Minggu, 24 April 2016

Agresivitas Tiongkok di LTS

Agresivitas Tiongkok di LTS

Jerry Indrawan  ;   Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina
                                                        KOMPAS, 23 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak dua tahun terakhir, Tiongkok sangat aktif dan juga agresif dalam upayanya membentuk pulau buatan di Kepulauan Spratly. Padahal, kepulauan itu masih dalam sengketa antara Tiongkok dan beberapa negara tetangganya.

Pembentukan pulau ini adalah salah satu upaya Tiongkok mengakui wilayah tersebut sebagai miliknya. Tiongkok menggunakan asas "effective occupation" agar wilayah tersebut dapat diklaim.

Effective occupation adalah hukum internasional yang menyatakan bahwa sebuah wilayah bisa diklaim atas dasar pendudukan secara fisik. Contohnya adalah Indonesia kehilangan Sipadan dan Ligitan atas dasar effective occupation, karena Malaysia-lah yang membangun dan memberdayakan pulau-pulau tersebut, sekalipun secara historis masuk wilayah Indonesia.

Wilayah di Kepulauan Spratly mencakup lebih dari 750 batu karang, atol, dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Filipina, Malaysia, dan Vietnam. Banyaknya sumber daya alam memang membuat wilayah perairan ini menjadi seksi bagi negara-negara di sekitarnya.

Di Kepulauan Spratly terdapat sebuah gugusan karang yang bernama Subi, terletak 660 mil dari pantai Tiongkok. Gugusan karang yang terendam di bawah laut ini ditambahi beton, lalu dibuat seperti pulau buatan seluas 2.000 hektar. Pulau buatan itu dapat mengakomodasi landasan pacu pesawat terbang 3.000 meter.

Setelah selesai dibangun, landasan pacu dapat didarati hampir semua jenis pesawat terbang militer milik Tiongkok. Menurut kabar, ada dua bagian landasan pacu sepanjang 468 meter dan 200 meter yang masih dalam tahap pembangunan.

Kemungkinan besar, Tiongkok membutuhkan pulau buatan ini sebagai "pom bensin atau pos terluar" bagi pesawat-pesawat udaranya (termasuk armadanya) jika ingin terbang jarak jauh. Sebelum pembangunan landas pacu ini, Tiongkok kesulitan dalam mengisi ulang bahan bakar untuk mencapai wilayah paling selatan dari Laut Tiongkok Selatan (LTS). Pulau buatan ini juga bisa dijadikan sarana pertahanan laut dan udara jika ada serangan militer dari selatan.

Regulasi internasional

Langkah Tiongkok membentuk pulau buatan ini, dan juga membentuk sebuah pos terluar di LTS, tidak mendukung klaim teritorial mereka terhadap wilayah sengketa ini. Sudah sejak lama Tiongkok menganggap LTS sebagai wilayahnya berdasarkan historical territorial claim yang dimodernisasi dengan istilah "the Nine Dash Line".

Menurut hukum laut international, UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang dinegosiasikan tahun 1980-an dan diperbarui pada 1990-an, sebuah pulau didefinisikan sebagai "wilayah yang terbentuk secara alami di atas air saat pasang tinggi. Pasal 60 dari UNCLOS juga menyatakan, "pulau-pulau buatan tidak berhak diklaim sebagai laut teritorial". Kontroversi dimulai di sini.

Menurut traktat PBB, tidak ada ketentuan yang memberikan hak kepada wilayah perairan tanpa memperhatikan kedaulatan wilayah darat suatu negara. Traktat tersebut menetapkan bahwa perairan teritorial berada sepanjang 12 mil lepas pantai dari sebuah wilayah yang berdaulat. Ini berarti bahwa negara lain memiliki hak untuk melintas secara damai dalam wilayah perairan 12 mil tersebut, karena perairan tersebut dianggap sebagai bagian tambahan dari wilayah suatu negara. Namun, traktat yang sama juga menyatakan bahwa 12 mil air di lepas pantai sebuah struktur buatan (sesuatu yang tidak memenuhi definisi sebagai sebuah pulau), tidak akan dianggap sebagai perpanjangan wilayah suatu negara.

Traktat PBB juga menetapkan bahwa hingga 200 mil lepas pantai sebuah negara, wilayah tersebut dianggap bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE). Ini berarti negara tuan rumah memiliki hak eksklusif terkait pemanfaatan sumber daya dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Dapat juga diartikan bahwa negara-negara lain tidak bisa, misalnya, menangkap ikan di perairan ZEE suatu negara atau mempersiapkan upaya pengeboran minyak tanpa mendapatkan izin dari negara tuan rumah. Akan tetapi, kegiatan yang tidak berhubungan dengan isu-isu ekonomi diperbolehkan sebagai bagian dari kebebasan yang terkait dengan pemanfaatan perairan internasional.

Dengan semakin bertambahnya kekuatan Tiongkok di segala sektor, terutama ekonomi dan tentu saja militer, negara ini makin agresif dalam mengembangkan wilayahnya. Secara teori, sebuah negara yang mulai mendapatkan power besar, terutama dalam percaturan politik internasional, akan mulai meninggalkan regulasi-regulasi internasional. Mereka akan mulai secara halus dulu "menabrak" aturan-aturan tersebut demi kepentingan nasionalnya. Setelah itu, langkah-langkah militer yang agresif bisa saja dilakukan. Semuanya karena Tiongkok sekarang memiliki power yang besar.

Membangun pulau buatan

Jalur laut yang paling strategis di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik adalah LTS. Jalur ini sangat penting bagi perdagangan internasional. Karena itu, upaya Tiongkok membuat pulau buatan di Kepulauan Spratly pastilah memiliki motivasi ekonomi, yang terkait klaim mereka di wilayah itu. Tiongkok melabrak aturan internasional (UNCLOS), sehingga pembuatan pulau tersebut pun tidak memiliki legitimasi. Mereka pun melanggar norma- norma yang mengarisbawahi arsitektur keamanan di Asia Timur, serta konsensus regional yang mengedepankan diplomasi dan menentang tindakan koersif. Ancaman militer? Bisa jadi.

Agresivitas Tiongkok dalam menyelesaikan proyek besar ini mengkhawatirkan dan tentu saja kontroversial. Selain itu, lingkup reklamasi tanah yang digunakan sebagai landasan pacu sangat luas, sehingga prospek militerisasi lebih lanjut sangat dimungkinkan. Potensi terjadinya gesekan dengan negara-negara penuntut di LTS lainnya sangat besar. Kegiatan "memancing" gara-gara ala Tiongkok ini sudah pasti meningkatkan eskalasi konflik yang sudah panas.

Sebenarnya, cukup banyak negara di sekitar LTS yang membuat pos-pos terluar untuk kepentingan nasional masing-masing, tetapi tindakan Tiongkok ini sangat berbeda dari segi derajat dan cakupannya. Sebagai contoh, di Kepulauan Spratly, Vietnam memiliki 48 pos, Filipina 8 pos, Malaysia 5 pos, dan Taiwan 1 pos. Akan tetapi, Tiongkok membuat pulau buatan ini dengan akselerasi yang sangat cepat dan berada di wilayah yang masih disengketakan.

Ketakutan Tiongkok menempatkan persenjataan berat di pulau tersebut juga mengemuka. Mereka ingin menunjukkan kekuatannya sambil berupaya mengontrol dan mengklaim wilayah di LTS lebih jauh lagi. Adanya pulau buatan ini pun sudah menjadi masalah regional yang panas, apalagi jika kehadirannya ditambah operasi militer, yang mana awalannya adalah penempatan senjata-senjata di pulau tersebut.

Tiongkok harus memikirkan langkah ke depan terkait hubungan baiknya dengan negara-negara tetangganya. Jika kontroversi pembuatan pulau buatan, dengan landasan pacunya tetap dilakukan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, sampai Taiwan pun tidak akan tinggal diam. Tindakan Tiongkok ini bisa dikategorikan "act of war", apalagi jika ada penempatan senjata di pulau buatan tersebut.

Hentikan pembangunan demi perdamaian, adalah langkah yang paling strategis yang harus dilakukan Tiongkok untuk mencegah eskalasi konflik di LTS. Yang bisa meredam agresivitas Tiongkok adalah mereka sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar