Selasa, 26 April 2016

Membenahi APBN

Membenahi APBN

Anwar Nasution  ;   Guru Besar FE UI
                                                        KOMPAS, 26 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa terjebak pada kebijakan yang membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi semakin amburadul: sumber dananya semakin bergantung pada pinjaman bersyarat mahal dari luar negeri, mengabaikan disiplin anggaran yang ditetapkan UU Keuangan Negara Tahun 2003, dan struktur arah pengeluaran yang cenderung kacau. Selain Menteri Keuangan, Menteri BUMN juga dapat meminjam dari luar negeri dengan menggadaikan BUMN yang di bawah pengaturannya.

Di tengah kekacauan itu, pemerintah dan DPR akan memberikan amnesti bagi individu yang selama ini menipu dan menggelapkan pajak. Dalam sejarah masa lalu, semua negara besar menyehatkan keuangan negara dengan menghukum penggelap pajak. Tindakan pertama Khalifah Abubakar As-Siddiq, pemimpin umat Islam setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, adalah memerangi orang Islam yang tidak mau membayar zakat dan bukan memerangi orang kafir!

Tanpa adanya perbaikan stabilitas politik, sosial, dan ekonomi, ataupun iklim investasi, amnesti pajak tidak akan menyebabkan repatriasi uang-uang itu kembali ke Indonesia. Dengan APBN yang amburadul seperti itu, Nawacita Presiden Jokowi untuk membuat APBN sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi, sarana untuk memelihara stabilitas perekonomian dan sekaligus mewujudkan pemerataan, hanya merupakan ilusi janji dan kosong belaka.

Indonesia negara gagal?

Suatu negara disebut "negara pisang" negara gagal, antara lain, karena tidak mampu menegakkan aturan hukum. Sistem hukum dan peradilan berfungsi untuk melindungi hak milik individu dan memelihara ketertiban transaksi pasar untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perekonomian.

Ada empat indikator yang mencerminkan Indonesia masuk dalam kelompok negara pisang yang gagal atau hampir gagal. Pertama, tidak adanya perlindungan hak milik individu. Kedua, mahalnya transaksi pasar karena semua urusan diselesaikan dengan uang tunai dengan bantuan preman serta penagih utang.

Indikator ketiga adalah karena tidak mampu menerapkan UU dan aturan pajak di negeri sendiri. UU dan aturan pajak adalah bagian dari sistem hukum nasional. Indikator keempat adalah panjangnya daftar orang Indonesia yang disebut dalam Dokumen Panama (Panama Papers). Daftar itu bukan saja memuat nama-nama pengusaha kaya non-pri yang biasanya merupakan sasaran kerusuhan sosial, tetapi juga kelompok pengusaha yang ikut menikmati rente selama masa 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Orang-orang itu bisa memindahkan kekayaannya ke luar negeri, antara lain, dengan bantuan penegak hukum yang korup. Yang menyedihkan, daftar itu memuat nama pemimpin ataupun mantan pemimpin lembaga negara, menteri koordinator, menteri, pemimpin dan anggota DPR, ataupun pejabat negara. Selain telah mengucapkan sumpah jabatan dan menandatangani pakta integritas, orang-orang ini seharusnya dapat memberikan suri teladan serta mengurus negara.

Walaupun sudah merdeka selama 70 tahun, rasio penerimaan negara kita ataupun strukturnya masih jauh menyimpang dari keadilan sosial ataupun asas pemerataan sebagaimana disebut dalam Pancasila dan UUD 1945. Rasio penerimaan pajak, sebagai persentase terhadap produk domestik bruto (PDB), baru berkisar 13 persen, termasuk terendah di ASEAN dan dunia. Dari 242,3 juta penduduknya (2011), hanya 30,46 juta (12,6 persen) yang mempunyai NPWP dan 18,16 juta (7 persen) yang terdaftar sebagai wajib pajak. Pemilik NPWP lainnya adalah pegawai rendahan yang tingkat pendapatannya belum dapat dipajaki. Sebagian terbesar dari penerimaan negara adalah berasal dari royalti dan pajak pertambangan. Sebab, secara politik lebih populer, perusahaan asing, terutama pertambangan, lebih mudah dipajaki daripada BUMN dan perusahaan nasional pribumi. Negara yang sepantar dengan Indonesia sudah memiliki rasio pajak ataupun jumlah pembayar pajak yang jauh lebih tinggi daripada di Indonesia. Pajak pendapatan perseorangan terutama dipungut dari tenaga kerja yang bekerja di sektor modern dengan administrasi dan pembukuan yang lebih teratur. Sumber lain yang besar adalah dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutama ditanggung oleh konsumen.

Defisit APBN

Rendahnya penerimaan negara dari pajak, BUMN/BUMD dan asetnya, menyebabkan pemerintah terpaksa menutup defisit APBN-nya, apakah dengan pencetakan uang ataukah dengan pinjaman luar negeri. Pinjaman dari sumber dalam negeri tidak mungkin dilakukan karena belum berkembangnya pasar obligasi dan tingginya tingkat laju inflasi yang menyebabkan surat utang negara menjadi kertas yang tidak ada nilainya.

Pemerintah sebelum 1966 menekankan pada pembelanjaan defisit melalui pencetakan uang baru oleh BI. Untuk memudahkan proses pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang, Gubernur BI diangkat menjadi menteri. Pinjaman luar negeri sangat terbatas pada waktu itu karena politik luar negeri Indonesia yang anti Barat. Rusia membangun Gelora Senayan untuk Asian Games di Jakarta, membangun jembatan Sungai Musi di Palembang, Kota Palangkaraya, dan membuat TNI/ABRI sebagai Angkatan Perang yang terkuat di selatan katulistiwa.

Negara-negara Eropa Timur dan Republik Rakyat Tiongkok juga memberikan bantuan militer dan ekonomi. Pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang dan kurangnya devisa untuk mengimpor barang modal ataupun bahan baku menyebabkan ekonomi menjadi karut marut dan tingkat laju inflasi sangat tinggi hingga 1966.

Pemerintah Orde Baru meredam tingkat laju inflasi dengan menyetop pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang. Cara pembelanjaan defisit APBN diganti dengan perolehan pinjaman lunak (Official Development Aid/ODA) berjangka panjang dan berbunga murah dari kelompok negara-negara donor Barat yang tergabung dalam IGGI/CGI. Selama 32 tahun, pemerintahan Orde Baru terus-menerus mampu meyakinkan DPR negara- negara donor untuk memberikan pinjaman lunak kepada Indonesia.

Jepang dan Amerika Serikat adalah kontributor terbesar pinjaman luar negeri Indonesia. Dalam APBN Orde Baru, pinjaman lunak itu disebut sebagai "penerimaan pembangunan" karena hanya dipergunakan untuk membelanjai pengeluaran pembangunan. Karena merupakan pinjaman resmi, penyelesaian keringanan utang juga dilakukan secara diplomasi dan bukan melalui mekanisme pasar.

Setelah krisis 1997-1998, IGGI/CGI membubarkan diri dan menghentikan pemberian bantuan lunak setelah menyadari bahwa ternyata pinjaman mereka digunakan untuk memperkaya kroni penguasa Orde Baru. Mulai sejak itu, APBN Indonesia dibelanjai dengan penjualan Surat Utang Negara (SUN) di bursa obligasi nasional dan dunia dengan tingkat suku bunga pasar. Pemerintah Jepang memberikan jaminan atas SUN yang dijual di pasar dalam negerinya agar laku. SUN seperti itu disebut Samurai Bonds.

Pada masa Orde Baru, pinjaman luar negeri pemerintah hanya dilakukan melalui satu pintu, yakni Bappenas, yang pada waktu itu mengontrol anggaran pembangunan. Dalam UU Keuangan Negara Tahun 2003, Menteri Keuangan merupakan pengendali tunggal utang negara baik dari sumber dalam negeri maupun luar negeri. Dalam era Presiden Jokowi, UU Keuangan Negara Tahun 2003 dilanggar dan Menteri BUMN dapat berutang untuk menambah modal BUMN dan membelanjai pembangunan kereta api super cepat Jakarta-Bandung. Pinjaman Menteri BUMN itu terutama bersumber dari Tiongkok dan agunannya adalah aset BUMN.

Diaspora SDM dan modal

Sumber penyebab kenapa terus-menerus terjadi pelarian tenaga kerja profesional serta modal ke luar negeri sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 adalah karena gabungan antara ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi. Kurangnya instrumen keuangan pemerintah, BI ataupun perbankan untuk keperluan investasi hanya merupakan tambahan pelengkap. Tanpa adanya kestabilan sistem politik, sosial ekonomi, dan perlindungan hak milik pribadi oleh sistem hukum ataupun penyelesaian konflik yang adil dan transparan tidak akan mungkin menarik kembali uang milik WNI yang diparkir di seluruh dunia.

Sejak kemerdekaan, Indonesia terus- menerus mengalami perang saudara di semua daerah. Konflik rasial sering terjadi yang sekaligus menyebabkan beberapa kali terjadi emigrasi besar-besaran tenaga profesional, terutama keturunan Tionghoa ke seluruh pelosok dunia.

Setelah lengsernya Presiden Soeharto pada 1998, sekelompok orang bersenjata menyerang warga keturunan Tionghoa di Jakarta, membakar toko dan rumah, memperkosa wanita, ataupun mengancam keselamatan jiwa mereka. Tidak pernah ada penjelasan pemerintah, siapa kelompok gerombolan pengacau itu!

Adalah manusiawi jika orang ingin melindungi daya beli kekayaannya untuk tabungan hari tua. Untuk melindungi nilai tabungan, pemegang uang menggantinya dengan mata uang asing, tanah, logam mulia, ataupun bentuk kekayaan lain.

Karena daya belinya yang relatif stabil, dunia memegang mata uang dollar AS walaupun tidak ada resolusi PBB yang menyatakannya sebagai alat pembayaran internasional yang sah. Orang hanya percaya kepada keahlian profesionalitas dan integritas pemerintah serta pengendali moneter untuk menjaga stabilitas daya beli. Orang memilih menjadi nasabah bank asing karena pilihan produknya yang lebih luas serta pelayanan yang lebih baik.

Sewaktu masa konfrontasi militer dengan Singapura dan Malaysia, masih banyak orang Indonesia yang memegang mata uang kedua negara itu dan menabung di sana karena percaya kepada stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, ataupun perlindungan hak milik pribadi dari sistem hukum di kedua negara itu.

Penyimpanan kekayaan di luar negeri para pejabat, penegak hukum, ataupun anggota DPR penggelap pajak dan uang korupsi perlu diusut Ditjen Pajak, PPATK, dan KPK. Orang-orang seperti itu harus diberhentikan dari jabatannya, dihukum berat, dan uangnya disita untuk negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar