Mahkamah Agung
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 28 April
2016
Namanya sungguh keren dan
berwibawa: Mahkamah Agung. Institusi hukum tertinggi dan menjadi benteng
terakhir keadilan di negeri ini. Namun, nama itu tampaknya terlalu berat.
Atau lebih tepat, banyak penjaga institusi itu yang tidak bisa menjaga dan
mengawal benteng keadilan itu. Citra MA akhir-akhir ini makin terpuruk.
Gara-gara ada pegawai MA yang tidak amanah, benteng terakhir itu babak belur
terjungkal di lembah nista: hukum dapat dibeli oleh uang. Di MA dan juga
institusi penegak hukum lainnya tidak boleh satu milimeter pun berdamai
dengan kekuatan uang. Sebab, hukum harus tegak walau langit runtuh.
Pusaran badai yang tengah bergerak
di MA adalah kasus Sekretaris Jenderal MA Nurhadi. Ia dicegah keluar negeri
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk enam bulan ke depan, terkait operasi
tangkap tangan terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy
Nasution, Rabu (20/4) lalu. Ruang kerja Nurhadi pun sudah digeledah KPK. Saat
ini, KPK tengah menelusuri hubungan Edy dan Nurhadi yang diduga terkait
perkara hukum. Edy ditangkap saat menerima uang Rp 50 juta yang diduga suap
dari pegawai swasta bernama Doddy Arianto.
MA tidak pernah becermin.
Kasus-kasus tercela yang membuat MA terjerembap di kubangan lumpur hitam
tidak juga berhenti. Dua bulan sebelumnya, KPK menangkap? Kepala
Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus MA Andri
Tristianto Sutrisno, 12 Februari lalu. Andri diciduk di rumahnya, berikut
uang Rp 400 juta di dalam paper bag.
Pada 2013, Djodi Supratman
(anggota staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA) dibekuk
KPK saat membawa segepok uang guna pengamanan kasus dari pengacara Mario
Cornelio Bernardo terkait pengurusan kasasi kasus penipuan Hutomo Wijaya
Ongowarsito. Djodi divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100.
Kalau mau berkaca agak lama lagi,
yaitu pada 2005 KPK menangkap lima pegawai MA, yaitu Pono Waluyo, Sudi
Achmad, Malam Pagi Sinuhadji, Suhartoyo, dan Sriyadi, terkait kasasi
Probosutedjo.
Bahkan, hakim-hakim pun tidak
sedikit ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Misalnya, Kartini Marpaung
(hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Semarang), Heru Kisbandono (hakim ad hoc
Pengadilan Tipikor Pontianak), Imas Diana Sari (hakim ad hoc di Pengadilan
Hubungan Industrial Bandung), dan Syarifudin Umar (hakim niaga Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat).
Kalau hakim saja yang "wakil
Tuhan" berani memperdagangkan hukum dengan uang, bagaimana para staf di
bawahnya punya rasa akut? Padahal, MA telah melakukan reformasi internal
termasuk meningkatkan remunerasi. Kalau memang demikian, tidak ada ampun lagi
buat penegak atau penjaga institusi hukum yang bermain-main dengan keadilan
dan menggantinya dengan uang.
Barangkali para hakim (dan penegak
hukum lain) wajib mengingat-ingat kisah hakim Qazi-i-Lashkar, yang disayang
Sultan Delhi, India, Ghiyasuddin Balban (1266-1287). Kisahnya Sultan punya
tiga kadi (qazi): Fakhr Naqila yang takut kepada sultan tetapi tidak takut
kepada Tuhan; Minhaj yang takut kepada sultan dan kepada Tuhan; dan
Qazi-i-Lashkar yang tidak takut kepada sultan tetapi takut kepada Tuhan.
Nasihat Qazi-i-Lashkar-lah yang didengarkan sultan.
Dan, MA beserta seluruh penegak
hukum, termasuk mereka yang bekerja di sana, seharusnya benar-benar menjaga
marwah "wakil Tuhan". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar