Alat Bukti Keterangan Ahli
Eddy OS Hiariej ; Guru
Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS, 25 April
2016
Pembuktian
di persidangan, baik dalam perkara pidana, perdata, tata usaha negara, maupun
beracara di Mahkamah Konstitusi, salah satu alat bukti yang sering dihadirkan
dalam persidangan-selain alat bukti keterangan saksi dan surat-adalah
keterangan ahli. Bahkan, dalam hukum pembuktian modern, keterangan ahli
merupakan salah satu alat bukti yang berlaku secara universal selain testimoni,
dokumen, dan bukti fisik (real/physical evidence).
Arthur
Best dalam Evidence dan Ian Dennis
dalam The Law Evidence, serta
Tristam Hodgkinson dan James Mark dalam Expert Evidence berpendapat bahwa
paling tidak ada lima hal terkait keterangan ahli.
Pertama,
menyangkut kualifikasi seorang ahli yang dapat memberikan keterangan dan
berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli. Kualifikasi ahli adalah seorang
ilmuwan, teknisi, atau orang yang memiliki pengetahuan khusus mengenai topik
yang membutuhkan kesaksian ahli. Keahlian tersebut dapat diperoleh baik dari
pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan, maupun pendidikannya.
Keahlian seseorang melekat pada individu dan bukan pada lembaga atau
institusi tempat ia bekerja.
Dalam
praktik pengadilan di Indonesia, sering kali seorang ahli sebelum memberikan
keterangan dimintai surat tugas dari institusi tempat ia bekerja. Hal ini
merupakan pemahaman yang sesat mengenai kualifikasi seorang ahli karena
keterangan ahli yang diberikannya bukanlah atas nama lembaga atau institusi,
melaikan melekat pada pribadinya. Selain itu, kelengkapan administrasi berupa
surat tugas juga tidaklah dipersyaratkan KUHAP.
Kedua,
berhubungan dengan topik kesaksian ahli. Pada dasarnya, seorang ahli
dihadirkan di persidangan untuk meyakinkan hakim perihal topik yang
membutuhkan keahlian itu. Topik kesaksian ahli dapat beraneka ragam, termasuk
substansi hukum yang mendasari suatu perkara atau sengketa sehingga untuk
menjelaskannya dibutuhkan kesaksian ahli.
Perihal
keterangan ahli yang menerangkan substansi hukum masih menjadi perdebatan
apakah seorang ahli hukum perlu bersaksi di pengadilan. Hal ini berdasarkan
adagium ius curia novit yang berarti hakim dianggap mengetahui hukumnya
sehingga keterangan ahli hukum tidak dibutuhkan. Akan tetapi, pada
kenyataannya, dalam persidangan pengadilan di Indonesia, keterangan ahli
hukum masih tetap dibutuhkan.
Urgensi keterangan ahli
Ada
dua argumentasi mengapa keterangan ahli hukum masih tetap dibutuhkan di
pengadilan Indonesia. Pertama, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para
hakim, masih banyak kapasitas intelektual para hakim yang tidak memadai.
Jangankan pada substansi pokok perkara yang disidangkan, hal-hal yang
bersifat mendasar dalam ilmu hukum pun tak dipahami. Jika terjadi hal demikian,
pengadilan yang bertujuan mencari kebenaran materiil terhadap suatu peristiwa
hukum akan menuju pada peradilan sesat karena ketidakpahaman terhadap
substansi hukum secara utuh.
Kedua,
haruslah dipahami bahwa asas ius curia novit hanya berlaku kepada hakim dan
tidak kepada penyidik ataupun penuntut umum. Dalam proses peradilan pidana,
tidak jarang keterangan ahli sudah diminta sejak penyidikan, baik yang
dihadirkan oleh penyidik maupun yang dihadirkan oleh tersangka. Bahkan, acap
kali petunjuk penuntut umum kepada penyidik untuk melengkapi suatu berkas
perkara harus ditambah dengan keterangan ahli pidana. Jika seorang ahli telah
dihadirkan dalam penyidikan dan telah dibuatkan proses verbal oleh penyidik,
konsekuensinya ahli tersebut harus didengarkan keterangannya di pengadilan.
Ketiga,
jenis keterangan ahli secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua: (1)
keterangan ahli mengenai suatu permasalahan yang menjadi topik perkara di
persidangan atas dasar suatu pengetahuan atau pengalaman ahli yang dinyatakan
di persidangan tanpa memerlukan suatu tindakan sebelumnya, dan (2) keterangan
ahli atas dasar suatu tindakan yang harus dilakukan sebelum persidangan
seperti pemeriksaan, penelitian, atau observasi.
Keempat, berkaitan dengan corak kesaksian. Ahli
boleh menyatakan pendapat dan kesimpulan dari topik yang dijelaskan dengan
pembatasan-khususnya dalam kasus-kasus pidana-untuk menyatakan secara
eksplisit apakah terdakwa yang sedang diproses bersalah telah melakukan suatu
kejahatan. Dalam praktik, biasanya ahli dipersyaratkan memberikan kesaksian
berbentuk jawaban atas pertanyaan yang bersifat hipotesis. Penanya
menyampaikan suatu hipotesis-hipotesis atau suatu keadaan atau kondisi
tertentu kemudian ahli memberikan pendapat berupa konsekuensi dari keadaan
atau kondisi tersebut. Tegasnya, ahli tidak boleh memberikan penilaian
mengenai benar-salahnya terdakwa yang sedang disidangkan.
Obyektivitas keterangan
ahli
Kelima,
bertalian dengan obyektivitas keterangan ahli. Prinsip yang harus dipegang
oleh setiap ahli yang memberikan kesaksian dalam rangka mengungkap suatu kebenaran adalah
obyektivitas, netral dan tidak memihak. Obyektivitas hanya didasarkan pada
kebenaran ilmiah dan etika akademik. Meskipun seorang ahli dihadirkan
tersangka atau terdakwa, tidaklah berarti harus membelanya secara membabi
buta. Demikian pula sebaliknya, ketika seorang ahli dihadirkan oleh penyidik
atau penuntut umum, maka tidak serta-merta harus memberatkan tersangka atau
terdakwa.
Pengalaman
pribadi, setiap diminta memberikan keterangan ahli, baik oleh penyidik atau
penuntut umum, maupun tersangka atau terdakwa, saya selalu memaparkan kondisi
obyektif terhadap kasus tersebut disertai dengan kelemahan dan kelebihan dari
substansi perkaranya. Saya pernah dihadirkan oleh terdakwa dalam satu kasus
korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta. Namun, berdasarkan
kepandaian penuntut umum yang berhasil mengeksplorasi keterangan ahli,
kemudian keterangan sayalah yang digunakan sebagai dasar tuntutan penuntut
umum.
Kondisi
obyektif inilah yang sering kali tidak dipahami masyarakat awam. Seolah-olah,
ketika terdakwa dijatuhi hukuman atau terdakwa dibebaskan atau dilepaskan
dari tuntutan hukum, adalah karena keterangan ahli. Padahal, berdasarkan
KUHAP, alat bukti keterangan ahli merupakan alat bukti bebas yang dapat
digunakan ataupun tidak digunakan oleh hakim. Bahkan, menurut KUHAP pula,
hakim dalam memperoleh bukti petunjuk hanyalah berdasarkan keterangan saksi,
surat dan keterangan terdakwa, tidak termasuk keterangan ahli. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar