Moratorium Perluasan Lahan Sawit
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
MEDIA INDONESIA,
29 April 2016
INSTRUKSI Presiden Joko Widodo
untuk memoratorium pembukaan lahan baru buat perkebunan sawit disambut pro
dan kontra. Perusahaan yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) cenderung kontra. Alasannya, sawit ialah komoditas
strategis.
Sawit menyumbang devisa US$19
miliar (2015) dari ekspor 26,4 ton minyak sawit, lebih tinggi daripada devisa
ekspor migas (US$12 miliar).
Sawit menyerap tenaga kerja dan
melibatkan petani hingga 6 juta jiwa.
Sawit mendorong perkembangan
wilayah-wilayah pinggiran di 190-an kabupaten/kota di Indonesia. Moratorium
akan membuat industri ini stagnan. Karena itu, Gapki masih menunggu detail
kebijakan itu.
Di sisi lain, aktivis dan LSM
lingkungan menyambut baik instruksi Jokowi.
Bagi mereka, moratorium merupakan
momentum tepat untuk mengevaluasi secara menyeluruh industri sawit. Bagi
Jokowi, moratorium bertujuan menjawab keprihatinan dunia akan kelestarian
lingkungan, terutama mendorong perbaikan perkebunan kelapa sawit. Selama ini
sawit menjadi bulan-bulanan objek kampanye negatif dunia internasional.
Bagi mereka, sawit tidak hanya
mengancam habibat orang utan dan pemusnah biodiversity, sawit juga dituding
biang deforestasi dan pemanasan global.
Harus diakui, praktik perkebunan
kelapa sawit domestik, baik oleh perkebunan besar (swasta maupun BUMN) dan
perkebunan rakyat, masih mengandung kelemahan. Meskipun sawit satu-satunya
minyak nabati dunia yang memiliki sistem tata kelola yang berkelanjutan,
sebagian besar dari mereka belum mengantongi sertifikasi, baik RSPO
(Roundtable on Sustainable Palm Oil) maupun ISPO (Indonesia Sustainable Palm
Oil).
Di antara kelemahan yang umum
diketahui ialah status lahan kebun yang belum jelas, pelanggaran penanaman di
sepadan sungai, tidak terpeliharanya area yang bernilai konservasi tinggi. Ini
membuat kelestarian bentang alam terganggu.
Tidak mungkin disangkal sawit
menjadi penyelamat defisit transaksi berjalan. Namun, tidak bisa dimungkiri
pula sejumlah masalah masih menjadi pekerjaan rumah industri ini. Pertama,
dalam perdagangan internasional, pemain kelapa sawit Indonesia tidak beranjak
dari posisi mengikuti perkembangan harga pasar (price taker). Padahal,
Indonesia produsen sawit terbesar dunia (51,68%). Bersama Malaysia, Indonesia
menguasai sekitar 85% pangsa pasar sawit dunia. Sampai saat ini harga CPO
Indonesia didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga
kontrak berjangka.
Sebagai penghasil produk,
Indonesia tentu paling dekat dengan kondisi-kondisi fundamental yang
memengaruhi harga. Kita memproduksi sebanyak 31,5 juta ton CPO pada 2015. Dari
jumlah itu, 5,1 juta ton CPO diserap pasar domestik, sisanya diekspor. Dengan
kondisi seperti itu, sejatinya Rotterdam tidak layak jadi basis acuan harga
ekspor karena perdagangan CPO di Eropa hanya 2,5 juta-3 juta ton per tahun. Mestinya
fungsi Rotterdam bisa diambil Bursa Berjangka Jakarta. Mengapa para pemain
sawit Indonesia belum menjadi penentu harga (price maker)? Ini perlu dicari
tahu apa penyebabnya.
Kedua, produktivitas sawit
Indonesia masih tergolong rendah. Jika dibandingkan dengan Malaysia,
produktivitas sawit Indonesia jauh tertinggal. Padahal, dulu Malaysia berguru
ke Indonesia. Pada 2014, produktivitas kelapa sawit Indonesia hanya 13,6 ton
tandan buah segar (TBS)/ha, jauh dari produktivitas Malaysia (19,0 ton
TBS/ha). Sementara itu, produktivitas CPO Indonesia baru 2,6 ton/ha,
sedangkan Malaysia 3,9 ton/ha. Karena itu, tidak mengherankan, meskipun luas
lahan sawit Indonesia dua kali lipat dari Malaysia, produksi minyak sawit
Malaysia tak berbeda jauh dari Indonesia. Di masa depan, peningkatan
produktivitas harus jadi perhatian utama. Ini bisa mengompensasi dampak
moratorium.
Ketiga, penghiliran industri sawit
belum mendalam. Menurut Kementerian Perindustrian, pada 2013, ekspor turunan
minyak sawit sudah mencapai 73%. Namun, apabila dilihat jenis minyak sawit
yang diekspor, masih dominan jenis olahan bernilai tambah rendah. Sebaliknya,
Malaysia mengekspor produk olahan bernilai tambah tinggi. Harus diakui,
selama ini kita terlena hanya berproduksi, tapi tidak pernah menggarap pasar
dan mengolahnya menjadi aneka produk turunan. Sebagai produsen utama, sudah
seharusnya Indonesia yang meraih nilai tambah lebih besar dengan memperdalam
industri pengolahan, bukan negara lain. Moratorium harus dijadikan momentum
perbaikan.
Selama moratorium, sejumlah hal
harus dilakukan. Yang paling penting ialah tanam ulang perkebunan rakyat yang
memang harus diremajakan.
Dengan bibit unggul dan praktik
penanaman yang baik, produktivitas akan bisa dilipatgandakan. Pada saat yang
sama, diplomasi sawit diperkuat.
Diplomasi sawit mestinya bisa
lebih kuat, solid, dan terukur setelah pemerintah membentuk Badan Pengelola
Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP Sawit).
Dari tahun lalu, telah terkumpul
dana dari pungutan ekspor CPO sebesar Rp2,6 triliun. Selain untuk subsidi
biofuel, tanam ulang, dan riset-riset di sektor kelapa sawit, dana harus
dimanfaatkan untuk memperkuat diplomasi dan branding sawit. Jika semua itu
bisa dilakukan konsisten, kita akan memetik manfaat moratorium. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar