Kontroversi dan Dilema Pengampunan Pajak
A Prasetyantoko ; Ekonom
di Unika Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS, 25 April
2016
Jika
DPR mengesahkan Undang-Undang Pengampunan Pajak, ini akan menjadi yang
keempat kalinya dalam sejarah kita sejak kemerdekaan. Secara psikologis,
pengampunan pajak secara berulang sama sekali tidak mendidik. Pihak
penghindar pajak akan terus berharap akan ada pengampunan berikutnya dan
berikutnya lagi.
Pemerintah
memiliki kalkulasi, ada sekitar Rp 11.000 triliun uang orang Indonesia di
luar negeri. Mereka tersebar di sejumlah negara, terutama di Swiss, Kepulauan
Virgin Britania Raya, Luksemburg, dan Singapura. Di Singapura saja ada Rp
2.700-an triliun. Keyakinan jumlah uang yang cukup banyak di beberapa negara
surga pajak ini terkonfirmasi dengan beredarnya Panama Papers. Sejak
kemunculan dokumen itu, pembahasan UU Pengampunan Pajak lebih lancar.
Pemerintah
berharap, paling tidak ada tambahan penerimaan pajak Rp 60 triliun-Rp 100
triliun dengan kebijakan ini. Pertaruhannya begitu besar mengingat penerimaan
pajak tahun ini sangat berat. Sementara, kebutuhan pengeluaran tak lagi bisa
ditunda, sisi penerimaan semakin tak jelas dan diombang-ambingkan cuaca
politik di parlemen. Di sinilah pengampunan menjadi kontroversial sekaligus
dilematis.
Kontroversial
karena pengampunan pajak akan menabrak dimensi etis terkait kepatuhan pajak.
Kebijakan ini merupakan insentif bagi perilaku tak patuh, sekaligus bersikap
tak adil bagi pihak yang selama ini patuh. Kalaupun banyak yang merespons
positif, dipastikan mereka tak akan mengalihkan seluruh aset. Hanya sebagian
(kecil) yang mungkin akan dibawa kembali, sambil berharap pengampunan
berikutnya.
Majalah
The Economist edisi 9 April 2016 menunjukkan kontroversi itu dengan menyebut
pengampunan pajak sebagai kebijakan yang memberi insentif bagi kejahatan.
Dalam klasifikasi kebijakan, pengampunan pajak merupakan pilihan terburuk.
Satu-satunya justifikasi pengampunan pajak adalah desakan kebutuhan pragmatis
menambah pemasukan di tengah terus menurunnya sumber penerimaan domestik.
Kalaupun
kita menerima fakta pragmatis tersebut, tetap saja ada berbagai masalah
dilematis. Pertama, pasar keuangan kita masih terlalu dangkal dan
instrumennya terlalu terbatas menampung pemasukan aliran modal cukup besar.
Pertanyaannya, apakah akan diluncurkan aneka instrumen keuangan baru dalam
rangka menampung masuknya modal akibat kebijakan pengampunan pajak ini?
Menjadi dilematis tatkala langkah ini ditempuh dan tetap saja tidak ada
aliran dana cukup signifikan.
Kedua,
mendorong sektor riil agar bergerak lebih cepat sehingga menarik modal masuk
melalui penempatan di berbagai proyek, khususnya infrastruktur. Dilemanya,
jika pemerintah terus memacu pengeluaran di sektor infrastruktur agar
meyakinkan pihak swasta masuk, tetapi ternyata penerimaan pajak tak
terpenuhi, maka defisit anggaran melebar. Ruang fiskal pada sisi pengeluaran
sangat sempit karena batas defisit 3 persen sudah tak jauh lagi. Kalau
pemerintah tetap fokus pada pengeluaran, sedangkan penerimaan tak bergerak
naik, angka defisit bisa menabrak batas yang diperbolehkan undang-undang.
Lalu,
bagaimana idealnya? Paling baik, modal masuk kembali ke perekonomian domestik
melalui "mesin sektor swasta". Dengan demikian, akan langsung
menambah kapasitas produksi sekaligus menggerakkan efek penggandanya
(menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat). Persoalannya,
penambahan modal kerja dan investasi baru hanya akan valid secara bisnis jika
ekspektasi penerimaan juga meningkat.
Pengondisian
lingkungan makro menjadi penting. Pertama, dari sisi struktural, paket
kebijakan ekonomi I hingga XI harus memiliki dampak riil di lapangan. Jika
investor masih merasa situasi di lapangan tak berubah, efeknya tak akan
maksimal. Kedua, dari sisi moneter, perbaikan transmisi moneter terus
ditingkatkan. Langkah Bank Indonesia mereformulasi kerangka kebijakan moneter
dengan menggunakan suku bunga reverse repo tujuh hari sebagai "acuan
baru" patut diapresiasi.
Di
luar semua itu, kebijakan pengampunan pajak tetap tak menjawab masalah
fundamental bangsa ini, yaitu ketidakmampuan membiayai pembangunan dengan
sumber dana internal. Ada beberapa hal mendesak yang harus diperbaiki, selain
pengampunan pajak itu sendiri. Pertama, memastikan setiap pendapatan hasil
ekspor kembali ke perekonomian domestik. Kebijakan "wajib lapor"
bagi Devisa Hasil Ekspor harus kembali digiatkan. Kedua, memastikan berbagai
praktik penghindaran pajak melalui transfer pricing tak berkembang.
Ketiga,
meningkatkan administrasi dan kepatuhan membayar pajak secara menyeluruh.
Dari total penduduk Indonesia yang sekitar 255 juta jiwa, hanya 27 juta yang
terdaftar sebagai pembayar pajak pada 2015. Pada 2014, hanya 900.000 penduduk
yang membayar pajak. Itulah mengapa rasio pajak terhadap perekonomian hanya
sekitar 10 persen. Padahal, negara tetangga di kawasan Asia Tenggara sudah
berkisar 13-15 persen.
Terhadap
persoalan pelik bidang perpajakan domestik, pengampunan pajak sama sekali
bukan obat mujarab. Ada banyak komplikasi yang harus diselesaikan secara
sistematis. Kontroversi bisa diredakan jika perangkat kebijakan lain juga
berjalan. Bukan sekadar memberikan "insentif" bagi perilaku
penghindaran pajak, melainkan juga memastikan perilaku kepatuhan pajak. Jadi,
penindakan secara hukum juga penting.
Fokus
pada beberapa sektor industri untuk dikembangkan melalui berbagai perangkat
kebijakan menjadi penting sehingga dana yang bersembunyi di negara lain bisa
kembali secara "alamiah". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar