Agresivitas Tiongkok di LTS
Jerry Indrawan ; Dosen
Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina
|
KOMPAS, 23 April
2016
Sejak
dua tahun terakhir, Tiongkok sangat aktif dan juga agresif dalam upayanya
membentuk pulau buatan di Kepulauan Spratly. Padahal, kepulauan itu masih
dalam sengketa antara Tiongkok dan beberapa negara tetangganya.
Pembentukan
pulau ini adalah salah satu upaya Tiongkok mengakui wilayah tersebut sebagai
miliknya. Tiongkok menggunakan asas "effective occupation" agar
wilayah tersebut dapat diklaim.
Effective occupation
adalah hukum internasional yang menyatakan bahwa sebuah wilayah bisa diklaim
atas dasar pendudukan secara fisik. Contohnya adalah Indonesia kehilangan
Sipadan dan Ligitan atas dasar effective
occupation, karena Malaysia-lah yang membangun dan memberdayakan
pulau-pulau tersebut, sekalipun secara historis masuk wilayah Indonesia.
Wilayah
di Kepulauan Spratly mencakup lebih dari 750 batu karang, atol, dan
pulau-pulau kecil di lepas pantai Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Banyaknya
sumber daya alam memang membuat wilayah perairan ini menjadi seksi bagi
negara-negara di sekitarnya.
Di
Kepulauan Spratly terdapat sebuah gugusan karang yang bernama Subi, terletak
660 mil dari pantai Tiongkok. Gugusan karang yang terendam di bawah laut ini
ditambahi beton, lalu dibuat seperti pulau buatan seluas 2.000 hektar. Pulau
buatan itu dapat mengakomodasi landasan pacu pesawat terbang 3.000 meter.
Setelah
selesai dibangun, landasan pacu dapat didarati hampir semua jenis pesawat
terbang militer milik Tiongkok. Menurut kabar, ada dua bagian landasan pacu
sepanjang 468 meter dan 200 meter yang masih dalam tahap pembangunan.
Kemungkinan
besar, Tiongkok membutuhkan pulau buatan ini sebagai "pom bensin atau
pos terluar" bagi pesawat-pesawat udaranya (termasuk armadanya) jika
ingin terbang jarak jauh. Sebelum pembangunan landas pacu ini, Tiongkok
kesulitan dalam mengisi ulang bahan bakar untuk mencapai wilayah paling
selatan dari Laut Tiongkok Selatan (LTS). Pulau buatan ini juga bisa
dijadikan sarana pertahanan laut dan udara jika ada serangan militer dari
selatan.
Regulasi internasional
Langkah
Tiongkok membentuk pulau buatan ini, dan juga membentuk sebuah pos terluar di
LTS, tidak mendukung klaim teritorial mereka terhadap wilayah sengketa ini.
Sudah sejak lama Tiongkok menganggap LTS sebagai wilayahnya berdasarkan
historical territorial claim yang dimodernisasi dengan istilah "the Nine Dash Line".
Menurut
hukum laut international, UN Convention
on the Law of the Sea (UNCLOS), yang dinegosiasikan tahun 1980-an dan
diperbarui pada 1990-an, sebuah pulau didefinisikan sebagai "wilayah
yang terbentuk secara alami di atas air saat pasang tinggi. Pasal 60 dari
UNCLOS juga menyatakan, "pulau-pulau buatan tidak berhak diklaim sebagai
laut teritorial". Kontroversi dimulai di sini.
Menurut
traktat PBB, tidak ada ketentuan yang memberikan hak kepada wilayah perairan
tanpa memperhatikan kedaulatan wilayah darat suatu negara. Traktat tersebut
menetapkan bahwa perairan teritorial berada sepanjang 12 mil lepas pantai
dari sebuah wilayah yang berdaulat. Ini berarti bahwa negara lain memiliki
hak untuk melintas secara damai dalam wilayah perairan 12 mil tersebut,
karena perairan tersebut dianggap sebagai bagian tambahan dari wilayah suatu
negara. Namun, traktat yang sama juga menyatakan bahwa 12 mil air di lepas
pantai sebuah struktur buatan (sesuatu yang tidak memenuhi definisi sebagai
sebuah pulau), tidak akan dianggap sebagai perpanjangan wilayah suatu negara.
Traktat
PBB juga menetapkan bahwa hingga 200 mil lepas pantai sebuah negara, wilayah
tersebut dianggap bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE). Ini berarti
negara tuan rumah memiliki hak eksklusif terkait pemanfaatan sumber daya dan
kegiatan-kegiatan ekonomi. Dapat juga diartikan bahwa negara-negara lain
tidak bisa, misalnya, menangkap ikan di perairan ZEE suatu negara atau
mempersiapkan upaya pengeboran minyak tanpa mendapatkan izin dari negara tuan
rumah. Akan tetapi, kegiatan yang tidak berhubungan dengan isu-isu ekonomi diperbolehkan
sebagai bagian dari kebebasan yang terkait dengan pemanfaatan perairan
internasional.
Dengan
semakin bertambahnya kekuatan Tiongkok di segala sektor, terutama ekonomi dan
tentu saja militer, negara ini makin agresif dalam mengembangkan wilayahnya.
Secara teori, sebuah negara yang mulai mendapatkan power besar, terutama
dalam percaturan politik internasional, akan mulai meninggalkan
regulasi-regulasi internasional. Mereka akan mulai secara halus dulu
"menabrak" aturan-aturan tersebut demi kepentingan nasionalnya.
Setelah itu, langkah-langkah militer yang agresif bisa saja dilakukan.
Semuanya karena Tiongkok sekarang memiliki power yang besar.
Membangun pulau buatan
Jalur
laut yang paling strategis di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik adalah LTS.
Jalur ini sangat penting bagi perdagangan internasional. Karena itu, upaya
Tiongkok membuat pulau buatan di Kepulauan Spratly pastilah memiliki motivasi
ekonomi, yang terkait klaim mereka di wilayah itu. Tiongkok melabrak aturan
internasional (UNCLOS), sehingga pembuatan pulau tersebut pun tidak memiliki
legitimasi. Mereka pun melanggar norma- norma yang mengarisbawahi arsitektur
keamanan di Asia Timur, serta konsensus regional yang mengedepankan diplomasi
dan menentang tindakan koersif. Ancaman militer? Bisa jadi.
Agresivitas
Tiongkok dalam menyelesaikan proyek besar ini mengkhawatirkan dan tentu saja
kontroversial. Selain itu, lingkup reklamasi tanah yang digunakan sebagai
landasan pacu sangat luas, sehingga prospek militerisasi lebih lanjut sangat
dimungkinkan. Potensi terjadinya gesekan dengan negara-negara penuntut di LTS
lainnya sangat besar. Kegiatan "memancing" gara-gara ala Tiongkok
ini sudah pasti meningkatkan eskalasi konflik yang sudah panas.
Sebenarnya,
cukup banyak negara di sekitar LTS yang membuat pos-pos terluar untuk
kepentingan nasional masing-masing, tetapi tindakan Tiongkok ini sangat
berbeda dari segi derajat dan cakupannya. Sebagai contoh, di Kepulauan
Spratly, Vietnam memiliki 48 pos, Filipina 8 pos, Malaysia 5 pos, dan Taiwan
1 pos. Akan tetapi, Tiongkok membuat pulau buatan ini dengan akselerasi yang
sangat cepat dan berada di wilayah yang masih disengketakan.
Ketakutan
Tiongkok menempatkan persenjataan berat di pulau tersebut juga mengemuka.
Mereka ingin menunjukkan kekuatannya sambil berupaya mengontrol dan mengklaim
wilayah di LTS lebih jauh lagi. Adanya pulau buatan ini pun sudah menjadi
masalah regional yang panas, apalagi jika kehadirannya ditambah operasi
militer, yang mana awalannya adalah penempatan senjata-senjata di pulau
tersebut.
Tiongkok
harus memikirkan langkah ke depan terkait hubungan baiknya dengan
negara-negara tetangganya. Jika kontroversi pembuatan pulau buatan, dengan
landasan pacunya tetap dilakukan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, sampai
Taiwan pun tidak akan tinggal diam. Tindakan Tiongkok ini bisa dikategorikan
"act of war", apalagi jika ada penempatan senjata di pulau buatan
tersebut.
Hentikan
pembangunan demi perdamaian, adalah langkah yang paling strategis yang harus
dilakukan Tiongkok untuk mencegah eskalasi konflik di LTS. Yang bisa meredam
agresivitas Tiongkok adalah mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar