Transaksi Daring dalam Pendidikan
Johanes Eka Priyatma ; Dosen
Teknik Informatika
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
|
KOMPAS, 27 April
2016
Salah satu dampak dahsyat dari
internet adalah disintermediasi. Ini berarti bahwa pihak yang berfungsi sebagai mediator atau
perantara jadi kurang relevan dan akhirnya tersingkir. Internet telah
mengambil alih peran tersebut.
Kecenderungan ini kian masif
mewarnai berbagai bidang kehidupan kita. Paling kentara, internet telah
menyingkirkan tukang pos dan sedang menggusur teller bank. Kehebohan dalam
pertaksian dan perojekan merupakan wujud mutakhir dari proses disintermediasi
ini.
Sebenarnya, yang sedang terancam
eksistensinya oleh internet bukan hanya perusahaan taksi, tetapi semua pihak
yang mengambil peran sebagai perantara, seperti toko, agen, distributor, dan
tentu saja para guru dan dosen. Internet memungkinkan transaksi terjadi
secara langsung antara produsen dan konsumen, antara penumpang dan sopir
taksi, serta antara siswa dan pengetahuan. Interaksi atau transaksi langsung
ini menciptakan sistem yang lebih efisien dan murah, tetapi mereka yang
tergusur merasa diperlakukan tidak adil.
Kemandirian
Namun, tidak setiap proses
disintermediasi memunculkan ancaman eksistensi, khususnya bila prosesnya
berlangsung secara bertahap dan terjadi perumusan ulang peran mereka yang
selama ini hanya berfungsi sebagai perantara. Bahkan beberapa pihak mendorong
terjadinya percepatan disintermediasi ini, seperti bank yang mendorong
pemakaian e-banking, lembaga pendidikan yang mempromosikan e-learning, dan
lembaga pemerintah yang terus mengembangkan e-government.
Meskipun transaksi dan relasi yang
dimediasi internet sering kurang nyaman dibandingkan memakai mediator
manusia, tetapi semakin cerdasnya gadget akan mempercepat proses
disintermediasi ini. Kalau saat ini koran kertas masih laku, itu karena
sebagian besar pembacanya masih merasa lebih nikmat membaca kertas ketimbang
membaca layar gadget. Namun, kalau kita perhatikan lebih jauh, sangat sedikit
generasi muda usia di bawah 20 tahun yang membaca koran kertas. Generasi ini tidak pernah merasakan
nikmatnya membaca koran kertas. Bagi mereka, gadget lebih memberikan
fleksibilitas dan kenikmatan membaca. Eksistensi koran kertas, buku, dan
majalah tinggal menunggu waktu. Institusi penerbitan menjadi salah satu yang
terancam eksistensinya.
Akan tetapi, sebagian besar
institusi pendidikan yang sejatinya mengambil peran sebagai mediator dalam
pembelajaran belum merasa terancam eksistensinya. Padahal, salah satu unit
pendukungnya, yakni perpustakaan, sudah lama merasakan efek disintermediasi
ini. Buku-buku di perpustakaan saat ini hanya jadi semacam pajangan karena
pengunjung lebih senang mengakses informasi dan pengetahuan secara daring.
Koleksi digital memberikan fleksibilitas, efisiensi, dan kecepatan akses
informasi. Dalam konteks ini, rencana DPR membangun gedung perpustakaan
terbesar di Asia menyiratkan ketidaktahuan fenomena disintermediasi ini.
Apakah e-learning akan segera
menggusur guru dan dosen? Kenyataannya, e-learning yang sudah beredar 15
tahun terakhir tidak atau belum menggusur guru dan dosen. E-learning sebagai
sistem belajar yang memungkinkan siswa/mahasiswa berinteraksi langsung dengan
informasi dan pengetahuan belum signifikan mengubah praktik pembelajaran
formal di Indonesia.
Interaksi tatap muka antara
guru-murid masih mendominasi pembelajaran kita, meski sudah semakin intensif
didukung sarana komunikasi digital. Realitas ini harus kita sikapi dengan
kritis karena sebenarnya potensi internet meningkatkan kualitas kegiatan
belajar sangat besar. Bila teknologi digital beserta internet hanya digunakan
untuk meningkatkan kualitas interaksi guru- murid lewat presentasi multimedia
dan komunikasi daring, potensi besar tersebut belum termanfaatkan secara
optimal. Lagi pula, model pembelajaran seperti ini pada saatnya akan
menggusur guru/dosen.
Pemanfaatan internet hanya akan
optimal bila kita mengambil sikap bahwa tantangan utama pembelajaran saat ini
adalah kemandirian belajar dan bukan penjejalan informasi. Kemandirian itu
bukan hanya menyangkut kemampuan siswa untuk mencari, menyaring, dan
mengintegrasikan materi belajar yang tersedia melimpah, tetapi lebih
dilandasi berlangsungnya pertumbuhan pengetahuan secara eksponensial.
Pertumbuhan pengetahuan seperti
itu menuntut siswa untuk semakin mandiri dalam belajar dan tidak melulu
bergantung pada guru dan kurikulum. Bila kemandirian belajar ini dapat
berkembang optimal, pada gilirannya anak-anak akan memiliki kemandirian
hidup, khususnya di zaman ketika pengetahuan dan kreativitas menjadi panglima kehidupan.
Orientasi pendidikan pada
kemandirian belajar juga akan menyederhanakan kurikulum yang selama ini
dirasakan terlalu berat. Hal ini mungkin karena kurikulum hanya perlu memuat hal-hal mendasar untuk
kepentingan analisis serta pengambilan kesimpulan, dan tidak perlu memuat
banyak hal yang bersifat informatif karena internet telah menyediakannya.
Guru
beralih peran
Gagasan pendidikan modern seperti
itu hanya dapat terwujud lewat implementasi model pembelajaran yang berpusat
pada siswa atau student centered learning. Pembelajaran model ini paling
efektif diwujudkan dengan kegiatan belajar berupa studi kasus, pemecahan
masalah, atau pembuatan proyek.
Untuk itu, guru/dosen tidak lagi
pertama-tama mengajar atau menerangkan, tetapi menjadi pendamping atau
mentor. Selain itu, guru harus menyiapkan materi ajar digital yang dapat
diakses dari blog guru dan dikuasai siswa secara mandiri.
Dengan skenario seperti ini,
guru/dosen perlahan beralih peran dari mediator jadi fasilitator. Meskipun
transaksi dan komunikasi digital akan terus mengancam eksistensi para pihak
yang menjadi mediator, guru dan dosen mempunyai kesempatan untuk merumuskan
ulang peran barunya. Perumusan ini perlu dilakukan tidak semata-mata atas
alasan kepentingan eksistensi dan pertimbangan ekonomi, tetapi hendaknya
dilandasi kesadaran untuk memberikan layanan pendidikan yang semakin
berkualitas dan kontekstual dengan tantangan zaman.
Sementara itu, siswa akan terbiasa
dengan proses-proses kreatif pemecahan masalah yang sangat penting dalam
menyiapkan dirinya membangun
kemandirian hidup demi menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian tetapi
juga penuh dengan peluang baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar