Mereformasi Lembaga Peradilan
Azyumardi Azra ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat
International IDEA Stockholm (2007-2013)
dan UNDEF New York (2006-2008)
|
KOMPAS, 26 April
2016
”Today,
the Indonesian legal system cannot be trusted—indeed, cannot be used to
render honest decision—but may be trusted to protect corrupt activities. By
all accounts, the Indonesian legal system…is wretched”
(Gary
Goodpaster, dalam Tim Lindsey (ed), Law Reform in Developing and Transitional
States, 2007)
Operasi Tangkap Tangan (OTT)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap panitera/Sekretaris Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution, pekan lalu (20/4), tampaknya
hanyalah puncak ”gunung es” dari korupsi yang melibatkan para pejabat di
lingkungan lembaga peradilan Indonesia. Dalam bahasa Hakim Agung T Gayus Lumbuun,
kasus ini hanyalah ”riak-riak kecil dari ombak yang jauh lebih besar”.
Di bawah puncak gunung salju atau
”riak kecil” itu adalah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang dicegah
ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi selama enam bulan atas
permintaan KPK. Masih harus ditunggu, gunung salju atau ombak besar seperti
apa yang ada di lingkungan MA selain Nurhadi.
Jika dilihat jumlah uang yang
disita KPK sejauh ini dari Edy Nasution, jelas ”relatif” sedikit—”hanya” Rp
50 juta. Namun, jumlah jauh lebih besar lagi segera terlihat. KPK dalam
penggeledahan di kantor Nurhadi menyita tiga tas penuh uang dollar Amerika
Serikat pecahan 100. Sepatutnya pula KPK mengusut rumah mewah dan banyak
mobil super mahal milik Nurhadi guna mencari bukti keterkaitan dengan kasus
korupsi.
Kasus ini mengindikasikan
kelatenan praktik sogok-menyogok di antara pihak berperkara dengan
oknum-oknum lembaga peradilan sejak dari PN paling rendah sampai ke MA,
peradilan tingkat tertinggi. Yang terlibat boleh jadi mereka yang menangani
masalah administratif peradilan, seperti panitera atau sekretaris; dan/atau
mereka yang menyidang dan memutus perkara alias hakim.
Orang bisa berdalih, tindakan
koruptif seperti itu dilakukan oknum lembaga peradilan (judiciary). Namun, bagaimanapun, tindakan mereka telah
mencemarkan nama peradilan secara keseluruhan dan sekaligus meruntuhkan
kredibilitas peradilan dan keadilan.
Berbagai bentuk praktik korupsi
yang melibatkan tenaga administratif peradilan dan hakim (dan juga jaksa)
jelas bukan hal baru. Kenyataan itu menunjukkan, korupsi sudah endemik di
lingkungan lembaga peradilan. Sifat endemik ini sekaligus memperlihatkan
korupsi berlangsung secara sistemik sehingga amat sukar terungkap, apalagi
diberantas.
Meski ada penangkapan dan
pengenaan hukum terhadap para pelakunya di lingkungan peradilan, tetap jelas
tak membuat (calon-calon) koruptor berikutnya berpikir dua kali sebelum
melakukan korupsi.
Karena itu, berbagai literatur di
tingkat nasional dan internasional terus berbicara tentang mafia peradilan
yang berlangsung sejak lama. Dapat terlihat, misalnya, dalam Rule of Law
Index 2015 yang dikeluarkan World Justice Project, Washington DC. Menurut
laporan itu, penegakan hukum Indonesia di peringkat rendah, yaitu 52 dari 102
negara dunia. Indonesia juga termasuk berada di antara peringkat terbawah di
antara 15 negara Asia-Pasifik, yaitu di peringkat ke-10.
Rendahnya skor Indonesia dalam indeks
penegakan hukum terutama karena peradilan sipil (civil justice) masih terus dihinggapi merajalelanya korupsi. Hal
ini terkait banyak dengan rendahnya integritas dan etika di lingkungan
peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 102 negara. Rendahnya
posisi Indonesia dalam indeks tersebut juga karena sulitnya warga mendapat
akses civil justice melalui peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-84
dari 102 negara.
Pada saat sama, indeks itu juga
mencatat rendahnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan dan keadilan.
Karena itu, warga enggan melaporkan, misalnya, ketika mereka harus berhadapan
dengan praktik sogok-menyogok dan perilaku tidak etis lain saat berurusan di
lingkungan peradilan.
Hasilnya, seperti disimpulkan
Profesor Gary Goodpaster, Guru Besar Emeritus Universitas California, Davis,
dalam buku suntingan Profesor Tim Lindsey, Guru Besar Universitas Melbourne,
ahli hukum Indonesia: ”Sistem hukum Indonesia tidak bisa dipercaya—sungguh,
tidak bisa digunakan untuk dapat memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi
bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan korup”.
Lebih jauh, meski sudah menjadi
rahasia umum praktik koruptif merajalela di lingkungan peradilan, sifat
korupsi yudisial (judicial corruption)
dan dampaknya terhadap kehidupan publik secara keseluruhan tidak banyak
dipahami. Hal ini karena lembaga yudisial sangat tertutup, terbentengi
berbagai rambu dan resistensi internal.
Karena itu, walau KPK telah
melakukan OTT beberapa kali terhadap fungsionaris di lingkungan yudikatif,
lembaga yudisial tetap relatif jarang tersentuh KPK. Selama ini, OTT KPK
dalam jumlah besar terutama terkait pejabat publik di legislatif (DPR dalam
ketiga tingkatnya) dan eksekutif (sejak dari tingkat nasional sampai
provinsi, kota/kabupaten).
Sangat tepat jika KPK juga kian
meningkatkan pemberantasan korupsi di lingkungan peradilan. Selama praktik
korupsi merajalela di lingkungan yudikatif, selama itu pula hukum dan
keadilan yang didambakan warga tidak pernah dapat ditegakkan.
Untuk itu, sudah waktunya pimpinan
MA mendukung lebih sungguh-sungguh upaya penciptaan lembaga peradilan bersih
dan akuntabel. Imbauan yang telah berulang kali dari berbagai pihak tentang
urgensi reformasi lembaga peradilan, kini waktunya dilaksanakan dengan
keterbukaan dan keseriusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar