Membangun Kota Waspada Bencana
Nirwono Joga ;
Koordinator Kemitraan Kota
Hijau
|
MEDIA INDONESIA,
20 April 2016
PADA waktu yang hampir bersamaan, dua gempa besar melanda dunia.
Gempa dahsyat berkekuatan 7,3 magnitudo di prefektur Kumamoto, Pulau Kyushu,
Jepang, dan gempa berkekuatan 7,8 magnitudo di Pedernales, Ekuador.
Rumah dan gedung runtuh, jembatan ambruk, jalan raya terputus,
rel kereta rusak berat, dan banyak orang terkubur hidup-hidup. Sebagian
wilayah terbakar, suasana gelap tanpa penerangan, jalan retak dan lubang
menganga, jalur logistik tertutup. Kota pun lumpuh total.
Belajar dari dua kejadian gempa besar tersebut, apakah kota-kota
di Indonesia sudah menyiapkan diri membangun kota waspada bencana (KWB),
mengingat Indonesia juga sama-sama berada di lingkaran cincin api? Lalu apa
yang harus segera dilakukan?
Pertama, perencanaan pembangunan KWB harus diarahkan siap untuk
menghadapi berbagai ancaman bencana, menekan risiko bencana, mengeliminiasi
segala ancaman, dan membangun diri tanggap bencana. Pemerintah kota/kabupaten
harus memetakan lebih rinci potensi kegempaan.
Kita perlu memahami potensi ancaman dari sumber gempa yang belum
terkuantifikasi dengan baik parameternya, terutama sumber gempa yang dekat
kawasan perkotaan, kawasan padat bangunan dan penduduk, seperti Jakarta,
Bandung, dan Surabaya. Untuk kota pesisir pantai, pemerintah daerah dapat
sekaligus memetakan risiko tsunami.
Kedua, sesuai dengan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan
Bencana, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah harus mengembangkan
KWB. Rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang dan peraturan
zonasi, dan rencana tata bangunan dan lingkungan kota/kabupaten harus memasukkan
peta kerentanan bencana dalam pengembangan kota/kabupaten.
Perencanaan dan penerapan tata ruang serta pembangunan
infrastruktur kota harus berbasis mitigasi bencana untuk mengurangi risiko
bencana. Rekonstruksi pembangunan kota yang terintegrasi akan menekan
kerentanan dan meningkatkan ketahanan kota dan warga serta infrastruktur
mitigasi menghadapi bencana serupa yang amat mungkin terulang.
Ketiga, pemerintah kota/kabupaten harus melakukan audit
infrastruktur dan bangunan tahan gempa. Bangunan gedung pemerintahan hingga
rumah tinggal harus menerapkan standar bangunan tahan gempa dengan baik.
Rumah-rumah panggung arsitektur tradisional dapat menjadi rujukan
pengembangan bangunan tahan gempa berbasis lokal. Pemerintah harus membangun
infrastruktur mitigasi bencana untuk melindungi warga. Kota dilengkapi
sirene, jalur evakuasi, dan bangunan/taman evakuasi. Permukiman di pesisir
digeser ke dataran tinggi karena tanggul laut dianggap sudah tidak memadai
lagi. Penguatan daerah pesisir dengan menanam pohon bakau secara massal dan
setebal mungkin ke daratan. Hutan mangrove yang terbentuk berfungsi
mengurangi banjir, menghambat intrusi air laut, meredam rob, menahan abrasi
hingga gelombang tsunami.
Keempat, antisipasi faktor penggerak risiko kota rentan bencana,
seperti pertumbuhan dan peningkatan kepadatan penduduk tidak terkendali,
infrastruktur menua, dan konstruksi bangunan tidak aman. Konsentrasi sumber
daya dan kapasitas di tingkat pusat, kelangkaan kapasitas, sumber daya
manusia, dan keuangan di daerah.
Tata kelola daerah lemah dan partisipasi pemangku kepentingan
lokal belum memadai dalam perencanaan KWB. Pelayanan kedaruratan yang tidak
terkoordinasi dan tidak bersinergi baik di antara pihak terkait menimbulkan
keterlambatan penanggulangan bencana.
Kelima, kota harus memiliki akal daya, kapasitas cadangan,
kelenturan, harus aman (kecil kemungkinan gagal), memulihkan kembali dengan
cepat, dan melakukan pembelajaran terus-menerus. Kota didukung tata kelola
pemerintahan yang inklusif, profesional, kompeten, dan akuntabel. Pemerintah
dan masyarakat dididik untuk paham betul risiko yang menghadang tinggal di
kota rentan bencana. Sistem, pemerintahan, dan masyarakat juga harus bersikap
antisipasitf, adaptif, dan mitigatif memperhitungkan dampak bencana. Masyarakat
diberdayakan sehingga mampu bereaksi cepat dan melakukan tindakan tepat
pemulihan segera. Warga tahu persis apa dan bagaimana yang harus dilakukan,
serta ke mana dan di mana tempat evakuasi untuk menyelamatkan diri sehingga
dampak bencana dapat diminimalkan.
Keenam, pemerintah harus melakukan kajian risiko dan skenario
penanggulangan, penanganan risiko berbasis perencanaan tata ruang,
pengelolaan ekosistem kota, peremajaan/peningkatan kota, partisipasi pemangku
kepentingan dan komunitas, sistem manajemen tanggap bencana, analisis dan
penerapan berdasarkan data tata ruang kota, pendanaan risiko dan pendekatan
pemindahan permukiman.
Keseimbangan pembangunan infrastruktur yang tanggap bencana dan
diimbangi daya liat masyarakat untuk pulih dari trauma merupakan kunci
keberhasilan pembangunan KWB. Kota yang dibangun mampu bertahan terhadap
guncangan tanpa gangguan permanen atau gagal fungsi dan memiliki
kecenderungan untuk memulihkan diri atau menyesuaikan secara mudah terhadap
perubahan mendadak.
Tak ada yang lebih penting daripada jiwa manusia, dan ini
berkejaran dengan waktu. Mewujudkan KWB bukan merupakan pilihan, melainkan
sebuah keharusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar