Apa Setelah Banceuy?
Rahardi Ramelan ; Ketua Umum Paguyuban Narapidana;
Mantan Narapidana Indonesia
(NAPI)
|
KOMPAS, 29 April
2016
Dalam beberapa bulan ini secara beruntun telah terjadi
kerusuhan di sejumlah lembaga pemasyarakatan di berbagai daerah. Kembali yang
mencuat adalah masalah jumlah penghuni penjara yang melebihi kapasitas
(over-crowded) di lembaga pemasyarakatan. Para pejabat, politisi, dan pakar
pun membicarakan perundangan dan peraturan yang ada.
Yang menjadi fokus pembahasan ialah keberadaan Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang dianggap menjadi penyebabnya. Dipandang
dari kenyataan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), sekurang-kurangnya
ada empat hal yang menjadi masalah utama.
Pertama, setelah sistem pemasyarakatan yang dicetuskan DR
Sahardjo SH diterima dan ditetapkan sebagai konsep pemenjaraan pengganti
sistem boei pada tahun 1963, dalam realitasnya belum ada
perubahan mendasar di dalam kehidupan di dalam penjara kita.
Beberapa hal yang penting dalam konsep pemasyarakatan,
antara lain, (1) negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih
jahat daripada sebelum ia masuk penjara, (2) selama kehilangan kemerdekaan
bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh
diasingkan daripadanya, (3) narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan
kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialami.
Jadi, sebenarnya negara melalui lapas yang harus
menyiapkan para narapidana untuk berintegrasi dengan masyarakatnya. Karena
itu, diterapkan berbagai cara, antara lain, memberikan berbagai jenis remisi,
cuti mengunjungi keluarga (CMK), asimilasi, cuti menjelang bebas (CMB), dan
bebas bersyarat, sampai kemudian diadakannya lapas terbuka.
Akan tetapi, kenyataannya untuk mendapatkan hak-hak
tersebut selalu diliputi dengan berbagai kerumitan administrasi dan ongkos,
baik resmi maupun tidak resmi. Sehingga, banyak narapidana, terutama
yang memiliki kemampuan terbatas, mengenyampingkan hak-haknya tersebut,
dan menunggu sampai mereka bebas murni.
Pengalaman penulis secara pribadi saat dipenjara, walaupun
telah memproses persyaratan untuk CMK, tetapi izin tidak pernah didapat
sampai akhirnya penulis bebas.
Kedua, penghuni lapas sangat heterogen baik dari sisi usia
maupun pendidikan, sosial, jenis kejahatan, dan lamanya hukuman. Keadaan ini
sangat menyulitkan "pembinaan" narapidana yang dinamakan juga warga
binaan pemasyarakatan (WBP). Selain itu, kenyataannya lapas juga diisi
tahanan yang sering disebut dengan "orang titipan" (OT), yang
jumlahnya kadang-kadang melebihi jumlah narapidana. OT ini tidak termasuk
keharusan negara untuk membina, disebabkan proses hukumnya belum tuntas.
Dalam sistem hukum kita, baik kepolisian dan kejaksaan,
terlalu rajin menahan orang dan menitipkannya di lapas. Hal inilah yang
menjadikan semakin ruwet dan berjejalnya lapas.
Ketiga, atas desakan masyarakat dan politisi untuk lebih
memperberat persyaratan pemberian remisi bagi narapidana yang termasuk extra
ordinary crime, seperti narkoba, korupsi, dan terorisme, dikeluarkan PP No
99/ 2012 yang memperberat syarat pemberian remisi.
Hal tersebut sangat bertentangan dengan UU No 12/1995
tentang Pemasyarakatan. Seharusnya peningkatan hukuman tidak dibebankan
kepada lapas, melainkan menjadi tugas dan kewajiban kepolisian dan kejaksaan dalam
membangun perkara dan mengajukan dakwaan dan tuntutan. Kemudian juga menjadi
tanggung jawab pengadilan dalam mengambil keputusan. Janganlah kepolisian,
kejaksaan, dan hakim cuci tangan dalam kasus yang terjadi di dalam
penjara.
Keempat, konsep arsitektur bangunan penjara yang didirikan
pada tahun 2000-an, sangat tidak sesuai dengan konsep pemasyarakatan.
Struktur dan teknis bangunan penjara atau boei Belanda masih
lebih baik. Contohnya Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung.
Di samping berbagai masalah hukum dan pelayanan yang
dikaitkan dengan pemenjaraan, lapas juga menyisakan masalah keseharian,
seperti pelayanan makan dan kebersihan serta kesehatan. Kualitas
makanan yang substandar (bukan rasa) menyebabkan sampai pada tahun 2000-an sebagian
narapidana memasak sendiri atau mendatangkan makanan dari luar. Hal ini
menjadi parah karena dapur diselenggarakan oleh pihak ketiga yang dipilih
melalui tender, yang menambah biaya. Keadaan ini menimbulkan maraknya
perdagangan bahan makanan dan makanan di dalam lapas.
Selain makanan, hal yang sangat menonjol juga pelayanan
kesehatan. Di awal 2000 beberapa narapidana membiayai dokter spesialis untuk
berpraktik dua kali seminggu di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Mungkin
sekarang ini sudah ada perbaikan dengan penempatan dokter PTT (pegawai tidak
tetap) di dalam lapas.
Data dan dokumentasi
Salah satu masalah yang sangat kompleks adalah penelusuran
data dan dokumen narapidana. Hal tersebut diperlukan untuk bisa memproses
CMK, bebas bersyarat, CMB, dan bebas murni. Terkadang narapidana harus
meminta pihak keluarga atau kenalan di luar untuk menelusuri dokumen-dokumen
sejak penahanan, dakwaan, tuntutan, sampai putusan. Kalau perkaranya sampai
ke tingkat banding dan kasasi masalahnya akan tambah ruwet lagi. Kesemuanya
membutuhkan biaya.
Karena itu, pada 2006, atas sepengetahuan dan seizin
pimpinan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sekelompok WBP di Lapas Kelas I
Cipinang telah mengembangkan sistem registrasi dan pendataan menggunakan
komputer. Kegiatan yang seluruhnya dibiayai narapidana dengan bantuan dari
rekan-rekan di luar. Pendokumentasian telah dapat memproses basis data
lebih dari 5.500 WBP termasuk dengan pemotretan secara digital. Dikerjakan
bersama dengan tim pejabat dan petugas Lapas Cipinang.
Sistem basis data yang dibangun pada dasarnya bisa
diterapkan di lapas manapun. Sayangnya usulan para WBP tersebut tidak pernah
mendapat tanggapan dari Kementerian Hukum dan HAM, pada waktu itu.
Banyak masalah penting yang harus diselesaikan,
mulai dari UU No 12/1995 yang sudah absolete, pengelolaan lapas
sesuai konsep pemasyarakatan, dan sistem peradilan kita. Untuk itu pernah
dibuat cetak biru revitalisasi lapas.
Namun, yang mendesak, yang mungkin dapat meredam ketidak
puasan narapidana adalah mengembalikan hak-hak narapidana tanpa membedakan
tindak pidananya. Karena tingkat dan lamanya pemidanaan adalah tanggung jawab
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, bukan kewenangan pemerintah cq Menteri
Hukum dan HAM, untuk memperberat hukuman seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar