Minggu, 03 April 2016

Pilatus

Pilatus

Goenawan Mohamad  ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                      TEMPO.CO, 04 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ecce homo! Apa yang dimaksudkannya? Apa yang dikehendaki wakil Imperium Romawi itu, dalam bahasa Latin, dari penduduk Yerusalem yang berkelimun tak sabar menunggu di bawah balkon? Ataukah teriak itu ditujukan kepada Kaiafas dan para tokoh agama yang hadir di sana, yang menuntut agar "orang itu" dihukum mati?

Ecce homo! Lihat orang itu! Tapi buat apa?

Barangkali inilah yang dimaui Pontius Pilatus: agar orang ramai itu bisa tambah yakin menista "orang itu"—tahanan yang kepalanya telah mereka pasangi selingkar duri sebagai cemooh. Atau mungkin supaya mereka bisa menatapnya sepuas-puasnya dengan benci—dan mendukung keputusan hukuman mati atas Yeshua itu. Bukankah sudah lama rabi muda itu dituduh menghasut orang banyak, agar menyimpang dari ajaran agama?

Ataukah Pilatus bermaksud sebaliknya? Mungkinkah ia berseru "Ecce homo!" justru agar khalayak ramai itu punya rasa belas kepada wajah yang tulus tapi luka-luka itu? Atau supaya mereka menyadari—setelah melihat dari dekat sosok tahanan itu—bahwa mereka sedang hendak menghukum mati seseorang yang tak bisa disederhanakan dengan hukum dan kategori? Atau agar para tokoh agama itu berpikir kembali bahwa dengan dalil-dalil mereka yang diresmikan Tuhan sekalipun, mereka tetap khilaf dalam menafsirkan seorang manusia—makhluk 1.001 kemungkinan dan 1.001 kemustahilan?

Ecce homo! Pilatus memperlihatkan paras Yeshua. Mungkin ia ingin menunjukkan bahwa paras itu, seperti paras siapa pun, adalah wujud yang singular, dan sebab itu tak ternilai, tak bisa dipertukarkan dengan siapa pun....

Tapi akhirnya tak mudah mengerti apa maksud dua patah kata Latin yang diteriakkan dari balkon hari itu. Akhirnya kita harus menimbang pejabat Romawi itu: jahat, tidak-jahat, jahat....

Ada yang mengatakan, ia seperti hampir semua pembesar Romawi: brutal dan arogan. Para pengikut Yeshua, yang kemudian disebut umat "Kristen", pantas menganggap penguasa itu tak bersih. Ia memang memperlihatkan kepada khalayak ramai bahwa ia mencuci tangannya sebelum orang ramai melecut Yeshua ke bukit untuk disalibkan. Tapi penguasa itu tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab.

Tapi ada yang menduga, Pilatus sebenarnya tak berencana menghabisi Yeshua. Ia hanya tak mau dimusuhi orang-orang Yahudi Yerusalem. Mereka sudah mendesak agar orang itu disalibkan, dan pejabat Imperium Romawi yang jauh dari pusat itu tak ingin penduduk lokal melawannya. Ia orang yang, dengan pragmatisme politik, ingin kekuasaannya aman di jalan yang tak lurus.

Mungkin Pilatus seorang tokoh dalam drama ambiguitas yang tegang. Di abad ke-2 pernah beredar surat-suratnya (ternyata palsu) yang menunjukkan bahwa pejabat Romawi ini sebenarnya beriman Kristen. Dengan kata lain: ia tak bersalah. Di abad ke-3, Origen Adamantius (184-253), pakar theologi dari Alexandria, misalnya, menulis bahwa orang Yahudi-lah yang membunuh Yesus—sebuah pandangan yang ikut mendasari anti-Semitisme Kristen sampai hari ini. Meskipun di abad ke-4 para theolog kembali meletakkan kesalahan pada Pilatus....
Sejarah, kita tahu, tak pernah ditulis lurus.

Maka Ecce homo! Di sekitar Paskah wajar jika orang (terutama yang bukan Kristen) lebih ingin melihat si penghukum, bukan si terhukum. Mikhail Bulgakov mendatangkan Pilatus ke Moskow abad ke-20 dalam novel The Master and Margarita, ke kancah dunia yang tak tenteram di antara fantasi yang ganjil.

Pilatus hadir dan membenci kota "Yershalaim" tempat ia bertugas, kota dengan bau mawar yang tak disukainya dan suara fanatik di mana-mana. Suatu hari ia harus menginterogasi laki-laki pengembara itu, Yeshua Ha-Nozri. Orang ini dituduh akan menghancurkan Baitulah.

Tapi Yeshua menyangkal. Tak berarti ia menyukai kenisah itu. Ia percaya bangunan iman lama akan digantikan dengan yang baru. Ia percaya "semua kekuasaan adalah bentuk kekerasan terhadap orang banyak". Tapi ia yakin ada kerajaan kebenaran dan keadilan, kerajaan yang damai—dan kerajaan itu akan datang.

"Tak akan pernah!" teriak Pilatus membantah. Baginya kekuasaan yang ada, di bawah Maharaja Tiberius, adalah kekuasaan yang sudah sempurna. Baginya Yeshua tolol, percaya bahwa semua orang baik, bahkan Yudas yang mengkhianatinya.

Tapi Pilatus kemudian berteman dengan filosof dari udik yang mengembara itu. Ia, yang membenci semua hal, hanya bisa mengharapkan untuk tak dibenci dari seorang Yeshua. "Dan mereka berbicara tentang soal yang penting dan membingungkan, dan tak satu pihak pun dapat meyakinkan yang lain... maka percakapan mereka semestinya menarik dan tak pernah berakhir."

Tapi kemudian Yeshua dihukum mati.

Lihat orang itu. Lihat kekosongan itu. Tak ada lagi percakapan yang berlanjut dan tak harus mufakat. Kota berbau mawar klise dan penuh suara fanatik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar