Meterai
Toriq Hadad ; Pengarang;
Wartawan Senior TEMPO
|
KORAN TEMPO, 23 April
2016
JANGAN sekali-kali
menyepelekan meterai. Lembaran mungil 32 mm x 24 mm itu ternyata bisa membuat
calon kepala daerah yang memilih jalur independen terpental dari arena
pemilihan. Aturan wajib meterai itu, yang sempat nongol dalam draf peraturan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pencalonan kepala daerah, barangkali
layak masuk kisah Indonesiana. Ya, kejadian begini agaknya hanya terjadi di
negeri kita.
Kalau KPU terus
memberlakukan wajib meterai itu untuk setiap surat dukungan bagi calon
independen, artinya "kesaktian" benda kecil tersebut--yang
sebenarnya merupakan pajak--sudah melebihi kartu tanda penduduk atau dokumen
apa pun. KPU ternyata tak diam, cepat tanggap dan mengubah aturannya. Komisi
itu responsif terhadap kritik. Wajib meterai bagi surat dukungan perorangan
diganti: meterai hanya perlu untuk setiap bundel surat dukungan dari setiap
desa atau kelurahan.
Lebih baik? Jelas tidak.
Fungsi dan kegunaan meterai untuk setiap bundel desa atau kelurahan itu
semakin tak jelas. Misalnya dalam satu bundel yang isinya seribu surat
dukungan itu ada satu atau dua surat dukungan palsu, apakah seribu surat
dukungan yang terikat satu meterai tersebut akan dibatalkan semua? Tentu
tidak mungkin. Lalu, kekuatan hukum semacam apa yang diharapkan KPU hadir
dari pembubuhan meterai per desa itu?
Barangkali kekisruhan ini
bermula dari pemikiran bahwa surat dukungan untuk calon independen itu
merupakan "surat perjanjian" atau "surat kontrak" antara
pemilih dan calon kepala daerah jalur independen. Seakan-akan ada ikatan di
antara dua pihak yang hendak dijaga dengan pencantuman segel. Dengan cara
pandang semacam ini, meterai sepertinya dipakai untuk alat pembuktian perkara
perdata ketika salah satu dari kedua pihak menyalahi "surat
perjanjian".
Saya pikir surat dukungan
bukanlah perjanjian yang mengikat. Kedua pihak tidak saling kenal secara
pribadi. Ini hubungan antar-orang atas dasar kesamaan gagasan tentang
bagaimana sebuah daerah akan dikelola. Hubungan itu tanpa ikatan dan tanpa
syarat. Misalnya, katakanlah sekarang saya mendukung Basuki sebagai Gubernur
Jakarta.
Kalau di tempat pemungutan suara nanti saya memilih calon yang lain,
itu sepenuhnya hak saya. Basuki tak akan pernah tahu soal perubahan pilihan
saya, dan tak boleh tahu karena asas rahasia dalam pilkada. Saya pun tak bisa
dihukum secara perdata karena "ingkar janji" atau
"wanprestasi" lantaran tak memilih Basuki. Lalu, apa yang hendak
diikat oleh sehelai meterai dalam hubungan selonggar ini?
Mungkin KPU hendak
mencegah pemalsuan dukungan. Kalau itu maksudnya, meterai juga tak berarti
apa-apa. Soalnya, KPU akan melakukan verifikasi atas surat dukungan bagi
calon independen satu per satu. Itu kerja berat: satu per satu pendukung
calon independen akan didatangi dan diperiksa identitasnya. Dengan seleksi
sangat ketat itu, pembubuhan meterai jelas tak perlu lagi, dan hanya menambah
beban biaya pendukung calon independen.
Tentu KPU tidak bermaksud
jahat. Tapi setiap niat baik tidak harus semua dimasukkan dalam aturan. Untuk
menjaga pendukung calon independen dari anasir-anasir komunis, misalnya, tak
perlulah dimintai surat bebas G-30-S/PKI. Untuk menjaga agar pendukung tidak
memberikan dukungan dalam keadaan teler, tak perlu meminta surat bebas
narkoba. Agar rumah tangga pendukung terjaga keharmonisannya, KPU jangan sampai
meminta persetujuan suami atau istri untuk pasangan yang mendukung calon
independen.
Ada kawan yang nyeletuk: untuk pilih calon
independen tidak perlu juga akta notaris, tak perlu ijazah kursus menyetir
terakreditasi, apalagi ijazah akuntansi bond A dan bond B.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar