Meniadakan Kartel Daging Sapi
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA, 25 April
2016
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis 32 perusahaan penggemukan sapi
(feedloter) bersalah, 22 April 2016. Mereka terbukti melanggar Pasal 11 dan
19 huruf c UU No 5/1999 tentang Persaingan Usaha.
Mereka
mengatur perjualan daging sapi yang hendak dijual. Caranya, perusahaan yang
tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Feedloter Indonesia (Apfindo) itu menahan
pasokan sapi ke rumah pemotongan hewan. Tujuannya, agar pemerintah
melonggarkan kebijakan kuota sapi impor triwulan III 2015 yang hanya 50 ribu.
Akibatnya, harga daging sapi di Jabodetabek menembus di atas Rp 170 ribu per
kg.
Total
denda 32 perusahaan mencapai Rp 106 miliar dengan nominal terendah Rp 71 juta
dan tertinggi Rp 21 miliar. Denda ini tergolong besar karena denda maksimal
yang diatur UU No 5/1999 sebesar Rp 25 miliar. Besar-kecilnya denda
disesuaikan keuntungan yang didapat oleh masing-masing perusahaan selama
kenaikan harga daging sapi berlangsung.
Denda
yang besar diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Perusahaan memiliki waktu
14 hari untuk melakukan banding. Lalu, bagaimana kita memaknai keputusan KPPU
ini?
Pertama,
upaya KPPU yang tiada lelah menyeret pelaku terduga kartel ke meja hijau dan
menghukumnya patut diapresiasi. Dalam bidang pangan, ini kali kedua KPPU
memvonis pelaku usaha bertindak kartel.
Vonis
pertama terjadi pada tujuh perusahaan kartel garam, 12 Maret 2006, dengan
denda masing-masing Rp 2 miliar. Pada 2014 KPPU sebenarnya telah menghukum 19
perusahaan importir bawang putih karena terbukti berlaku kartel. Namun,
keputusan KPPU dibatalkan di tingkat pengadilan negeri. Bukan tidak mungkin keputusan
KPPU kali ini juga bakal dibatalkan jika feedloter banding.
Kedua,
kartel sejumlah komoditas pangan di negeri ini diduga amat struktural dan
tidak tersentuh, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum pada 2006,
praktik kartel garam kembali terulang pada 2015.
Pelaku
"jual-beli" kuota impor daging sapi sudah ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah dihukum di Pengadilan Tipikor pada
2013. Namun, harga daging sapi sampai sekarang masih mahal. Praktik kartel
daging sapi masih terjadi. Ini menandakan langkah penegakan hukum tidak cukup
untuk meniadakan praktik kartel.
Jika
ditelaah lebih dalam, langkah feedloter menahan pasokan sapi siap potong ke
rumah pemotongan hewan sebetulnya bentuk going concern dan bagian dari
merespons kebijakan pemerintah saat itu yang memotong kuota sapi impor secara
drastis, dari rata-rata 250 ribu ekor pada dua triwulan sebelumnya hingga 50
ribu.
Agar
semua lini usaha--baik penggemukan, pemotongan, maupun penjualan di
pasar--tetap berjalan dalam tiga bulan kuota impor yang tinggal seperlima
harus disesuaikan. Jika tidak, usaha bisa tutup. Tentu, tak adil pengusaha
diadili dan didenda, sementara pembuat kebijakan dibiarkan.
Selain
menjatuhkan denda, majelis hakim KPPU memberikan tiga rekomendasi kepada pemerintah.
Ketiga rekomendasi itu ditujukan kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perdagangan.
Pertama,
Kementan diharuskan membuat kebijakan yang didasarkan pada pemenuhan
kebutuhan melalui ketersediaan pasokan sapi dengan harga terjangkau. Kedua,
Kemendag harus menetapkan kebijakan pemberian persetujuan kuota sapi impor
dalam jangka setahun di muka kepada importir guna menjamin kepastian
distribusi. Rasio kuota impor sapi dan produksi domestik harus dihitung
cermat secara berkala. Kuota impor sapi dikurangi perlahan, mempertimbangkan
kemampuan produksi domestik.
Ketiga,
Kemendag harus memeriksa hubungan afiliasi di antara para importir yang
mendapatkan kuota sapi impor. Ini untuk menghindari persaingan usaha tak
sehat.
Apakah
ketiga rekomendasi ini bisa jadi solusi meniadakan kartel daging sapi? Belum
tentu. Selama ini, salah satu keluhan yang muncul adalah tidak transparannya
pembagian kuota impor sapi.
Mengapa
perusahaan A mendapatkan kuota lebih banyak, sedangkan yang lain kebagian
kecil, tak pernah dibuka ke publik. Padahal, keterbukaaan informasi dalam
pengadaan barang/jasa merupakan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik No 14
Tahun 2008. Dengan informasi yang terbuka, perusahaan bisa bersaing adil dan
sehat. Peluang dan potensi korupsi bisa dicegah. Publik pun bisa ikut
mengawasi.
Salah
satu kebijakan yang bisa dicoba adalah menerapkan kebijakan tariff rate
quota. Beleid ini menggabungkan dua instrument, tarif dan kuota. Sebelum
diterapkan, pemerintah harus menghitung tarif efektif dan kuota impor sapi
bakalan.
Tarif
bisa ditinjau berkala mengikuti harga impor sapi bakalan, nilai tukar rupiah,
dan harga daging sapi domestik. Kuota juga ditinjau secara berkala mengikuti
kemampuan produksi daging domestik. Kuota diberikan secara transparan dengan
kriteria jelas. Importir lain terbuka mengimpor sapi di luar kuota dengan
tarif yang lebih tinggi. Selain lebih transparan, beleid ini memungkinkan
negara membiayai swasembada daging dari pemasukan tarif.
Untuk
mempercepat pencapaian swasembada daging sapi, pemerintah harus fokus
mengatasi defisit indukan sapi yang saat ini mencapai 1,3 juta ekor. Ada dua
solusi, apakah diimpor atau mengembangkan indukan berbasis sejumlah breed
lokal unggul?
Cara
pertama sifatnya instan dan hanya cocok untuk solusi jangka pendek. Terkait
cara pertama, pemerintah harus mereformasi struktur pasar. Caranya, mendorong
munculnya pelaku usaha baru dalam penggemukan sapi.
Dengan
mengalihkan sebagian kuota impor sapi indukan perusahaan feedloter ke
koperasi peternak sapi, misalnya, akan membuat pelaku penggemukan sapi lebih
banyak dan pasar akan jauh lebih sehat dan bersaing.
Dalam
jangka panjang, cara kedua merupakan pilihan terbaik. Namun, untuk bisa
mengembangkan model breeding modern, seperti Australia, sejumlah syarat harus
dipenuhi, yakni tersedianya sejumlah infrastruktur peternakan modern mulai
dari industri pakan, pembesaran, pemotongan, cold storage untuk pelayuan,
hingga distribusi.
Bagi
Indonesia, swasembada daging sapi adalah keniscayaan. Banyak potensi Indonesia
yang mendukung itu. Namun, untuk mencapainya tak bisa ditempuh dengan
cara-cara instan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar