Ancaman Kematian Anak Indonesia
Tatak Ujiyati ; Direktur
Advokasi dan Kampanye Yayasan Sayangi Tunas Cilik mitra dari Save the
Children Internasional; Ketua Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak
Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli
Syah MSi (Alm)
|
MEDIA INDONESIA,
26 April 2016
ANGKA kematian anak di Indonesia masih tinggi. Setiap
tahunnya, sebanyak 147.000 anak Indonesia meninggal sebelum mencapai usia 5
tahun. Pemerintah telah membuat sejumlah kebijakan untuk menanggulanginya,
tapi belum efektif. Sejumlah terobosan diperlukan untuk mengatasinya.
Pada September 2015, kepala negara dari seluruh dunia
berkumpul di Sidang PBB menandai berakhirnya Rencana Pembangunan Milenium
(Millenium Development Goals-MDGs) dengan beberapa capaian.
Di seluruh dunia, kematian anak balita dan angka kematian
ibu berkurang separuhnya. Di Indonesia, angka kematian anak balita juga telah
menurun sebanyak dua per tiga jika dibandingkan dengan satu dekade lalu.
Walaupun demikian, tetap saja jumlah kematian anak balita di negeri ini masih
besar. Setiap hari, lebih dari 400 anak meninggal sebelum ulang tahunnya yang
ke-5. Separuh dari kematian itu terjadi pada masa 28 hari pertama kehidupan.
Situasi sama terjadi pada kematian ibu yang tidak
berkurang signifikan dalam 10 tahun terakhir. Kematian ibu sangat tinggi,
yaitu 390 kematian pada setiap 100.000 kelahiran hidup pada 1991 dan menjadi
359 kematian pada 2012. Sebagian besar kematian ibu disebabkan karena
komplikasi persalinan. Capaian penurunan angka kematian ibu ini jauh lebih
rendah dari capaian dunia secara global.
Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah meluncurkan
berbagai program untuk menurunkan angka kematian anak di bawah usia 5 tahun
ini. Pada 2011, pemerintah meluncurkan program Jaminan Persalinan (Jampersal)
yang memungkinkan setiap ibu mendapatkan perawatan persalinan. Syarat yang
diperlukan untuk mendapatkan Jampersal terhitung sederhana. Setiap ibu yang
tidak memiliki jaminan kesehatan lain, mendapatkan Jampersal hanya dengan
menunjukkan identitas diri.
Sayangnya, pada 2015, Jampersal berakhir karena pemerintah
meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN memiliki bentuk
yang jauh berbeda dengan Jampersal yang memang secara khusus menyasar pada
ibu hamil. JKN memiliki sasaran lebih luas, yaitu seluruh lapisan masyarakat.
JKN juga menerapkan sistem asuransi, yakni setiap peserta harus mendaftar
kepada BPJS sebelum dapat memakainya.
Saat ini hampir 65% dari seluruh warga negara Indonesia
menjadi peserta JKN. Dua per tiga dari seluruh peserta JKN berstatus PBI
-Penerima Bantuan Iuran, sehingga saat ini JKN masih sangat tergantung pada
negara. Tahun ini pemerintah menggelontorkan Rp30,7 triliun untuk membayarkan
premi JKN bagi 92,4 juta orang.
Dengan sistem JKN, hanya ibu yang terdaftar yang dapat memanfaatkan
layanan sehingga meminggirkan kelompok ibu dan anak tak beridentitas yang
sebetulnya merupakan kelompok paling miskin.
Kenyataannya, JKN saat ini memang lebih banyak dinikmati
kelompok menengah atas. Hal ini terlihat dari jumlah klaim pemakaian peserta
non-PBI yang mencapai dua kali lipat dari penerima bantuan iuran walaupun
jumlah mereka hanya sepertiga dari peserta.
Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan peserta PBI
tidak banyak memanfaatkan layanan JKN. Pertama, pengetahuan masyarakat kelas
bawah tentang JKN masih rendah. sebuah penelitian yang dilakukan Save the
Children di Jakarta dan Jawa Barat tahun ini, mengungkap bahwa banyak dari
peserta PBI gagal memanfaatkan layanan JKN karena tidak mengetahui prosedur
yang benar.
Kedua, banyak dari penerima PBI berasal dari daerahdaerah
yang jauh dari fasilitas kesehatan. Partisipasi terhadap JKN sebetulnya cukup
merata. Bahkan, tingkat kepesertaan di propinsi Papua dan Papua Barat
mencapai 100% karena sebelumnya masyarakat memang telah dijamin melalui
program Jamkespa. Namun, kepemilikan kartu JKN saja tidak secara otomatis
membuat mereka memiliki akses terhadap layanan kesehatan berkualitas karena
masalah kesenjangan layanan kesehatan.
Saat ini, misalnya 45% dokter
terkonsentrasi di Jawa dan Bali. Akibat tidak meratanya layanan kesehatan,
masyarakat daerah perdesaan dan daerah terpencil harus mengeluarkan uang
lebih banyak demi mendapatkan layanan kesehatan.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini
ialah dengan mendekatkan setiap ibu hamil yang tinggal di daerah terpencil
kepada layanan kesehatan. Save the
Children semenjak 2 tahun lalu mendorong masyarakat untuk membuat rumah
tunggu kelahiran untuk mengatasi risiko persalinan bagi ibu hamil di daerah
terpencil di Kabupaten Bandung.
Patut diapresiasi, baru-baru ini pemerintah telah membuat
kebijakan baru untuk mengatasi masalah akses layanan kesehatan dengan
menambah Dana Alokasi Khusus ke daerah. DAK ini dapat dipakai untuk biaya
operasional rumah tunggu kelahiran, biaya hidup ibu hamil ketika menunggu
kelahiran, dan juga biaya transportasi si ibu. Kebijakan baru ini juga
disebut dengan Jaminan Persalinan (Jampersal baru).
Kebijakan Jampersal Baru ini hanya akan dapat mencapai
tujuan mengurangi angka kematian ibu dan bayi jika dibarengi dengan
pelaksanaan yang baik pula. Paling tidak, ada tiga hal yang harus diperhatikan
dalam pelaksanaan program ini.
Pertama, program Jampersal baru harus memperhatikan
kebutuhan daerah. Setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Ada
daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk di daerah terpencil dalam jumlah
banyak, tapi ada juga daerah yang tidak memiliki daerah terpencil sama
sekali.
Demikian juga ada daerah yang sebenarnya telah memiliki
dana sendiri secara cukup sehingga yang lebih dibutuhkan ialah asistensi
untuk implementasi program ketimbang tambahan dana. Oleh karena itu, telaah
menyeluruh perlu dilakukan sebelum mengalokasikan tambahan DAK untuk
Jampersal baru ini.
Kedua, pemerintah daerah biasanya memerlukan waktu
persiapan untuk melaksanakan setiap kebijakan baru. Apalagi, dalam kerangka
otonomi daerah, pemerintah daerah sebenarnya memiliki kewenangan untuk
membuat program sendiri, tidak hanya sekadar melaksanakan kebijakan
pemerintah pusat. Oleh karena itu, upaya sosialisasi dan advokasi perlu
dilakukan di tingkat Kabupaten agar pelaksanaan kebijakan Jampersal baru dapat
terlaksana secara efektif.
Ketiga, pelibatan masyarakat sipil diperlukan agar
pelaksanaan program Jampersal baru bisa lebih akuntabel. Masyarakat sipil
perlu dilibatkan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi
program. Pelibatan masyarakat sipil dalam perencanaan program akan membantu
meningkatkan kualitas pelaksanaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar