Wakaf Lahan Pangan
Triwibowo Yuwono ; Guru
Besar di Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta
|
MEDIA INDONESIA,
28 April 2016
KEGIATAN wakaf sudah lama
diterapkan di Indonesia, dan yang biasa dikenal masyarakat ialah wakaf untuk
kegiatan ibadah dan pendidikan.
Dalam tulisan ini penulis ingin
mengajukan gagasan perluasan kegiatan wakaf untuk peningkatan kesejahteraan
umum, seperti disebutkan dalam UU No 41/2004, yaitu untuk menjaga kelestarian
lahan pangan. Seperti telah banyak diketahui, salah satu persoalan besar
dalam penyediaan pangan di Indonesia ialah terjadinya alih fungsi lahan
pangan yang subur menjadi peruntukan lain yang menyebabkan penurunan produksi
pangan.
Banyak faktor yang menjadi
penyebab alih fungsi lahan pangan menjadi peruntukan lain, antara lain godaan
investor kepada petani pemilik lahan untuk menjual dengan harga tinggi. Selain
itu, beberapa kajian menunjukkan penurunan minat anak-anak petani untuk
menjadi petani sehingga ketika sang bapak beranjak tua dan tidak dapat
menggarap sawah, godaan menjual lahan sawah semakin besar.
Data BPS di 2004, seperti tertulis
dalam kajian kasus alih fungsi lahan oleh Nana Apriyana (Bappenas),
menunjukkan bahwa besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah
ke nonsawah di Jawa sebesar 187.720 ha per tahun, dengan perincian alih
fungsi ke nonpertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke
pertanian lain sebesar 77.556 ha per tahun.
Data ini sangat mungkin dapat
berubah dari tahun ke tahun. Apalagi jika mengingat laju pembangunan
infrastruktur yang kencang, laju alih fungsi lahan dapat menjadi lebih besar
lagi. Jika hal itu berlanjut, dikhawatirkan akan semakin luas lahan subur
yang beralih fungsi meskipun sudah ada UU No 41/2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Salah satu cara untuk menahan
derasnya laju alih fungsi lahan ialah dengan memberikan perlindungan dan
jaminan kepada petani pangan untuk dapat tetap melakukan usaha tani pangan
tanpa harus khawatir dengan masa depannya.
Tulisan ini mencoba mengajukan
konsep wakaf tanah. Secara sederhana, gagasan ini mengajak masyarakat, baik
perorangan maupun lembaga yang mempunyai modal kuat, untuk membeli
lahan-lahan pangan yang subur dan potensial, lalu diberikan kembali kepada
petani atau kelompok petani untuk tetap digarap sebagai lahan pangan.
Implementasi gagasan ini dapat
dilakukan dengan beberapa macam model. Model pertama, perorangan atau lembaga
yang mempunyai cukup modal dan kepedulian terhadap produksi pangan mewakafkan
lahan yang dimiliki kepada lembaga wakaf di suatu desa, yang dibentuk secara
resmi dan legal, untuk mengelola lahan wakaf bagi produksi pangan.
Kedua, perorangan atau suatu
lembaga, baik swasta maupun pemerintah daerah, membeli lahan dari petani atau
kelompok petani dengan ikatan perjanjian legal bahwa lahan tidak akan
dialihfungsikan ke peruntukan lain. Selanjutnya pihak yang membeli lahan itu
mewakafkan kembali lahan yang sudah dibeli kepada petani atau kelompok petani
yang menjual lahannya. Dengan begitu, petani tersebut tetap dapat melakukan
usaha tani pangan tanpa harus tergoda menjual lahannya kepada investor yang
menggunakan untuk kepentingan selain produksi pangan.
Ketiga, model 'wakaf bersama' yang
dapat dilakukan oleh sekelompok orang yang secara bersama-sama membeli sebidang
lahan pertanian untuk kemudian diwakafkan kembali kepada lembaga wakaf guna
tetap dimanfaatkan sebagai lahan pangan. Ini adalah model paling sederhana
untuk pengembangan konsep wakaf lahan pangan.
Keempat, wakaf yang dilakukan oleh
pemerintah atau negara, yaitu dengan 'mewakafkan' lahan-lahan tidur atau
lahan yang selama ini tidak produktif untuk kepentingan produksi pangan. Model
ini mungkin lebih kompleks karena harus ada dukungan aturan hukum untuk
menjaga sistem wakafnya.
Dengan model wakaf lahan pangan
seperti di atas, diharapkan ada perlindungan terhadap lahan-lahan yang
potensial untuk produksi pangan, juga jaminan kepada petani untuk tetap dapat
berproduksi tanpa godaan dari investor. Perlindungan terhadap lahan-lahan
pangan dari proses konversi menjadi bentuk lain hanya dapat terlaksana dengan
dukungan masyarakat.
Dukungan legal, dengan
diundangkannya UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, sudah ada, tetapi mungkin tidak cukup karena tidak mudah untuk
menjamin tidak akan ada konversi lahan. Kenyataan menunjukkan bahwa meskipun
UU No 41 sudah ditetapkan, konversi lahan pertanian menjadi bentuk lain masih
terus berlangsung.
Dengan model wakaf lahan pangan,
yang melibatkan peran aktif masyarakat, diharapkan perlindungan terhadap
petani dan lahan-lahan pertaniannya akan lebih efektif karena ada dimensi
spritual, bukan semata-mata urusan legal formal. Masyarakat atau lembaga
wakaf yang menerima wakaf dari masyarakat untuk kepentingan umum, termasuk
produksi pangan, tentu tidak akan berani bermain-main karena ada aspek amanah
dan dimensi ibadah yang tidak boleh sembarangan diabaikan.
Dengan
model ini para petani akan merasa lebih terlindungi. Dengan perjanjian yang
dibuat, jika petani sudah tidak mampu lagi mengolah lahan yang diwakafkan,
hak pengelolaan dapat dialihkan kepada petani lain atau anak keturunannya. Model
wakaf seperti diusulkan dalam tulisan ini dapat dielaborasi lebih lanjut
untuk menjabarkan pola wakaf dan perjanjian pengelolaannya serta dukungan pelaksanaannya
di lapangan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah cukup menjadi pihak
yang memberikan perlindungan hukum kepada pemberi wakaf dan penerima wakaf
tanpa harus terlibat langsung di dalam operasional pengelolaan lahan. Itu
karena yang berperan penting ialah anggota masyarakat yang menjadi pihak
pemberi wakaf.
Di dalam lembaga wakaf yang
bertanggung jawab mengelola peruntukan wakaf dapat disertakan wakif (orang
atau lembaga yang memberi wakaf) sehingga dapat ikut mengawasi pelaksanaan
wakaf. Lembaga-lembaga wakaf yang dapat dilibatkan, misalnya pondok
pesantren, lembaga keagamaan yang lain, atau lembaga swadaya masyarakat yang
dibentuk di daerah wakaf lahan pangan tersebut.
Salah satu model pemanfaatan wakaf
lahan pangan ialah sistem bagi hasil antara lembaga pengelola wakaf dan para
petani. Dalam hal ini petani memberikan sebagian hasil usaha taninya kepada
lembaga wakaf, misalnya pondok pesantren, sehingga dapat digunakan untuk
menyediakan sumber pangan bagi para santrinya. Tentu harus ada sistem bagi
hasil yang adil.
Oleh karena itu, keterlibatan
wakif menjadi perlu karena dapat ikut mengawasi pelaksanaan wakaf. Sebaliknya,
wakaf lahan pangan dapat juga dilaksanakan dengan cara menyerahkan sepenuhnya
hasil panenan petani kepada para petani untuk mengelola atau menjualnya.
Dalam model wakaf bersama, mungkin
pola pemanfaatan semacam ini lebih sesuai karena para wakif tidak perlu ikut
memikirkan hasil dari lahan pangan yang diwakafkan. Meskipun demikian, peran
lembaga independen, misalnya di tingkat desa atau kecamatan, untuk melakukan
supervisi pengelolaan lahan wakaf masih diperlukan. Terutama untuk menjaga
status hukum lahan yang sudah diwakafkan.
Sekali lagi, pencegahan alih
fungsi lahan pangan produktif menjadi bentuk lain memerlukan peran aktif
masyarakat. Tidak hanya dalam bentuk advokasi dan konsep-konsep verbal yang
berhenti dalam bentuk kertas kerja, tapi juga perlu aksi bersama.
Salah satu aksi bersama yang dapat
dilakukan ialah dengan mewakafkan lahan yang dimiliki oleh masyarakat untuk
kepentingan produksi pangan.
Keterlibatan para pemuka agama
untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai hal ini juga sangat
diperlukan sehingga masyarakat dapat menyalurkan sebagian kekayaan mereka
secara lebih produktif dan bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar