Pendidikan Antikorupsi dan Kartini Masa Kini
Muhbib Abdul Wahab ;
Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
|
KORAN SINDO, 21 April
2016
Budaya korupsi yang sudah mendarah daging dalam sistem kehidupan
berbangsa dan bernegara ini merupakan kejahatan sosial-kemanusiaan paling
mengerikan (extraordinary crime). Lebih dari
separuh kepala daerah di Tanah Air menjadi ”pasien” KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Nyaris tidak ada partai politik yang benar-benar bersih dari
korupsi. Ibarat kanker, penyakit korupsi di negeri ini sudah mencapai stadium
empat: sangat kritis dan sangat tragis. Daftar antrean koruptor yang sedang
dan akan dibidik KPK tampaknya juga masih sangat panjang.
Pelaku korupsi saat ini juga bukan monopoli kaum lelaki. Tidak
sedikit, politisi dan anggota DPR, dari kalangan perempuan juga terlibat
korupsi. Pertanyaannya, mengapa Kartini- Kartini masa kini juga tergiur untuk
korupsi? Dalam sebuah Talkshow bertajuk ”Kartini Bicara Antikorupsi”, mantan
ketua KPK, M. Busyro Muqoddas menyatakan bahwa perempuan, wanita, ibu rumah
tangga mempunyai peran signifikan dalam melakukan perubahan terkait
genuisitas perempuan untuk memberantas korupsi.
Lebih lanjut Busyro menjelaskan bahwa perempuan-perempuan yang
terjerat kasus korupsi juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar.
Salah satu lingkungan itu adalah lingkungan birokrasi politik. Ketika masuk
birokrasi, nilai fitrah perempuan itu ada yang luntur. Lingkungan birokrasi
politik itu perlahan tapi pasti menjadi ”inspirasi untuk berkorupsi” secara
berjamaah.
Meskipun belum sebanyak jumlah koruptor lelaki, perempuan (dan
lelaki) koruptor menjadi contoh buruk bagi revolusi mental spiritual bangsa.
Betapa tidak, perempuan dengan jiwa keibuan, kasih sayang, dan
kelemahlembutannya tiba-tiba berganti karakter ”maling”. Karakter baru ini
semakin membuat dunia pendidikan kehilangan role model (uswah hasanah) dalam menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran,
ketulusan, kesederhanaan, dan keadilan.
Banyak anak dan remaja Indonesia gelisah dan merasa ”kehilangan
ibunya” ketika menonton tayangan TV yang mempertontonkan kebejatan moral
orang dewasa yang terlibat korupsi dan aneka ”kenakalan dewasa” lainnya.
Pendidikan
antikorupsi dalam keluarga
Pendidikan informal (dalam keluarga) sejatinya merupakan fondasi
dan benteng utama pencegahan dan pemberantasan korupsi. Karena, pendidikan
informal itu merupakan sistem pendidikan yang paling otentik (genuine), bebas transaksi dan
komersialisasi. Kedua orang tua yang bertanggungjawabpastimencurahkan segala
perhatian dan kasih sayangnya demi pendidikan terbaik bagi anaknya di dalam
rumah tangga.
Selain itu, pendidikan dalam keluarga pada umumnya berupa pendidikan
nilai, agama, dan budaya positif. Oleh karena itu, pendidikan antikorupsi
memang harus dimulai dan dihabituasi (dibiasakan) dalam kehidupan rumah
tangga. Dalam keluarga, seorang istri yang sayang kepada suami dapat menjadi
mitra sejati dalam pendidikan antikorupsi. Misalnya saja dengan membudayakan
komunikasi dialogis seputar profesi dan nafkah keluarga.
Suami yang sayang terhadap istri pasti akan memegang teguh
prinsip untuk tidak pernah memberi nafkah untuk keluarganya dari harta yang
tidak halal, apalagi hasil korupsi. Jika komunikasi dialogis dan terbuka dapat
terbangun dalam relasi suami istri, maka suami akan merasa senang jika sang
istri bertanya kepadanya semisal: ”Apakah nafkah lahir (materi, harta benda)
yang diberikan kepada keluarga ini 100% halal, berasal dari hasil keringat
yang membawa berkah ataukah berasal dari rasuah, korupsi, dan cara-cara
ilegal dan tidak berkah?
Jika nafkah keluarga yang diberikan sang suami kepada istri itu
halal, dapat dipastikan bahwa pendidikan antikorupsi itu akan berhasil secara
efektif. Suami dan istri yang hanya mau memperoleh dan menerima nafkah
(rezeki) yang halal dan berkah, juga akan bersepakat bahwa semua rezeki yang
diperolehnya itu bukan untuk dikonsumsi habis untuk keluarganya.
Prinsip pantang menerima rezeki yang tidak halal ini pasti akan
dikelola dengan manajemen keberkahan berupa ”pembersihan” harta dari yang
bukan hak miliknya, yaitu melalui sedekah, infak, zakat mal (zakat harta),
dan wakaf. Keluarga bahagia dan berkah pasti menerapkan model pendidikan
antikorupsi dengan tidak menghabiskan semua pendapatannya untuk kepentingan
diri dan keluarganya.
Keluarga bahagia dan penuh berkah pasti menilai bahwa jika
pendapatannya itu tidak disisihkan dan dikeluarkan zakat, infak, dan
sedekahnya, merupakan awal tindak korupsi terhadap ”rezeki” yang diberikan
oleh Allah SWT. Dengan kata lain, pendidikan antikorupsi sangat tergantung
pada manajemen finansial keluarga.
Jika suami-istri menyadari dan memahami hakikat harta (rezeki)
yang diperolehnya itu merupakan amanah (titipan) dari Allah yang harus
diusahakan berasal dari yang halal, legal, dan berkah, niscaya anggota
keluarga itu akan mengelola harta benda itu secara akuntabel, bebas dari
korupsi, baik korupsi cara pemerolehannya maupun korupsi pendayagunaannya.
Aktualisasi
Peran Kartini Masa Kini
Manajer keuangan dalam setiap keluarga adalah istri atau
”Kartini”. Pengelolaan keuangan keluarga bahagia, berkah, dan sukses sangat
ditentukan oleh kompetensi manajerial sang manajer. Oleh karena itu, para
Kartini masa kini dalam keluarga mempunyai peran penting sebagai sakaguru
pendidikan antikorupsi.
Pertama, Kartini masa kini harus menjadi pembelajar antikorupsi,
misalnya, dengan tidak ”menyalahgunakan” uang belanja (nafkah) dari suami
untuk keperluan di luar belanja keluarga. Dalam konteks ini, Kartini masa
kini dituntut mempunyai integritas pribadi yang jujur, profesional, hemat,
dan proporsional dalam mengelola keuangan rumah tangganya.
Kedua, dengan belajar tidak korupsi dari nafkah lahir suami,
istri yang berintegritas tinggi tersebut pasti dapat memainkan peran penting
dalam melakukan edukasi dan supervisi terhadap suami dan anak-anaknya untuk
tidak korupsi. Jika ada kelebihan rezeki dari besaran gaji bulanan yang biasa
diterimanya, istri berhak bertanya asal usulnya. Jika meragukan asal usulnya,
maka istri dapat menolak untuk menerimanya dengan cara yang baik.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan keuangan keluarga, dipandang
perlu ada komitmen bersama untuk ”tidak korupsi” sama sekali. Edukasi dan
supervisi antikorupsi juga dapat diaktualisasikan dalam pemberian ”uang
jajan” bagi anak-anak. Mereka dilatih untuk secara terbuka menginformasikan
penggunaan uang pemberian orangtuanya saat berada di sekolah atau tempat
lain.
Dengan begitu, anak-anak dibiasakan berakhlak mulia, seperti:
jujur, terbuka, sayang dan hormat kepada kedua orang tua, dan sebagainya.
Ketiga,Kartini masa kini harus tampil sebagai pahlawan dalam mencegah dan
memberantas korupsi di ranah publik. Jika dalam ranah domestik (keluarga),
Kartini masa kini bisa membelajarkan dirinya, mengedukasi dan menyupervisi
anggota keluarga untuk tidak korupsi, maka di kantor, di tempat bekerja dan
mencari nafkah, Kartini masa kini harus berani memelopori gerakan
antikorupsi, misalnya dengan tidak menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya
untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Kartini masa kini harus berani bersuara jika ada kolega atau
atasannya yang terindikasi korupsi. Dengan kata lain, Kartini masa kini
dituntut mampu melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar korupsi sesuai
dengan bidang tugasnya. Setidak-tidaknya, jika Kartini ikut berpartisipasi
dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di ranah publik, terutama dalam
birokrasi pemerintahan, laju korupsi di Indonesia bisa direm dan dikurangi.
Sebagai ”tiang negara” atau sakaguru bangsa, Kartini masa kini
tidak hanya menyuarakan pendidikan emansipasi bagi kaumnya, melainkan harus
tampil berani dengan integritas tinggi melakukan edukasi, supervisi, dan
pengawasan sosial terhadap kejahatan korupsi.
Diyakini bahwa korupsi di negeri ini akan bisa berkurang
drastis, jika Kartini masa kini berperan aktif dalam menyuarakan pencegahan
dan pemberantasan korupsi, sekaligus memberi keteladanan yang baik dalam
pendidikan antikorupsi di dalam keluarga dan masyarakat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar