Menimbang Ulang Wacana Tax Amnesty
Dzulfian Syafrian ; Ekonom
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF); Kandidat Doktor
Durham University Business School (DUBS), Inggris
|
KORAN SINDO, 25 April
2016
Beberapa minggu terakhir, isu
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) kembali
memanas. Karena panasnya, dunia internasional pun mulai menaruh perhatian
pada isu ini.
Sebagai contoh, pada 9 April lalu
majalah terkemuka di dunia The
Economist ikut membahas wacana RUU Tax Amnesty. RUU Tax Amnesty memang
masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, bahkan RUU ini
termasuk salah satu agenda utama yang harus dibahas dan diselesaikan tahun
ini. Pembahasan RUU Tax Amnesty memang sudah sangat berlarut-larut.
Meski demikian, tampaknya akhir
bulan ini RUU Tax Amnestyakan disahkan. Dalam beberapa minggu ke depan, DPR
dan pemerintah akan menggodok RUU secara intensif. Jika tidak ada halangan,
besar kemungkinan RUU Tax Amnesty akan segera lahir karena memang mayoritas
fraksi di DPR telah satu suara. Hanya Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS yang
meminta pengesahan RUU ditunda.
Defisit,
Shortfall, dan Repatriasi Modal
Tak mungkin ada asap kalau tidak
ada api. Tidak mungkin ada wacana RUU Tax Amnesty jika tidak ada penyebabnya.
Dalam jangka pendek, setidaknya ada dua faktor pendorong (push factors)
pemerintah mendesak pengesahan RUU Tax Amnesty. Pertama, ancaman defisit
anggaran yang semakin lebar.
Berdasarkan undang-undang (UU)
Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, batas
kumulatif maksimal defisit anggaran pemerintah (pusat dan daerah) sebesar 3%
dari total pendapatan domestik bruto (PDB). Awalnya asumsi defisit anggaran
pemerintah pada APBN 2016 tercatat hanya sebesar 2,1% terhadap PDB.
Kemudian, menteri keuangan
belakangan mengakui angka ini akan melebar ke level 2,5% atau setara dengan
penambahan defisit sebesar Rp40 triliun. Angka ini dapat lebih besar lagi
jika target penerimaan negara, khususnya dari sisi penerimaan pajak dan migas
meleset jauh. Kedua, ancaman terjadinya shortfall penerimaan negara.
Shortfalladalah kondisi di mana realisasi penerimaan negara jauh di bawah
target.
Isu shortfall sudah terjadi sejak tahun lalu, namun bak keledai dungu
yang jatuh di lubang yang sama, isu ini kembali muncul. Lebih ironis, argumen
pemerintah terkait penyebab shortfall masih sama seperti tahun lalu, yaitu
penerimaan pajak yang tidak mencapai target dan kedua penerimaan migas yang
anjlok lantaran harga minyak dunia sangat rendah. Sebenarnya pangkal dari
kedua masalah tersebut adalah asumsi-asumsi APBN yang terlampau optimistis (overoptimistic).
Sudah dua tahun terakhir
asumsi-asumsi yang ditetapkan pemerintah dalam APBN (khususnya dari sisi
penerimaan) terlalu berlebihan, bahkan terkesan tak masuk akal. Contohnya,
bagaimana mungkin pemerintah menargetkan lonjakan penerimaan pajak saat
perekonomian sedang melambat? Selain itu, pemerintah juga kurang hati-hati
dalam mengantisipasi dampak eksternal, seperti anjloknya harga minyak dunia
terhadap kesehatan fiskal.
Andai saja pemerintah lebih
realistis dalam menyusun berbagai asumsi APBN, niscaya ancaman defisit
anggaran dan shortfall tidak akan selebar saat ini. Selain itu, pemerintah
berpendapat kebijakan tax amnesty dapat mengundang triliunan uang para warga
negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri kembali ke dalam negeri
(repatriasi modal).
Masih menurut pemerintah,
kebijakan ini akan menambah akumulasi modal yang berakibat pada meningkatnya
basis pajak (tax base) di Indonesia. Alhasil, dalam jangka menengah-panjang
kebijakan tersebut dapat menopang peningkatan penerimaan dan rasio pajak (tax
ratio). Bak gayung bersambut argumen repatriasi modal menjadi masuk akal
setelah terbongkarnya kasus Panama Papers. Bocoran dokumen menunjukkan ribuan
nama wajib pajak Indonesia yang terlibat, baik badan (perusahaan) atau pun
perseorangan.
Ekonomi
Politik Tax Amnesty
Dalam teori ekonomi, kebijakan tax amnesty memiliki dua mata pisau.
Satu sisi kebijakan ini (sebagaimana argumen pemerintah) memang dapat
menambah pundi-pundi pendapatan negara, memperluas basis pajak (tax base) dan meningkatkan kepatuhan
pajak (tax compliance).
Namun, di sisi lain, kebijakan ini
juga dapat kontraproduktif jika tidak diikuti oleh perubahan struktural,
perumusan berbagai kebijakan berikutnya, tindak lanjut (follow up) serta penegakan kepatuhan pajak (enforcement). Karena itu jika pengelolaannya keliru, kebijakan tax amnesty justru dapat menyebabkan
semakin banyak orang yang mengemplang pajak. Kebijakan tax amnesty memang sangat populer di berbagai negara.
Negara-negara maju seperti
Republik Irlandia, Italia, Belgia, Prancis, dan Amerika Serikat atau
negara-negara berkembang seperti India, Argentina, dan Kolombia adalah
segelintircontohnegara- negarayang pernah menerapkan kebijakan ini. Meski
sangat populer, ternyata tingkat kesuksesan dan efektivitas kebijakan ini
tergolong sangat rendah (Uchitelle, 1989; Luitel, 2005; Luitel, 2014).
Sebagian besar program tax amnesty
di berbagai negara gagal memperluas basis pajak dan tidak dapat mendongkrak
pendapatan negara secara signifikan. Penyebab utama gagalnya program tax
amnesty biasanya disebabkan oleh kegagalan negara melakukan perubahan
struktural, seperti perubahan tingkat pajak (tax rate) dan penerapan sistem
pajak yang lebih profesional.
Selain itu mengevaluasi
efektivitas tax amnesty sangatlah sulit jika kebijakan ini diikuti oleh
perubahan struktural. Sebagai ilustrasi, kenaikan penerimaan negara pada
konteks ini bisa saja lebih disebabkan oleh perubahan struktural dibandingkan
tax amnestyitu sendiri. Dalam kasus ini justru negara rugi dua kali, selain
gagal mendapatkan tambahan penerimaan dari para pengemplang, negara juga
kehilangan tambahan pendapatan yang berasal dari penalti pajak.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Dari itu semua, yang harus diingat oleh kita terkait kebijakan tax amnesty
adalah tercabiknya asas dan rasa keadilan sosial. Ini harga yang harus
dibayar masyarakat Indonesia bila kebijakan diterapkan. Golongan yang paling
diuntungkan dari kebijakan ini jelas hanyalah segelintir orang, yaitu
orangorang super kaya dan perusahaan yang dimilikinya.
Kelompok ini biasanya sangat
memahami tentang pajak sehingga mereka relatif lebih mudah memanfaatkan celah
pajak, baik secara legal (tax avoidance)
atau pun ilegal (tax evasion).
Kekhawatiran tercabiknya rasa keadilan sosial masyarakat jika kebijakan tax amnesty diterapkan sepertinya
tidak berlebihan. Sebagai gambaran, menteri keuangan menyebutkan setidaknya
dalam dekade terakhir terdapat sekitar 2000 perusahaan (asing) yang tidak
membayar pajak dengan total potensi kehilangan negara sebesar Rp500 triliun.
Tidak terbayang sudah berapa ribu
triliun rupiah kerugian yang dialami negara setiap tahun atas praktek
pengakalan pajak selama ini. Di sisi lain, rasa keadilan sosial kita akan
tersayat jika kita tengok puluhan juta penduduk lainnya harus banting tulang
demi mencari sesuap nasi, setidaknya untuk hari ini dan esok hari.
Belum lagi jika kita lihat
panjangnya antrean orang kecil di rumah sakit, kondisi sekolah yang kurang
layak, jalan-jalan yang rusak, dan berbagai permasalahan sosial-ekonomi
lainnya. Karena itu sudah semestinya kita semua (khususnya pemerintah dan
DPR), menimbang ulang diterapkannya tax
amnesty di bumi pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar