menyebut Bumi Manusia memuat kemungkinan didaktis dan
emansipatoris. Lebih jauh, pada hemat saya, Bumi Manusia merupakan konstruksi
sejarah kebangsaan lewat perspektif yang disebut Heidegger subjective experience.
Pengalaman subyektif Pram membuat
Bumi Manusia berelasi dialektis atas narasi imperial. Diskursif semantik didedahkan, berpusat
pada sosok tokoh Nyai Ontosoroh. Nyai
Ontosoroh pada Pram menolak citraan Nyai yang direproduksi narasi imperial.
Jamak, citraan Nyai hadir secara negatif. Ambil contoh Bas Veth dalam Het Leven
in Nederlandsch-Indie (Kehidupan di Hindia Belanda, 1900). Bas menyebut para
Nyai sebagai manusia sejenis kera!
Ada juga cerita Nyai Dasima, baik
karangan G Francis (1896) maupun Sair Njaie Dasima-nya OS Tjiang (1897).
Keduanya menghadirkan Nyai Dasima sebagai perempuan serong, lemah, dan tak
dapat dipercaya. Citraan negatif itu juga dilekatkan ke Saipa dalam Si Tjonat
karangan FDJ Pangemanann, yang anehnya adalah pengarang pribumi. Saipa adalah
Nyai Tuan Opmeijer, asal Desa Tjirenang, yang sangat elok dan muda belia,
serta sangat dicintai tuannya. Akan
tetapi, Saipa serong dengan si Tjonat, jongos di rumahnya.
Ontosoroh melawan citraan negatif
itu. Ia adalah ikon antagonisme yang terhubung secara diametral dengan proyek
imperial di wilayah ide dan diskursif pengetahuan.
Ontosoroh menolak kategorisasi,
menolak politik identitas beserta segala prasangka rasial yang ditanamkan.
Ontosoroh menolak pembatasan. Ia menolak menjadi gambaran dalam narasi
imperial: sekadar obyek seksual dan pajangan tuannya. Ia bukan perempuan
"ganjal batu" dibungkus kain songket bersulam benang emas dan
perak, tusuk konde Roos, peniti intan dan giwang yang terbuat dari
berlian. Ontosoroh menolak diisolasi
dalam kesombongan dan keangkuhan warna kulit.
Ontosoroh mengacaukan narasi
imperial. Datang dari lantai terbawah dalam struktur masyarakat kolonial,
seperti dikatakan Harry Aveling dalam Wanita yang Sengsara: Wanita dalam Bumi
Manusia, Ontosoroh menghadirkan dirinya penjelmaan dari paras dan rupa Timur
yang elok dengan keuletan dan keberanian pebisnis sejati dan kepintaran
wanita Eropa tulen lulusan boarding school Inggris. Ia belajar membaca, dan
belajar menulis dalam bahasa tuannya. Ontosoroh mempelajari banyak hal secara
otodidak, juga mengajarkannya. Ia jadi guru Minke (sosok penting lain dalam
Bumi dan Manusia) dalam hal kebangsaan.
Emansipasi
Pram menulis Bumi Manusia tidak
untuk dibaca sebagai novel berlatar sejarah, tetapi sejarah itu sendiri.
Sejarah sebagai alternative reality, satu patahan emansipasi. Konteks pembacaan sosok Nyai Ontosoroh
ialah situasi tanah jajahan Hindia Belanda menjelang akhir abad ke-19 yang
terhubung ke proyek new imperialism Batavia. Ada kemiripan, bila tidak mau
dikatakan peniruan, antara new imperialism Batavia dengan the Late Period (1870-1901)
kolonialisme Inggris. Keduanya sama-sama tidak menonjolkan ekspansi dan
eksploitasi ekonomi, tetapi rasa superioritas di dalam satu pertemuan budaya
yang hierarkis sifatnya. Tujuannya menjadikan tanah jajahan a settled home
for white settlers.
Karena itu, sejak akhir abad
ke-19, terjadi arus masuk perempuan
Eropa ke Hindia. Dari sekitar 60.000-an "orang Putih" di Hindia pada 1900, mengutip
Chailley-Bert, hampir separuhnya, yaitu sekitar 23.000, adalah wanita Eropa.
Gelombang masuk perempuan Eropa tersebut menyudahi periode kolonialisme tua.
Di periode yang disebut kolonialisme tua, khususnya sebelum akhir abad ke-19,
arus masuk perempuan Putih ke Hindia sangat dibatasi.
Sejak Cornelis de Houtman beserta
100 anggota ekspedisi datang ke Banten pada 23 Juni 1596, baru pada 8
September 1627 untuk pertama kali dua perempuan Belanda menginjakkan kaki ke
Kastil Batavia. Bahkan, sepanjang penguasaan VOC, malah diberlakukan
pembatasan, dengan pengecualian hanya para pejabat tinggi, atau kalangan
tertentu, yang dibolehkan membawa serta istri berlayar ke Hindia. Sebutlah
seperti Benjamin Olitzsch yang direkrut VOC pada 1680 untuk mengelola tambang
emas di Sumatera Barat.
Gelombang masuk perempuan Eropa ke
Hindia itu diikuti kampanye tentang kemurnian ras Kaukasia. Di waktu yang
sama, perkawinan campuran, baik yang resmi maupun tidak, antara "pria
Putih" dan perempuan Slam atau pribumi sudah jamak ditabukan. Perkawinan
campuran berlangsung hanya di kalangan serdadu. Anak-anak hasil perkawinan itu
disebut anak kolong-penamaan yang tentunya mengandung konotasi bawah.
New imperialism Batavia
mensyaratkan suatu tatanan masyarakat kolonial yang terkotak-kotak, senjang,
dan hierarkis. Satu tatanan masyarakat kolonial yang berada di ruang dan
waktu yang sama, tetapi terpisah oleh jarak, esensi, dan identitas di balik warna kulit dan prasangka-
prasangka rasial. Suatu masyarakat dengan kolonis berada di kasta tertinggi
sebagai wakil dunia beradab, model dan arketif the most advanced
civilication. Beb Vuyk, salah seorang perempuan pengarang Indo dalam Sebuah
Rumah Nun Di Sana (1939), dengan ironi melukiskan bagaimana ".Manusia
yang bersahaja waktu berangkat dari Genoa merasa seakan-akan derajatnya naik
beberapa tingkat begitu tiba di Priok."
Nyai Ontosoroh adalah Sanikem. Ia
dijual bapaknya yang gila pangkat ke Herman Mellema, administrator pabrik
gula. Namun, Ontosoroh, yang dipariakan di lantai terdasar struktur kolonial,
ditindas oleh kuasa patriarki feodal-kolonial, menolak jadi sosok nyai yang
dicitrakan negatif dalam narasi imperial. Dihadapkan dengan situasi new
imperialism Batavia, Ontosoroh jadi indeksitas emansipasi kebangsaan.
"Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai
menerima," ujar Ontosoroh kepada Minke.
Memaknai Ontosoroh sebagai
indeksitas emansipasi kebangsaan, dalam hemat saya, merupakan pesan penting
Bumi Manusia. Pesan seorang sastrawan yang pernah dipariakan, tapi tak pernah
sedetik pun kehilangan kecintaan pada Tanah Air. Sebuah pesan yang dialamatkan
pada generasi bangsa ini untuk remembering,
revitalizing, rewriting, dan
representing sejarah ruang hidup mereka. Berdaulat atas ingatan, jadi
tuan bagi masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar