Maaf
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
|
KORAN TEMPO, 25 April
2016
"Maaf" tak
pernah bisa dipisahkan dari ingatan, tapi mungkinkah ingatan bisa kekal?
Mungkinkah kita berbicara tentang "maaf" di luar sejarah?
Dalam Žert (Lelucon, The
Joke), novel Milan Kundera, Ludvik ingin membalas sakit hati atas perlakuan
temannya di masa lalu, yang menyebabkan ia, hanya karena sebuah lelucon,
disingkirkan Partai Komunis yang berkuasa. Pembalasan itu berhasil, tapi yang
terjadi tak membuatnya bahagia. Ternyata ada "lelucon" lain:
manusia terkecoh ketika menyangka bahwa ingatan bisa kekal, dan terkecoh
mengira kesalahan masa silam bisa dibereskan. Pada akhirnya, tulis Kundera,
dendam dan maaf "akan diambil alih oleh lupa".
Tentu tak selalu demikian.
Lupa nyaris tak punya efek dalam Bharatayudha. Dalam kisah perang besar itu,
dengan dendam yang utuh, Bhima memenggal leher Dursasana dan meminum
darahnya, dan Drupadi mencuci rambutnya dengan darah itu pula. Waktu tak
menggerus sakit hati mereka kepada pangeran Kurawa itu, yang di malam
pertandingan dadu bertahun-tahun sebelumnya mencoba menelanjangi Drupadi di
depan majelis.
Di luar cerita, di dalam
sejarah, dendam juga masih utuh dalam, misalnya, riwayat Ken Arok di abad
ke-13 dan persengketaan orang Dayak dengan Madura di Sampit, Kalimantan
Tengah, di abad ke-21. Maaf ikut mati dalam bunuh-membunuh itu. Seakan-akan
berlaku prinsip pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci Taurat: lex talionis yang menentukan
"satu mata dibalas satu mata"-hukum yang juga didapatkan dalam
Undang-Undang Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum Masehi.
Tak berarti kalimat itu
selalu ditafsirkan secara harfiah, tapi ajaran-ajaran ethis yang kemudian
datang menyadari bahwa dendam yang destruktif bisa jadi sah di dalam lex talionis itu. Yesus membalikkannya
secara radikal. Ia mengajarkan agar kita sama sekali tak membalas, bahkan
membiarkan pipi kita yang satu dipukul lagi setelah pukulan di pipi lain.
Quran menegaskan bahwa Taurat memang mengajarkan Qasas, tapi bila kita
bermurah hati untuk tak memberlakukannya, perilaku buruk kita akan
dihapuskan.
Hukum pembalasan pun
diubah jadi pemaafan; siklus kekerasan dicoba dihentikan. Agaknya disadari, lex talionis hanya akan menghancurkan
masyarakat manusia. Satu dialog dalam lakon musikal Fiddler on the Roof:
Orang dusun: Satu mata
dibalas satu mata, dan sepotong gigi dibalas sepotong gigi.
Tevye: Bagus, bagus!
Dengan demikian seluruh dunia akan buta dan ompong.
* * * *
"Maaf" punya
beragam cerita dan beberapa lapisan. "Maaf" yang dipertukarkan
dalam ucapan Lebaran (sering dengan pantun yang boyak) tak akan terasa
sedalam "maaf" yang diberikan Wolter Monginsidi kepada regu tembak
Belanda beberapa menit sebelum ia dieksekusi.
Maka apa arti permintaan
maaf pemerintah sekarang-andai kata pemerintah setuju untuk
mengutarakannya-atas kekejaman pasca-1965?
Mula-mula, ada yang harus
diurai.
Belum jelas mengapa
pemerintah yang sekarang wajib minta maaf, atau mengapa Kepala Negara hari
ini, Joko Widodo-laki-laki yang baru berumur lima tahun ketika kekejaman di
pertengahan 1960-an itu terjadi-harus minta maaf untuk itu. Benarkah
"Negara" yang sekarang identik dengan "Negara" yang
berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama? Bisakah
pendekatan legal semata-mata berlaku, yang melihat subyek, dalam hal ini
"Negara", sebagai identitas yang tak berubah?
"Negara", dalam
pengertian Hegel, memang sebuah struktur di mana yang universal menemukan
wujudnya. Tapi bagi saya Marx lebih benar: "Negara" tak pernah bisa
jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja. "Negara" selalu bersifat
"partikular", hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu di
ruang dan waktu tertentu. Bukan sesuatu yang kekal.
Bagi para pemikir setelah
Marx, bahkan "Negara" bukan sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek
untuk menertibkan situasi yang berlipat-lipat ragamnya, situasi yang, kata
Badiou, mirip "anarki sejati". Dalam "Negara" sebagai
proyek penertiban, unsur dan bagian-bagian diklasifikasikan, dan diberi
sebutan, posisi, dan peran. Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam tersusunnya
sistem itu selalu ada "bagian yang tak punya bagian". Dengan itulah
sebuah komunitas politik, sebuah "Negara", menjadi-sesuatu yang tak
stabil dan mengandung sengketa.
Kepala Negara meminta
maaf? Untuk apa? Untuk kejahatan yang bukan kejahatannya, atas nama Negara
yang sebenarnya tak bisa diwakilinya?
* * * *
Sejak 1945, dunia
menyaksikan pelbagai adegan penyesalan, pengakuan, atau apologi. Dari orang
per orang sampai dengan kepala negara menyatakan minta "maaf" yang
disiarkan secara luas. Tapi tidakkah sebuah permintaan maaf kenegaraan,
semacam upacara resmi, hanya bagian dari perhitungan politik, strategi yang
tersembunyi dalam (untuk memakai ejekan Derrida) "komedi" permaafan?
Semua bukannya tak
bermanfaat. Tapi Derrida, dalam Pardon, mengingatkan apa yang terjadi bila
"maaf" diberlakukan sebagai proyek politik, ketika "maaf"
disertai syarat.
"Maaf" dengan
syarat adalah seperti yang diberlakukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di
Afrika Selatan. Para pelaku kejahatan apartheid diberi amnesti bila
mengungkapkan sepenuhnya perbuatan yang mereka lakukan di masa lalu. Bagi
Derrida, "maaf" macam ini akhirnya berfungsi bukan sebagai maaf itu
sendiri, melainkan sebagai jalan membangun dan merawat sebuah bangsa. Dengan
kata lain, "maaf" telah jadi sebuah "ekonomi pertukaran".
Memaafkan secara bersyarat
juga menghadirkan sebuah hierarki. Yang memberi maaf dan menetapkan syarat
meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan akan diberi maaf. Maaf
bisa dibatalkan jika syarat tak dipenuhi. Faktor kekuasaan menonjol.
"Apa yang membuat 'aku-maafkan' kadang-kadang memuakkan dan
menjengkelkan, bahkan terasa tak senonoh, adalah dikukuhkannya sebuah daulat
dalam kata-kata itu," kata Derrida.
Memaafkan dengan sikap
demikian pada akhirnya membalik kebrutalan semula: sang korban dielu-elukan
sedemikian rupa hingga si pelaku kejahatan direndahkan-dan akhirnya membuat
sang korban tak hadir sebagai korban, si penjahat tak terasa sebagai
penjahat, dan maaf hilang maknanya.
Tapi mungkinkah ada maaf
yang tanpa syarat? Mungkin-betapapun langkanya. Monginsidi, pejuang gerilya
Sulawesi Selatan itu, memaafkan regu tembak yang sebentar lagi mencabut
nyawanya. Sang korban tetap sebagai korban dan pembunuhan tetap sebagai
pembunuhan, namun sesuatu yang baru, yang luar biasa, tumbuh dari
Monginsidi-dari yang diberikan Monginsidi.
Hanya dengan mengacu
kepada yang tumbuh itu, hanya memandang dan membandingkan diri ke "maaf
yang murni" itu, pelbagai "maaf" lain mendapatkan arti.
* * * *
Tapi terlampau mudah
berbicara tentang "maaf" ketika kita mengenang apa yang dilakukan
terhadap Sri Ambar, sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di Gulag
Indonesia yang ditulis Carmel Budiardjo tentang perempuan-perempuan yang
ditahan rezim Soeharto sejak 1966.
Sri Ambar seorang anggota
SOBSI, serikat buruh pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap di awal Oktober
1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan terbesar dalam sejarah Indonesia
modern. Ia dibawa ke sebuah tempat interogasi di Jalan Gunung Sahari,
Jakarta.
Di hadapannya dihadirkan
seorang teman yang mengkhianatinya dan membuka penyamarannya. Tapi Sri Ambar
tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan pun mulai: bersama si pengkhianat
ia ditelanjangi dan dihajar. Malamnya mereka berdua diikat dan digantung pada
pohon. Ketika tetap saja Sri Ambar tak mau mengaku, Acep, perwira tahanan,
ambil tindakan yang lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar ditikam. Darah
muncrat ke mana-mana. Sri Ambar mencoba menutupkan kembali luka dengan
tangannya. Acep pun memerintahkan agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan
Sri Ambar. Perempuan setengah baya itu pingsan.
Ia siuman dua hari
kemudian di rumah sakit militer. Luka-lukanya dijahit. Tapi tak lama kemudian
datang seorang dokter lain yang mengatakan jahitan lukanya harus dibuka.
Dalam kesakitan yang amat sangat, Sri Ambar mendengar dokter itu diperintah
Markas Besar Angkatan Darat.
Dan sebelum sembuh benar,
ia dibawa kembali ke tempat interogasi. Di ruangan itu, ia melihat dua anak
perempuannya: mereka sedang dipukuli. Mereka ikut ditahan dan dipaksa
menceritakan siapa saja yang bertamu ke rumah mereka. Kedua anak itu menolak
berbicara. "Ibu jangan bilang apa-apa!" teriak kedua anak itu,
"Biar kami tanggungkan ini!"
Dan Sri Ambar pun diam,
menyaksikan kedua anaknya disiksa. Ia juga diam ketika kemudian ibunya yang
tua didatangkan ke ruang interogasi itu-ibu yang mengatakan bahwa Sri Ambar
memang anaknya dan bahwa ia akan melindunginya dengan risiko apa pun. Orang
tua itu segera jadi tahanan politik.
Bisakah "maaf"
akan berlaku di sini? Bisakah Sri Ambar memaafkan? Berhakkah ia?
Hannah Arendt pernah
mengatakan bahwa "maaf" seperti hukuman. Keduanya dimaksudkan untuk
mengakhiri sebuah kejahatan. Tapi ia juga mengakui ada yang tak terjangkau
oleh keduanya: "kekejian yang radikal"-kekejian yang sedemikian
rupa hingga tak ada lagi hukuman yang pantas. Itu berarti juga kekejian yang
tak ada maaf yang bisa ditawarkan. Maaf adalah bagian proses bersama di mana
hidup manusia mungkin.
* * * *
Pada pertengahan Maret
2000, Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia, sekaligus seorang tokoh
NU dari generasi yang mengalami sendiri apa yang terjadi di hari-hari
mengerikan dan penuh kekejaman pasca-1965, mengucapkan minta maaf kepada para
korban. Ia juga tak ingin menutupi bahwa banyak anggota NU ikut dalam
pembantaian orang-orang PKI atau yang dianggap PKI.
Dari seorang Gus Dur hal
itu tak mengejutkan: sudah lama ia berhubungan dengan para eksil, aktivis
Kiri di Eropa; sudah lama ia dikenal sebagai seseorang yang membuka pikiran
orang banyak dengan berani.
Yang mengejutkan adalah
reaksi Pramoedya Ananta Toer, yang disekap bertahun-tahun di Pulau Buru dan
ketika bebas jadi sebuah ikon tersendiri. Ia menolak permintaan maaf Gus Dur.
"Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur."
Saya masygul mendengar
reaksi ini. Bagi saya, sikap Pram tidak tepat. Dan saya tak sendiri. Sekitar
dua hari sesudahnya saya bertemu dengan beberapa bekas tahanan politik di
rumah Oey Hay Djoen, tokoh Lekra, penerjemah Das Kapital. Saya sering ke
rumah yang sejuk di Cibubur itu. Hari itu kami-Amarzan Ismail Hamid, Hardojo,
Joesoef Isak, Hay Djoen sendiri-membicarakan apa yang dikatakan Pram.
Di satu bagian percakapan
terdengar Hay Djoen berkata, seperti kepada
dirinya sendiri: "Apa hak
moral kita untuk menolak memberikan maaf...."
Tiba-tiba dari kalimat yang lirih itu
"maaf" punya arti yang sangat dalam. Hay Djoen, sastrawan, aktivis
PKI yang bertahun-tahun disekap dan disiksa, adalah suara yang bahkan tak
dibayangkan Derrida: pemberi maaf yang tak berbicara tentang syarat dan tak
meletakkan diri sebagai "sang korban" yang secara moral lebih
tinggi dan lebih berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar