Komunikasi Politik Pasca Pilkada
Mohammad Isa Gautama ; Pengajar
Komunikasi Politik,
Fakultas Ilmu Sosial-Universitas
Negeri Padang
|
HALUAN, 24 Maret
2016
Usai sudah
prosesi pelantikan para pemimpin daerah di seluruh Indonesia hasil Pilkada
serentak pada 2015 lalu. Para Gubernur dilantik langsung oleh Presiden
Jokowi, sementara Bupati/Walikota beserta wakilnya dilantik oleh
masing-masing Gubernurnya.
Kita semua tentu menyambut dengan
sukacita, mengingat proses Pilkada telah mencapai ujungnya. Rasa sukacita
dibumbui oleh optimisme, dan sedikit kegamangan. Wajar, tidak ada yang
akan sempurna, sebagaimana juga perjalanan kepemimpinan pejabat daerah.
Tantangan pun semakin berat.
Sungguh pun begitu, prosesi pelantikan
tetap diliput, ditayangkan di hampir semua media massa, lengkap dengan
advertorial, wawancara dengan pasangan yang baru duduk di ‘pelaminan
politik’, harapan-harapan masyarakat, foto-foto dengan baju dinas, riwayat
hidup dan komentar dari calon bawahan serta hal-hal menarik seputar pemilihan.
Semuanya serba wah dan mengesankan kegembiraan dan kesukacitaan. Tidak
tampak lagi konflik keras di masa kampanye, sesi debat, dan berbagai dinamika
lainnya selama Pilkada.
Begitu pula bagi pasangan yang akhirnya
lolos dari sidang gugatan Pilkada di Mahkamah Konstitusi (sebagai catatan,
di Sumbar, selain Gubernur/wagub, ada 5 pasangan Bupati yang memenangkan
gugatan di MK, yaitu Kabupaten Solok, Pasaman, Limapuluh Kota, Tanah Datar,
dan Solok Selatan), tak tampak kentara lagi sisa-sisa konflik dengan pasangan
yang mengajukan gugatan, yang ada hanya wajah sumringah dan umbar senyum
optimis bersama dengan pasangannya masing-masing.
Berangkat dari bulan madu para pemimpin
hasil Pilkada 2015, tentu sangat relevan jika kita berusaha mengingatkan
beberapa tantangan dan peluang yang akan ditempuh oleh pemimpin dan yang
dipimpin. Ingatan ini bisa jadi merupakan masukan yang konstruktif, apalagi
jika kita mau merujuk kepada cita-cita klasik, yaitu mewujudkan tatanan
masyarakat madani. Konsep masyarakat madani, setidaknya masih terngiang di
telinga dan benak para pemimpin terpilih, bahkan tak jarang (pernah)
dijadikan salah satu kosa kata peramai janji-janji kampanye saat mencoba
merebut hati konstituen di era kampanye.
Tantangan Masyarakat Madani
Masyarakat madani sederhananya adalah
masyarakat yang merujuk pada era saat NabiMuhammad SAW memimpin kota
Madinah. Tema Madani pun merujuk dari asal nama Madinah. Pada masa itu, Nabi
memimpin sebuah kota yang heterogen, pluralistik, majemuk, baik dari segi
etnis, agama, budaya, strata sosial, maupun ekonomi dan juga politik.
Tantangan terbesar tidak hanya dalam hal
mengelola perbedaan yang mencolok, namun juga godaan untuk menjalankan roda
kepemimpinan secara tangan besi.
Bagaimanapun, disebabkan dukungan yang
kuat oleh kaum Ansyardan Muhajirin, Nabi punya potensi untuk memimpin
secara otoriter. Namun godaan itu ditepis, pemerintahan Madinah dijalankan
dengan prinsip demokrasi egalitarian yang menjunjung tinggi keadilan dan
kesetaraan serta supremasi hukum. Kontrol ketat terhadap birokrasi
dijalankan dengan seobjektif mungkin. Ada riak, namun apa pun dinamikanya
diselesaikan secepat mungkin dan seefektif mungkin. Komunikasi
antara Nabi dengan rakyat berjalan secara interaktif- partisipatif. Posisi
Muhammad bukanlah sebagai raja, namun lebih sebagai grand-manager Madinah.
Model kepemimpinan Madinah kemudian cepat
terkenal, menjadi rujukan model pemerintahan modern. Prinsip-prinsip
humanisme seorang pemimpin kemudian diserap menjadi cikal bakal teori
kepemimpinan yang kemudian entah bagaimana menjadi barat-sentris. Buku-buku
kepemimpinan menjual nama-nama mentereng dari dunia barat, seolah-olah seluruh
konsep kepemimpinan yang ideal adalah racikan dan tumbuh di dunia barat. Sebaliknya,
timur atau Asia dan kontinen di luar Eropa-Amerika, (terkesan) hanya
mengadopsinya.
Membuka Ruang Publik
Teoritikus sosio-politik termasyhur
seperti Antonio Gramsci sudah lama berhipotesis bahwa masyarakat madani
sangat bergantung pada disediakan atau tidaknya sebuah ruang atau pentas bagi
pertarungan berbagai ide, gagasan, atau ideologi. Oleh sebab itu, masalah
demokrasi dan masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan
tentang komunikasi politik (Piliang, 2005: 117). Sebaliknya, bisa
disimpulkan, cita-cita dan nilai-nilai yang diperjuangkan masyarakat madani
akan nihil diraih manakala pemimpinnya menutup ruang relasi sosial baik
vertikal maupun horizontal di tengah masyarakat.
Lebih jauh, begitu pentingnya komunikasi
politik, sehingga Jurgen Habermas (1981) pernah mengatakan bahwa ruang publik
adalah kunci timbulnya daya kreatif masyarakat, sehingga berbagai program
pencerahan yang dilancarkan pemimpin bisa terlaksana dengan efektif. Banyak
contoh bisa kita lihat, kota atau kabupaten dan provinsi yang pemimpinnya
membuka ruang untuk terjalinnya komunikasi intensif antara pemimpin dengan
rakyat, timbal-balik, dengan cepat melakukan akselerasi peningkatan
kualitas kehidupan sosial-kemasyarakatan serta partisipasi politiknya.
Prasyarat kedua bagi hidupnya masyarakat
madani adalah lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal. Sebaliknya,
feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif
masyarakat dibuka. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya, Transpolitika (2005)
mengatakan, bahwa untuk membuka semuanya itu, perlu diciptakan medan
komunikasi terbuka, termasuk komunikasi politik. Ini menyiratkan risiko
dari masih berkembangnya feodalisme yang menghinggapi pola kepemimpinan
level nasional dan lokal di negara kita yang (kuat dugaan) masih belum hilang
sempurna.
Jika kedua prasyarat utama itu dapat
secara serius ditata dan dijadikan modal utama dalam memimpin, maka diyakini
para pemimpin di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota akan mendapatkan
banyak manfaat yang berguna sebagai kunci untuk menjalankan aktivitas kepemimpinannya.
Komunikasi yang melibatkan semua pihak sebagai peserta aktif seraya mengeliminasi
itikad yang bersembunyi dalam pola feodalisme akan menghantarkan ruang yang
sangat nyaman bagi seluruh komponen. Kenyamanan kemudian akan memberi kesadaran
untuk terus melakukan kewajiban dan terobosan positif.
Komunikasi Partisipatif-Interaktif
Kita tidak butuh pemimpin yang meniru
Jokowi, blusukan dan bertemu rakyatnya setiap hari. Akan sia-sia, kalau
semua itu hanya demi pencitraan politik dan tugas yang seharusnya dilakukan
untuk membenahi berbagai persoalan pun ternyata tidak semuanya bisa
diselesaikan di lapangan. Pemimpin yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan
kapan saat ia harus terjun langsung ke tengah masyarakat, kapan harus bernegosiasi
dengan seluruh jajaran pembantunya di meja rapat serta mencari jalan terbaik
menyikapi berbagai masalah sesuai kapasitas dan insting kepemimpinannya.
Kita butuh pemimpin yang anti terhadap
gejala seduksi politik. Seduksi politik adalah usaha bujuk rayu dalam kerangka
politik yang dilancarkan oleh para pejabat dan/atau pemimpin nasional maupun
lokal. Rakyat lebih dianggap sebagai objek rayuan yang tujuan utamanya
adalah segala hal yang berbau kepentingan ekonomi-politis belaka dari perayunya,
yaitu pemimpin (baca: pejabat daerah). Sungguh, jika ini terjadi (lagi),
maka manusia yang berada di balik jabatannnya itu aslinya adalah perampok
dan koruptor kelas kakap yang sedang memainkan peran dan topengnya
sebagai pemimpin.
Peran masyarakat yang kritis, yang tidak
ingin masuk ke dalam mayoritas diam, yang pasrah menerima dan menonton ulah
pemimpinnya yang tidak cemerlang, bahkan menjebak rakyatnya di ruang
kemunduran, sangatlah diharapkan. Namun, itu bisa terjadi, sekali lagi,
berdasarkan inisiatif dari sang pemimpin. Pemimpin era milenium ketiga
adalah pemimpin yang sadar, bahwa komunikasi politik yang partisipatif-interaktif
adalah ciri utama pola kepemimpinannya. Ciri itu diwujudkan sehari-hari ke
dalam kepedulian untuk berbagi dan menerima informasi.
Tanpa bermaksud angkat telur, kita bisa
mencontoh pada pola yang dijalankan Ridwan Kamil (RK) dalam memimpin Bandung.
Pendekatan persuasifnya via media sosial membuatnya masuk ke dalam kategori
pemimpin era milenium ketiga yang berhasil mempraktikkan komunikasi
partisipatif-interaktif secara konkrit. Diprovinsi kita, tentu Gubernur/ Bupati/Walikota
tidak harus menjadi RK. Pemimpin harus punya cara dan keunggulan tersendiri
dalam membangun komunikasi politik yang elegan dan efektif menyiasati
seluruh persoalan, sesuai karakteristik sosiokultural daerahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar