Ibu Hamil dalam Ancaman Narkoba
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
Psikologi Forensik, The University of Melbourne
|
MEDIA INDONESIA,
29 April 2016
KASUS ibu-ibu hamil yang
mengonsumsi narkoba, antara lain yang digerebek di Semarang beberapa hari
lalu, amat merisaukan. Merisaukan karena sindikat peredaran narkoba
benar-benar mengincar siapa pun, tanpa kecuali, sebagai target konsumen
mereka.
Namun, yang lebih merisaukan lagi
ialah kejadian itu secara kasatmata mempertontonkan ketidakpedulian sosok ibu
terhadap anaknya sendiri.
Sungguh, sejatinya tidak ada
pelanggaran terhadap kodrat kemanusiaan yang lebih buruk ketimbang seorang
ibu yang mengabaikan, bahkan menyakiti darah dagingnya sendiri!
Perilaku ibu itu berisiko sangat
tinggi mengakibatkan bayi lahir dalam keadaan tidak sehat, bahkan tidak
selamat. Itu berarti potensial berkontribusi bagi pertambahan angka kematian
bayi saat dilahirkan yang mencapai 52 jiwa per 1.000 kelahiran (BPS, 2012). Data
Save The Children bahkan lebih
dramatis. Tercatat saat ini di Indonesia terdapat 200 bayi baru lahir yang
meninggal setiap harinya.
Jika merujuk ke Undang-Undang
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), anak ialah kategori usia individu
sejak berada dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun. Berdasarkan kategori
itu, seluruh pihak diwajibkan mengambil langkah-langkah perlindungan,
termasuk bagi bayi yang dikandung para ibu yang menyalahgunakan narkoba.
Atas dasar itulah, ketika seorang
ibu melakukan penyalahgunaan narkoba, kasus sedemikian rupa tidak cukup
ditangani dengan mengacu ke UU Psikotropika semata. Kerumitan kasus itu
bertambah karena perilaku ibu itu sesungguhnya dapat dinilai sebagai bentuk
penelantaran orangtua terhadap anak.
Disebut penelantaran karena dengan
menyalahgunakan narkoba, ibu itu telah mengabaikan kepentingan (hak) terbaik
anak untuk hidup dan tumbuh sehat, baik secara fisik maupun psikis. Sebagaimana
diketahui, narkoba memiliki efek destruktif bagi penyalahgunanya, termasuk
terhadap bayi yang masih berada di dalam janin perempuan penyalahguna.
Perilaku ibu itu bahkan juga dapat
disebut sebagai kekerasan terhadap anak apabila, berdasarkan pemeriksaan,
terbukti bahwa ia sengaja mengonsumsi narkoba sebagai cara untuk menggugurkan
bayinya.
Di samping mengenakan pasal-pasal
pemidanaan berdasarkan UU Psikotropika, ibu itu juga harus dijatuhi sanksi
sesuai dengan ancaman pidana bagi pelaku penelantaran ataupun kekerasan
terhadap anak sebagaimana termaktub dalam UU Perlindungan Anak. Proses
pemidanaan dilakukan apabila si ibu tidak memperlihatkan keinginan ataupun
inisiatif untuk lepas dari kecanduan narkoba, misalnya, melapor ke penegak
hukum maupun otoritas kesehatan.
Secara konkret, dalam situasi
ketika si ibu sama sekali tidak mencari pertolongan untuk menghentikan
perilaku salahnya, andaikan si ibu suatu saat nanti dikenai rehabilitasi,
pascarehabilitasi, yang bersangkutan juga seharusnya dihukum pidana atas
perilaku jahat terhadap anaknya itu.
Bahkan, karena ibu itu merupakan
orang (ter)dekat si bayi, ia patut diberi pemberatan sanksi pidana.
Lebih jauh, seandainya ibu hamil
itu nantinya tidak menunjukkan kesungguhan dalam menjalani rehabilitasi dan
program edukasi guna mengembangkan keterampilan pengasuhan anak, apalagi jika
ia kembali menyalahgunakan narkoba setelah rehabilitasi, sudah sepantasnya
pula hak asuh (kuasa asuh) atas anaknya itu dicabut dan dialihkan kepada
pihak yang lebih berkompeten dalam menjalankan peran sebagai pengasuh. Apabila
opsi itu terpaksa diambil, pemisahan itu menjadi kegetiran ekstra. Tidak ada jaminan
orangtua biologis (biological parent)
niscaya serta-merta mampu berperan sebagai orangtua efektif (effective parent).
Ibu hamil menyalahgunakan narkoba
ialah perilaku salah lagi berbahaya.
Hitam-putihnya persoalan sudah
sedemikian terang-benderang. Yang tak kalah seriusnya, tapi kadung dicap
sebagai fenomena biasa, ialah perilaku merokok para ibu hamil.
Berbagai regulasi pembatasan rokok
bisa dibilang belum efektif guna menekan jumlah perokok. Itu tidak terlepas
dari masih menduanya sikap masyarakat terhadap mesin pembunuh itu. Padahal,
substansi kimiawi berbahaya yang terkandung dalam rokok juga berdampak
negatif bagi kesehatan ibu-ibu perokok serta bayi yang mereka kandung. Demikian
pula para ibu hamil yang terpaksa menjadi perokok pasif akibat
ketidakpedulian para perokok aktif di sekitar mereka. Tak terkecuali, perokok
aktif itu ialah suami para ibu hamil itu sendiri.
Ibu hamil yang mengonsumsi rokok
sudah sewajarnya disetarakan dengan ibu hamil yang menyalahgunakan narkoba. Hanya
dengan pijakan respons seperti itulah, Indonesia bisa bersungguh-sungguh
mengerahkan upaya perlindungan anak sejalan dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Secara spesifik, penanggulangan
masalah ini menjadi tolok ukur keseriusan kita untuk merealisasikan komitmen
global bahwa di Indonesia tidak boleh ada ibu maupun anak yang meninggal
dunia akibat faktor-faktor yang sesungguhnya dapat dicegah serta tidak boleh
ada anak yang meninggal karena salah pengasuhan.
Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar