Narasi Perempuan di Linimasa
Okky Madasari ;
Novelis; Novel kelimanya, Kerumunan Terakhir, terbit Mei 2016
|
JAWA POS, 21 April
2016
INI tahun 2016. Masa di
mana hampir semua orang sudah memiliki telepon genggam. Masa di mana
orang-orang seusia saya yang biasa disebut sebagai generasi millennial atau
generasi Y sudah terhubung satu sama lain melalui Facebook dan Twitter.
Masa di mana perempuan
bisa mengungkapkan pikiran-pikirannya dengan hanya memainkan jempol. Mulai
isu politik hingga soal makanan anak. Dari soal pekerjaan sampai soal
kecantikan.
Kita hidup di zaman
mutakhir. Dan, pada masa ini pula, kita masih akan mendapati perdebatan di
layar Facebook dan Twitter tentang mana yang lebih baik: perempuan yang
bekerja atau perempuan yang menjadi ibu rumah tangga? Pe¬rempuan yang memakai
jilbab syari atau berpakaian seksi?
Perempuan yang memakai rok
atau mengenakan celana jins? Perempuan yang menikah atau memilih lajang
seumur hidup? Perempuan yang begini atau begitu? Dan sederet perdebatan lain
tentang perempuan. Tentang bagaimana seharusnya menjadi perempuan.
Segala dalih dan dalil
dikemukakan. Mulai ayat kitab suci, pepatah nenek moyang, kutipan dari
buku-buku, hingga omongan pejabat dan ustad-ustad. Konten-konten yang
menjadikan perempuan sebagai objek yang harus diatur untuk menjadi begini dan
begitu tak berhenti diproduksi.
Hilir mudik setiap hari.
Mulai yang panjangnya 140 karakter di Twitter, status di Facebook, hingga
tulisan panjang di blog dan media-media lainnya.
Mulai zaman Adam dan Hawa
hingga zaman media sosial bangunan imaji atas sosok perempuan selalu menjadi
medan pertempuran. Berbagai narasi dibuat untuk mengatur perempuan. Mulai
kisah di kitab suci, dongeng yang dikisahkan turun-temurun, buku agama,
hingga karya sastra, dan kini konten-konten yang diproduksi di internet.
Kekuasaan agama melahirkan
teks-teks kitab suci yang menjadi pedoman bagaimana seharusnya menjadi
perempuan. Bahkan, dalam kisah yang pertama hadir di dunia tentang turunnya
Adam dan Hawa, perempuan dihadirkan sebagai sosok penggoda yang mengakibatkan
Adam melakukan hal yang dilarang Tuhan.
Beratus tahun kemudian,
ada seorang laki-laki tampan bernama Yusuf yang digandrungi begitu banyak
perempuan. Semua berebut ingin menarik perhatian dia, tak terkecuali ibu
angkatnya.
Dia pun dituduh memerkosa
ibu angkatnya. Padahal, ibu angkatnya itulah yang terus merayu dan mengajak
dia bercengkerama.
Narasi tuduhan pemerkosaan
Yusuf itu pun akhirnya menjadi model cerita yang terus dikembangkan setiap
ada laporan pemerkosaan hingga hari ini. ''Suka sama suka'' atau
''perempuannya yang merayu terus'' menjadi suara umum dalam masyarakat kita
setiap ada laporan pemerkosaan.
Di Indonesia hari ini,
kita bisa melihat begitu banyak buku yang menjadikan dirinya sebagai
representasi kekuasaan agama. Karya-karya berlabel islami dan religi
mendominasi toko-toko buku.
Karya-karya seperti ini
menggambarkan perempuan sebagai sosok yang menutup aurat, penurut, berbakti
kepada suami, dan mau dipoligami. Melalui kisah di novel, perempuan diberi
pengetahuan cara berbusana sesuai dengan aturan agama, cara memperlakukan
suami, hukum perkawinan, hukum bergaul, dan sebagainya.
Melalui novel, perempuan
diberi pengetahuan yang sesungguhnya hanya merupakan cara kekuasaan untuk
mengontrol dan mengatur perempuan sesuai dengan keinginan mereka.
Lihat saja bagaimana
Ayat-Ayat Cinta, novel yang laku keras dan mendapat perhatian besar dalam masyarakat
itu, menggambarkan perempuan. Fahri seorang laki-laki yang digilai banyak
perempuan. Dia menikah dengan Aisha, perempuan cantik berjilbab dan bercadar,
yang kelak mendorong suaminya menikah lagi dengan Maria.
Sementara itu, ada satu
sosok perempuan yang membuat pengakuan palsu bahwa dia diperkosa Fahri.
Bukankah itu semua adalah narasi yang lahir dari imajinasi patriarki?
Karya ini mendorong
lahirnya karya-karya lain yang sejenis. Kepentingan patriarki yang
menggunakan agama untuk mengendalikan tubuh, pikiran, dan imajinasi perempuan
bertemu dengan logika pasar.
Karya-karya semacam itu
laku keras, salah satu di antaranya karena ada yang berpikir dengan membaca
novel berlabel islami, me¬reka melakukan hal mulia dan mendapat pahala.
Terlebih jika kisah yang dihadirkan mampu membuat pembaca terbuai dan larut
dalam cerita sehingga akhirnya merasa terhibur.
Di zaman teknologi seperti
ini, konten bisa diciptakan dengan mudah oleh siapa pun. Mulai ustad hingga
yang hanya mengaku ustad. Mulai penulis buku hingga penulis status media
sosial.
Dengan sekali klik pula,
setiap konten bisa disebarkan. Menjadi viral di mana-mana, dibaca oleh banyak
orang, memengaruhi pi¬kiran, dan tak jarang mengintimidasi banyak orang,
terutama para perempuan.
Bayangkan situasi seorang
perempuan bekerja yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor harus
terus-menerus membaca serangkaian twit dan tulisan yang mendiskreditkan
perempuan bekerja dengan mengutip berbagai dalil agama.
Ironisnya, hal seperti itu
juga terus diamini dan disebarkan ulang oleh banyak perempuan. Hingga
akhirnya menciptakan permusuhan di antara sesama perempuan sendiri.
Buku-buku yang lahir dari
konten-konten seperti itu juga terus diterbitkan dan terjual laris sehingga
mendorong banyak orang untuk menulis hal serupa. Perempuan senantiasa
dijadikan pasar. Mulai produk hingga narasi dan pemikiran. Mulai twit hingga
buku.
Dari zaman Kartini sampai
hari ini, perjuangan untuk kesetaraan perempuan adalah pertarungan untuk
melawan narasi-narasi utama yang dibentuk kekuasaan patriarki dalam politik,
agama, dan adat istiadat. Dan bagi kita, para millennial, pertarungan itu
bisa dimulai di linimasa dan buku-buku yang kita baca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar