Sengkarut Senat Senayan
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar
Ilmu Hukum dan Ketua Pukat Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta
|
KOMPAS, 27 April
2016
Dewan Perwakilan Daerah tengah
mengalami turbulensi. Di tengah pelbagai gugatan publik terhadap kinerja yang
tak kunjung membaik, DPD yang sering menamakan dirinya Senat ini malah saling
sikut dalam prosesi penyusunan tata tertib.
Pasca sidang paripurna pada 15
Januari 2016, praktis belum pernah ada sidang paripurna di Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang berlangsung damai tanpa kericuhan. Pasalnya sebenarnya
sederhana. Jika dirunut, dimulai dari adanya usulan perubahan tata tertib
(tatib) DPD yang kemudian disikapi dengan pembentukan panitia khusus (pansus)
melalui rapat paripurna dengan tugas spesifik sebagaimana diamanatkan dalam
paripurna. Namun, pansus bekerja melampaui kewenangan yang diberikan melalui
paripurna, pasal-pasal yang diubah kemudian merangsek hingga masa jabatan
pimpinan DPD yang dipangkas tidak lagi 5 tahun, tetapi menjadi 2,5 tahun,
termasuk hingga masa jabatan alat kelengkapan lainnya.
Bahkan, ada pasal yang mengatur
pertanggungjawaban kinerja pimpinan DPD di hadapan anggota DPD dengan
konsekuensi penolakan dan pemakzulan pimpinan. Sidang paripurna 15 Januari
itulah yang kemudian mengesahkan opsi perubahan yang diusulkan melalui
paripurna. Tinggal menunggu penandatanganan pimpinan untuk pengesahan tatib
sebagai peraturan DPD yang mengikat.
Di sinilah dimulai tragedi ricuh
paripurna selanjutnya. Rancangan tatib yang ada masih jauh dari sempurna,
misalnya, tanpa aturan peralihan yang jelas, bahkan banyak kesalahan
substansi. Namun, para pengusul perubahan tetap merasa tatib harus segera
disahkan dengan penandatanganan, sedangkan pimpinan menolak mengesahkan
dengan alasan banyak kesalahan dalam usulan tatib dan ada potensi pelanggaran
hukum.
Mengurai
sengkarut
Pertikaian itu sesungguhnya
mengalami impitan dan berkelindan dalam setidaknya tiga faktor utama.
Pertama, tatib itu sendiri jauh dari model yang bisa menjelaskan dengan
detail problem hukum yang terjadi. Pertanyaan mendasar, bisakah pansus
bekerja di luar batas kewenangan yang diberikan paripurna? Itu yang sering
kali hanya dijawab dalam langgam politik, seakan-akan semua bisa dilakukan
berdasarkan kesepakatan. Padahal, dalam konsep tertib hukum, sulit melepaskan
logika bahwa kewenangan pansus lahir dari paripurna dan tidaklah mungkin
pansus bisa melahirkan kewenangan sendiri yang meralat pemberian nyawa oleh
"ibu" yang melahirkannya.
Hal-hal sederhana, tetapi penting
ini malah alpa dibahas dengan detail di tengah ego politik yang dihela di
ruang sidang paripurna dengan berbagai makian dan cacian. Padahal, jika mau
duduk tenang dan membicarakannya serta mengatur dengan detail, tak akan ada
perdebatan keras ini. Tatib yang tak lengkap itulah yang menjadi kunci
penanda awal pertikaian.
Artinya, jika memang masih ada
keinginan untuk memperbaiki kondisi nyaris kuldesak antara kedua kubu, salah
satu jalan yang penting diambil adalah kembali membentuk pansus untuk
melakukan penyempurnaan atas tatib yang dipaksakan untuk ditandatangani ini.
Kedua pihak harus bersepakat tentang pasal- pasal mana yang belum sempurna
dan perlu perbaikan, sehingga pansus akan bekerja untuk merapikan itu lalu
kemudian ditandatangani pimpinan.
Kedua, penting bagi DPD memahami
bahwa mereka bukanlah lembaga politik yang sama dengan DPR yang memang diisi
parpol. Setiap senator Senayan ini harus mengingat ada koridor hukum,
kebiasaan ketatanegaraan yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan kelembagaan
parlemen upper house. Misalnya, hukum Indonesia saat ini, tak lagi mengenal
laporan pertanggungjawaban yang berakibat pada pemakzulan jabatan pimpinan.
Yang terakhir mengenal itu adalah rezim UU pemda, itu pun sudah lenyap di UU
Nomor 32 Tahun 2004, hingga tak berbekas di UU No 23/2014 tentang Pemda. Apa
yang dipikirkan pembentuk tatib dengan menghidupkan barang yang tak dipakai
ini?
Termasuk tentang masa jabatan
pimpinan yang tiba-tiba dipangkas menjadi 2,5 tahun. Konstitusi dan UU tak
mengatur itu, bukan berarti boleh dilakukan di luar itu, tetapi karena
diasumsikan memang untuk masa jabatan keterpilihan atau lima tahun. Kalaupun
kemudian disepakati ada perubahan dengan kepentingan tertentu, harus ada
pakem yang jelas. Jika tentang orang dan angka, biasanya tak diberlakukan
untuk masa yang sedang berjalan, tetapi untuk masa jabatan berikutnya.
Logikanya sederhana, dapat
dibayangkan jika hari ini UUD 1945 tiba-tiba diubah dan kemudian memangkas
masa jabatan presiden menjadi 2,5 tahun, apakah mungkin langsung diterapkan
ke Presiden Joko Widodo sehingga dia harus diganti di tengah masa jabatan?
Secara logis ketatanegaraan, mustahil membiarkan itu terjadi. Koridor yang
disiapkan adalah aturan peralihan yang akan mengatur kapan bisa mulai
dilakukan.
Logika hukum yang sederhana ini
sebenarnya dapat diingat kembali tatkala mengubah tatib. Kuatkan aturan
peralihannya, dan pemberlakuan untuk masa jabatan berikutnya menjadi hal yang
juga harus dipikirkan dengan saksama. Jangan menganggap bahwa dalam altar
politik, semua boleh dilakukan.
Ketiga, selain perihal faktor
hukum ketaksempurnaan tatib dan logika hukum, tak kalah penting adalah
kelemahan DPD itu sendiri dalam konsep ketatanegaraan kita. Dibandingkan
Senat di AS, House of Lordsdi Inggris, atau berbagai kamar sejenis di negara
lain, DPD kita sangat lemah secara konstitusional. Apa yang dikatakan Stephen
Sherlock (2004) menarik, DPD Indonesia menjadi aneh dan sangat unik karena
menggabungkan legitimasi yang kuat melalui pemilu langsung berbasis provinsi
dengan otoritas sangat lemah dalam Pasal 22D, UUD 1945. Ini belum pernah ia
temukan di negara mana pun. Artinya, DPD Indonesia sebenarnya mengalami
pengerdilan sistematis. Dari konsep UUD yang sudah mengecil dari kebiasaan
lembaga upper house sejenis, masih dikecilkan lagi di dalam UU MD3. Itupun
masih mengecil lagi dalam pola dan relasi dengan DPR. Celakanya, kekisruhan
yang terjadi belakangan semakin membuat DPD meluruh dalam relasi lembaga
legislasi. Melalui pengerdilan ini, DPD nyaris menjadi "pengangguran terselubung"
dalam sistem keparlemenan Indonesia.
Sebagai "pengangguran
terselubung" yang memiliki basis legitimasi kuat langsung dari rakyat ,
mereka memiliki tenaga dan kapasitas yang banyak, tetapi sayangnya tidak
tersalurkan. Inilah yang jangan-jangan menjadi faktor lain peneguh
pertarungan internal di DPD. Gagal bertarung di parlemen dua kamar dengan
baik, mereka sibuk menyalurkan energi di dalam DPD sendiri, termasuk dengan
cakar-cakaran memperebutkan posisi ketua. Buktinya, percobaan ganti-
mengganti pimpinan dengan masa jabatan ini di tatib, sudah berlangsung tiga
kali. Di setiap masa jabatan keanggotaan DPD sejak 2004-2009, 2009-2014, dan
saat ini 2014-2019, upaya memangkas masa jabatan ini terjadi secara reguler.
Padahal, DPD ini penting dalam
sistem ketatanegaraan kita. Dia diidealkan sebagai pengimbang DPR di cabang
kekuasaan parlemen. Seperti layaknya di berbagai negara, DPD menjadi lembaga
penguat parlemen sehingga kualitas parlemen dapat dikuatkan, seperti dalam
adagium terkenal two eyes better than
one eye. Artinya, kita tidak cukup menyelesaikan sengkarut kali ini hanya
dengan penyelesaian jalur tatib, tetapi penting juga bagi negara ini untuk
memikirkan nasib DPD dengan segala kewenangannya di dalam isu amandemen
kelima UUD yang belakangan kembali mengemuka.
Masa
depan DPD
Jika problemnya hanyalah persoalan
politik semata, sesungguhnya bukan hal yang sangat mengkhawatirkan. Dalam
langgam politik, kesetimbangan akan mudah tercipta sepanjang aktor-aktornya
masih mau memberi dan menerima. Namun, problem ini sudah diimbuhi dengan
problem konstitusional dan delusional DPD sendiri akan makna dan arti
pimpinan DPD bagi mereka. Pertempuran memperebutkan pimpinan adalah hal yang
memuakkan di hadapan rakyat Indonesia yang menghendaki DPD bekerja optimal dalam
mengawal aspirasi daerah sebagaimana amanat konstitusionalnya.
Saatnya bagi DPD untuk
menyelesaikan keributan tak penting ini. Kembali bekerja dengan optimum untuk
amanat rakyat sebagaimana UUD, serta penguatan kelembagaan melalui amandemen
UUD dan UU MD3.
Miftah Thoha menuliskan "DPD
dan Urgensinya" (Kompas, 20/2), tak semuanya tulisan itu dapat
disetujui. Namun, pesannya menjadi kuat dan jelas bagi para anggota DPD:
eksistensi Anda mulai dipertanyakan. Publik mulai gerah dengan keberadaan
Anda. Jika diteruskan model perkelahian, kericuhan, dan teriakan di sidang
DPD, jangan salahkan publik jika tuntutan pembubaran DPD akan merebak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar