Digital
Diplomacy, Sebuah Kebutuhan
Mendesak
Tantowi Yahya ; Wakil
Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI
|
DETIKNEWS, 22 April
2016
Perkembangan teknologi yang
demikian cepat secara nyata telah mengubah—tidak hanya perilaku
manusia—melainkan juga kebiasaan kita, budaya, bahkan peradaban di banyak
negara. Di industri musik misalnya, "kesakralan" compact disc yang
sebelumnya dianggap sebagai modern property, kini tengah menjelang
"kematian". Penyebabnya, gempuran digitalisasi file musik melalui
internet secara massif telah mengubah cara orang mendapatkan dan mendengarkan
musik.
Maka tak heran bila satu per satu
toko musik offline seperti Aquarius, Disc Tara, Duta Suara gulung tikar,
tersapu ombak internet yang speed-nya makin cepat dan mampu menjawab
kebutuhan konsumen. Gejala yang sama sekarang ini juga terjadi di banyak
sektor, termasuk bagaimana cara kita menjalankan politik luar negeri
(diplomasi) di masa depan.
Di negara-negara Barat, diplomasi
yang mengandalkan internet dan perangkat elektronik digital, apa yang
kemudian disebut digital diplomacy sudah lebih dulu berkembang. Negara-negara
seperti Amerika Serikat dan Australia benar-benar memaksimalkan kemajuan
teknologi modern dan potensi dunia maya untuk mendukung perjuangan
kepentingan nasional mereka di panggung internasional.
Apa
itu Digital Diplomacy?
Pengertian digital diplomacy, yang
juga dikenal sebagai eDiplomacy, sebagaimana diberikan oleh Fergus Hanson,
2012, adalah "the use of the
Internet and new information communication technologies to help achieve
diplomatic objectives", penggunaan internet dan tehnologi informasi dan
komunikasi dalam rangka mencapai tujuan diplomatik.
Lebih jauh, The UK Foreign and
Commonwealth Office mendefinisikan digital diplomacy sebagai, "solving
foreign policy problems using the internet", mengatasi masalah kebijakan
luar negeri dengan memanfaatkan internet. Sementara Kemlu AS memberikan pemaknaan
yang lebih bombastis, bahwa digital diplomacy sebagai "the term 21st
Century Statecraft". Begitu pula The Canadian Department of Foreign
Affairs, Trade and Development yang memaknainya sebagai "calls it Open
Policy".
Wilson Dizard memberikan pandangan
yang lebih tajam dalam tulisanya "The Origin of Digital Diplomacy".
Ia menyimpulkan ada tiga peran penting yang dimainkan diplomasi di era
informasi.
Pertama, memunculkan isu-isu
tentang kebijakan luar negeri yang melibatkan sumber informasi dan komunikasi
yang menggunakan tehnologi canggih. Pengaruh perkembangan dan peningkatan
persebaran alat informasi elektronik di Amerika secara tidak langsung
memunculan kebijakan baru yang kemudian dilibatkan dalam pembahasan. Selain
itu teknologi ini juga secara tidak langsung mengambil peran dalam merubah
kepentingan geopolitik Amerika Serikat.
Kedua, berbagai perubahan dalam
pengaturan sumber informasi di lingkungan Kementerian Luar Negeri dan
biro-biro terkait kebijakan luar negeri lainnya.
Ketiga, lonjakan perananan
diplomasi publik khususnya yang menggunakan teknologi digital dalam
mempengaruhi opini publik.
Program diplomasi publik Amerika
melalui Voice of America (VoA) berhasil meraih kesuksesan dalam konteks
pengembangan informasi, mulai dari internet hingga broadcasting melalui
satelit. Program yang sejalan dan setujuan dengan arah kebijakan politik luar
negeri AS ini sudah barang tentu merupakan pekerjaan dan tanggung jawab
sebuah badan khusus yang ditugaskan untuk itu.
Dizard menambahkan pula, terdapat
tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam mengukur pengaruh kebijakan
luar negeri terhadap perkembangan teknologi informasi, yaitu kebijakan,
pengoperasian dan diplomasi publik.
eDiplomacy
di Amerika
Melihat kesiapan negara-negara
Barat sebagaimana di atas dalam menghadapi era diplomasi digital,
negara-negara seperti Amerika, Australia dan Kanada telah membangun
infrastruktur jauh-jauh hari. Amerika Serikat yang merupakan negara pioner
penerapan diplomasi digital dalam politik luar negerinya, pada tahun 2002,
membangun satuan tugas di lingkungan Kemlu yang khusus menangani eDiplomacy.
Sejak itu, pembangunan opini untuk
mendukung misi luar negeri Paman Sam melalui internet dan televisi
berlangsung secara massif. Sentimen negatif serangan AS ke Irak dan
Afghanistan pada awal 2000-an yang meremukkan citra mereka di dunia hanya
berlangsung singkat. Berita-berita negatif dan merugikan bisa diredam.
Melalui CNN, VoA maupun internet, AS menyusun propaganda terstruktur dan
rapi, hingga publik dunia memahami bahwa serangan AS ke kawasan tersebut
dilakukan untuk memerangi terorisme, membasmi senjata pemusnah massal dan
menyuburkan demokrasi.
Indonesia sendiri dalam diplomasi
di kawasan tak pernah lepas dari 'serangan' digital diplomacy, khususnya dari
negara-negara tetangga. Seperti yang terjadi tahun 2015 lalu, Australia
melancarkan diplomasi digital untuk menyelamatkan warga negaranya — dikenal
sebagai komplotan Bali Nine — yang akan dieksekusi akibat kasus narkotika.
Setelah berbagai jurus lobi resmi
yang melibatkan pemerintahan kedua negara untuk menyelamatkan Bali Nine
gagal, pemerintah Australia akhirnya menggunakan diplomasi elektronik melalui
media. Diantaranya, pemerintah dan warga Australia mengancam akan memboikot
pariwisata di Bali jika eksekusi mati tetap dilakukan. Menlu Julia Bishop dan
Senator Independen Jacqui Lambiea mengancam akan memberhentikan bantuan
internasional kepada Indonesia jika kita tetap mengeksekusi warganya
tersebut.
Bertolak dari pengalaman Indonesia
dalam bersentuhan langsung dengan digital diplomacy dalam skala yang beragam,
apakah saat ini kita juga siap memaksimalkan intrumen baru tersebut untuk
mendukung politik bebas aktif kita?
Penulis melihat kita sudah
melakukannya, namun masih dalam skala yang terbatas. Barangkali hal ini
karena start kita mengadopsi diplomasi digital relatif terlambat. Hal ini
setidaknya terlihat dari Diklat Diplomatik Senior (Sesparlu) Kemlu, 29
September 2015 yang baru membahas diplomasi varian baru dalam Digital
Diplomacy Week.
Dengan berbagai tantangan dan
ancaman yang kita hadapi sekarang ini, seyogyanya Kemlu sudah mengoperasikan
digital diplomacy enam atau tujuh tahun lalu. Meskipun saat ini Kemlu mulai
menjalankan diplomasi digital namun perspektif yang digunakan dalam masih
terkesan bussiness as usual. Dengan kata lain, Kemlu memainkan diplomasi
digital dengan background polugri (politik luar negeri-red) yang normal.
Keinginan untuk membangun fasilitas digital berikut penyiapan SDM yang akan berperang
di alam maya dalam konteks counter opini dan penciptaan opini belum terlihat.
Tantangan
Kemlu
Tantangan yang kita hadapi saat
ini terkait ancaman dari dunia jauh lebih kompleks dibanding lima tahun lalu.
Setidaknya ada dua ancaman nyata yang merongrong kedaulatan negara di depan
mata.
Pertama, arus deras kampanye Papua
Merdeka di dunia maya. Meski saat ini Presiden Joko Widodo berupaya membangun
Papua dengan jargon "Papua Tanah Damai" — dan itu beliau tunjukkan
dengan berkali-kali berkunjung kesana — namun manuver aktivis-aktivis Papua
Merdeka, khususnya yang tergabung dalam The United Liberation Movement For
West Papua (ULMWP) di luar negeri melalui sosmed dan jaringan digital lainnya
terus meningkat.
Portal dan website yang
mendeskreditkan Pemerintah terus bermunculan. Isinya tak lain dari bully
terhadap Pemerintah Indonesia dan pemutarbalikan fakta. Langkah yang diambil
ULMWP ini benar dan tepat dalam konteks kepentingan mereka untuk menciptakan
opini, Indonesia tengah menjajah mereka.
Penulis mengatakan strategi ULMWP
dalam membangun opini dengan memanfaatkan kemajuan teknologi (digital) sudah
benar dan tepat. Strategi ini paling tidak sudah membuahkan hasil. Sebagian
negara-negara Pasifik Selatan kini berani memberikan dukungan atas misi Papua
Merdeka, baik yang secara terang-terangan maupun yang implisit.
Vanuatu misalnya, menyatakan
secara resmi mendukung kemerdekaan Papua. Kepulauan Solomon, setelah PM
Gordon Darcy yang pro-Indonesia mengalami kekalahan, PM pengganti Darcy
secara implisit mendukung OPM. Itu terlihat dari dibentuknya organisasi
Solomon Islands for West Papua (SIFWP). Hal serupa terjadi di Fiji, yang meskipun
dalam diplomasi above the line akrab dengan Jakarta, namun tahun lalu
kelompok masyarakat di sana meluncurkan Fiji Solidarity Movement for West
Papua Freedom.
Terakhir, di luar perkiraan,
meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu mengunjungi Port Moresby,
Papua Nugini (PNG), saat ini indikasi dukungan pemerintahan PNG ke OPM mulai
terlihat. Semakin meningkatnya jumlah warga dunia dan negara yang bersimpati
dengan perjuangan ULMWP, berarti penggalangan opini yang mereka bangun
melalui sosial media telah mendatangkan hasil.
Kedua, ancaman terorisme yang kini
makin meningkat skalanya pasca serangan di Jalan MH Thamrin, Januari 2016.
Disinyalir para suicide bombers adalah teroris generasi baru yang melek
teknologi, khususnya internet. Mereka belajar doktrin radikal hingga cara
membuat bom dari internet. Demikian bebas dan tanpa batas informasi di
internet membuat pemerintah perlu melakukan aksi nyata untuk menyaring
situs-situs radikal yang berpotensi membahayakan anak bangsa.
Dalam kaitan diplomasi digital, ke
depan perlu upaya serius untuk melihat diplomasi ini tidak hanya dari
perpektif hubungan bilateral, kerjasama budaya dan ekonomi semata. Sebaliknya
kita harus berani melihatnya dari kacamata potensi krisis. Dengan akan
dibentuknya Badan Cyber Nasional (BCN), instrumen digital diplomacy tidak
hanya merupakan pilihan, melainkan kebutuhan bangsa Indonesia untuk mengawal
kepentingan nasional kita dalam bingkai politik luar negeri bebas aktif.
Di luar itu, generasi muda kita
yang sangat akrab dengan teknologi informasi, harus mampu kita kapitalisasi
menjadi tentara siber (cyber army) nasional yang menakutkan bagi siapapun
yang ingin memperburuk citra Indonesia. Energi mereka selama ini akan lebih
baik dan bermanfaat apabila disalurkan untuk berperang melawan musuh-musuh
negara, dibanding saling caci-maki sesama anak bangsa yang tak berkesudahan
seperti selama ini.
Jika Kementerian Pertahanan
(Kemhan) mempunyai rencana besar untuk melatih anak bangsa yang terpanggil
untuk membela negara melalui kegiatan latihan fisik dan disiplin ala militer,
Kemlu bisa memanfaatkan anak-anak muda dari generasi X dan Y yang sangat
menguasai IT dan aktif di social media menjadi tentara siber yang tangkas
dalam meng-counter isu dan propaganda yang dikembangkan oleh negara-negara
asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar