Sengketa Impor Produk Hortikultura,
Hewan, dan Produk Hewan
Bustanul Arifin ; Guru
Besar Unila, Ekonom INDEF; Professorial Fellow di SB-IPB
|
KOMPAS, 26 April
2016
Sengketa
perdagangan internasional produk hortikultura, hewan, dan produk hewan yang
melibatkan Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat di tingkat
Organisasi Perdagangan Dunia, kini memasuki masa-masa kritis.
Kebijakan
impor hortikultura, impor ternak, dan produk ternak yang diterapkan Indonesia
dianggap restriksi kuantitatif dan diskriminatif karena membatasi ruang gerak
pelaku usaha Selandia Baru dan AS. Indonesia telah berusaha membela
legitimasi kebijakan impornya dengan berbagai argumen dari perspektif legal,
ekonomi, sosial, moral, dan sedikit politik.
Adu
argumen bukti empiris dan klaim obyektif secara tatap muka yang melibatkan
ketiga pihak telah dianggap selesai.
Semua menunggu hasil telaah seluruh anggota tim Panel Sengketa
(hakim), atas jawaban lisan dan tertulis yang diberikan oleh semua pihak yang
bersengketa.
Namun,
tak tertutup kemungkinan Panel masih akan menyampaikan pertanyaan tambahan
kepada tergugat atau respondent (Indonesia) atau bahkan kepada penggugat atau
complainants (Selandia Baru dan AS). Lalu, pihak tergugat dan penggugat masih
diberi kesempatan menyampaikan jawabannya secara tertulis dalam waktu yang
ditentukan. Sekitar Juli 2016, dunia akan dapat mengetahui hasil keputusan
panel, terkait siapa yang menang dan siapa yang kalah dari sengketa impor
ini.
Asal
mula perkara ini adalah ketika pada akhir 2012, Selandia Baru dan AS
mengajukan notifikasi dan keberatan (baca: protes keras) kepada Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan impor produk hortikultura, impor hewan,
dan produk hewan yang diterapkan Indonesia. Kedua negara maju itu
menyampaikan bahwa kebijakan impor Indonesai dinilai kompleks dan berdampak
buruk bagi kegiatan ekspor produk hortikultura dan daging, terutama dari
Selandia Baru dan AS.
Proses
konsultasi awal dan konsultasi lanjutan telah dilakukan sepanjang 2013 dan
2014. Pernah ada secercah harapan terjadi titik temu kepentingan Indonesia
dengan Selandia Baru dan AS setelah Indonesia merevisi ketentuan rekomendasi
impornya. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi
Impor Produk Hortikultura (RIPH) telah diubah jadi Permentan No 47/2013 (19
April 2013) dan didukung revisi Permendag No 60/2012 tentang Ketentuan Impor
Produk Hortikultura (KIPH) menjadi Permendag No 16/2013 (22 April 2013).
Prosedur perizinan impor banyak disederhanakan dan aplikasi izin impor mulai
menggunakan sistem daring.
Rupanya
Selandia Baru dan AS masih belum puas terhadap ketentuan baru impor
Indonesia, walaupun proses konsultasi formal dan informal telah
diupayakan. Ketentuan memperoleh RIPH
kembali direvisi melalui Permentan No 86/2013 (30 Agustus 2013) dan KIPH
disempurnakan dengan Permendag No 57/2013 (26 September 2013). Perubahan yang
amat signifikan adalah rekomendasi impor diberikan kepada perusahaan importir
tak harus berdasarkan basis komoditas.
Perjuangan berat
Tidak
puas dengan proses konsultasi atau diplomasi perdagangan bilateral, akhirnya
pihak Selandia Baru dan AS secara resmi membawa persoalan ini ke tingkat
Panel DSB. Mau tidak mau Indonesia wajib menghadapinya di tingkat Majelis
Sidang Sengketa di WTO ini. Majelis
Panel (hakim) yang menyidangan sengketa impor ini telah ditentukan WTO,
berdasarkan negosiasi dan masukan dari ketiga pihak yang bersengketa,
didampingi penasihat hukum masing-masing.
Sidang
pertama telah dilakukan pada 1-2 Februari 2016, dan sidang kedua baru selesai
pada 13-14 April 2016. Di hadapan Majelis Panel, komplain Selandia Baru dan
AS nyaris tidak berubah: Indonesia dianggap menerapkan rezim perizinan impor
produk hortikultura, hewan, dan produk hewan, hingga menimbulkan pembatasan
dan pelarangan produk impor. Indonesia dinilai tidak dapat menunjukkan alasan
kuat tentang pemberlakuan rezim perizinan impor untuk melindungi moral warga
negara, kesehatan (manusia, hewan, dan tumbuhan).
Selandia
Baru dan AS menganggap prosedur perizinan impor hortikultura, hewan, dan
produk hewan bersifat restriktif dan berdampak pada perdagangan
internasional, dan tidak konsisten dengan ketentuan WTO, khususnya Article
III dan Article XI:1 GATT 1994, Article 4.2 Agreement on Agriculture, dan
Agreement on Import Licensing Procedures.
Selain
pihak penggugat (Selandia Baru dan AS), perkara sengketa DS477 dan DS478 juga
melibatkan 14 negara pihak ketiga, yang ikut nebeng karena memiliki
kepentingan terhadap kasus impor produk hortikultura, hewan, dan produk
hewan. Ke-14 pihak itu adalah: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, RRT,
Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Norwegia, Taiwan, Paraguay, India,
Singapura, dan Thailand.
Betapa
berat perjuangan Indonesia, sebagai negara berkembang yang masih
tertatih-tatih dalam melaksanakan pembangunan pertanian, ketahanan pangan,
dan keamanan pangan, tetapi juga dituntut harus melayani kepentingan negara
maju. Ketentuan impor, seperti pengaturan masa atau periode impor yang
diterapkan Indonesia sebenarnya tidak menurunkan volume impor produk
hortikultura, hewan, dan produk hewan dari Selandia Baru dan AS, jadi sama
sekali bukan kategori restriksi impor.
Bahkan sebaliknya, impor produk pertanian strategis Indonesia
mengalami kenaikan signifikan.
Bahkan,
Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, seperangkat paket kebijakan
ekonomi baru telah dikeluarkan untuk menyederhanakan impor produk pangan
strategis. Misalnya, Permendag No 71/2015 tentang Ketentuan Impor Produk
Holtikultura dan Permendag No 5/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan
dan Produk Hewan. Pemerintah bahkan mengklaim tak pernah menolak mengeluarkan
RIPH dan Rekomendasi Impor Hewan dan Produk Hewan sepanjang persyaratannya terpenuhi.
Apabila terdapat kasus rekomendasi impor produk hortikultura, hewan atau
produk hewan belum diberikan, hal tersebut karena importir tak melengkapi
persyaratan yang ditentukan.
Beberapa pelajaran
Sebagai
penutup, kasus sengketa impor ini telah memberikan beberapa pelajaran.
Pertama, sebagai anggota, Indonesia tetap perlu memenuhi ketentuan WTO, tanpa
harus kehilangan kedaulatannya sebagai bangsa dan negara yang merdeka.
Walaupun proses penyelesaian sengketa di tingkat Panel DSB WTO dianggap efektif,
tetapi akan lebih baik jika sengketa perdagangan sedapat mungkin tidak
diselesaikan di tingkat perkara. Proses konsultasi atau perundingan
perdagangan bilateral perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan
sengketa perdagangan. Beperkara di tingkat Panel DSB sebagai alternatif
terakhir saja karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu, dan energi
yang besar.
Kedua,
harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan perdagangan yang melibatkan sekian
kementerian teknis amat penting dan perlu menjadi agenda prioritas nasional.
Kebijakan perdagangan internasional membawa dampak bagi sendi-sendi kehidupan
sosial-ekonomi-politik dan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga,
Indonesia perlu lebih dewasa dan obyektif dalam menghadapi dua kasus sengketa
baru di DSB WTO yang sejenis, menyusul gugatan Brasil yang menganggap
Indonesia mempersulit impor daging ayam dari Brasil (DS484) dan mempersulit
impor daging yang mengandung hormon bovine pertumbuhan (DS506). Indonesia perlu memiliki tim perundingan
perdagangan internasional yang kuat
dan berwibawa, yang mampu menangani aspek teknis, ekonomis, dan legal serta
mampu berkontribusi pada pembangunan ekonomi bangsa dan kesejahteraan
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar