Malnutrisi
Samuel Mulia ; Penulis
Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 24 April
2016
Saya
duduk di sebuah warung es yang menghadap kali kecil dengan pohon petai cina
yang sudah bongkok tak kuasa menahan terpaan angin setiap hari. Hari itu, tak
seperti biasanya, daun dan batangnya sampai menyentuh air kali. Ia seperti
sedang menghadapi ajalnya. Langit di atas gelap gulita, tanda hujan sebentar
lagi akan turun.
Egois
Warung
es di tepi kali itu sudah sejak lama berdiri. Mungkin separuh umur saya.
Siang itu ada empat orang sedang bercakap-cakap. Tiga orang pemilik warung
dan seorang teman dekat mereka yang sedang berkunjung. Sedang saya dan
seorang teman menjadi pembelinya, menyeruput setiap sendok es berwarna merah
muda itu dengan lahap.
Tak
lama setelah saya duduk, tamu pemilik warung pamit untuk pulang. "Mesti
jemput anakku," katanya. Baru saja wanita tua itu meninggalkan tempat,
dan hilang di belokan, salah satu pemilik warung mulai bercerita tentang
wanita tua itu. Saya sebagai pembeli yang memiliki kuping seperti penyadap
menyimak dengan baik sambil menyeruput es yang nyaris kandas.
Dalam
hati saya tertawa geli. Saya itu punya kebiasaan yang sama, kalau teman atau
klien atau siapa saja baru meninggalkan tempat pertemuan, saya bisa langsung
membicarakan mereka. Ya kebaikannya, tanpa melupakan keburukannya yang lebih
mak nyus untuk menjadi bahan obrolan.
"Kasihan
dia," kata salah satu wanita pemilik warung berambut pendek dengan
mulutnya yang bawel dan air mukanya yang kelihatan galak. "Lama menikah
ndak punya anak terus dikirim ke Eropa. Pulang dari sana punya anak dua.
Setelah ada anak, suaminya minta cerai. Kasihan mesti besarin anak-anaknya
sendiri sampai sekarang."
"Suami,
kok, ya egois banget. Waktu belum punya anak ndak dicerai, setelah punya anak
ya begitu," jelasnya dengan suara yang keras sehingga warung kecil itu
hanya dipenuhi dengan ceritanya.
Mendengar
sebuah kata egois, saya seperti tersengat listrik. Sisa cerita wanita itu
sudah tak bisa menarik hati saya lagi. Kata egois itu sungguh kuat terdengar,
mungkin seperti tiupan angin kencang yang mampu membengkokkan petai cina
sampai menyentuh bibir sungai.
Lucunya,
satu hari sebelum peristiwa di warung itu, saya dikatakan egois secara tidak
langsung oleh teman saya gara-gara saya mengirim pesan kepadanya untuk
menanyakan nomor telepon teman kami yang tinggal di Surabaya. "Elo tu
cuma kirim pesan kalau ada perlunya aja." Setelah percakapan dalam pesan
itu, ia tetap tak memberikan nomer telepon yang saya minta.
Kelaparan
Sejujurnya
saya memang egois, sungguh saya menyadari itu. Jadi, saya tak tersinggung
mendapat jawaban seperti itu dan tak mendapatkan nomor telepon yang saya
inginkan, padahal saya sedang sangat membutuhkan nomor telepon teman di
Surabaya itu.
Saya
belum pernah berkunjung untuk melakukan pemeriksaan jiwa, untuk mengetahui
atau mencari akar mengapa saya, kok, bisa menjadi manusia yang hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri. Kalau batuk atau jantung berdetak lebih
kencang dari semestinya, saya langsung ke dokter. Saya ingin tahu apa
penyebabnya.
Tetapi
untuk urusan jiwa, saya tak pernah terpikir untuk melakukan tindakan yang
sama. Padahal, egois itu sudah bertahun lamanya bercokol. Yaa. seyogianya
saya memeriksakan mengapa sampai terjadi, bukan? La wong kalau batuk saja
langsung diobati karena cukup mengganggu.
"Kamu
berobat untuk batukmu karena itu sudah mengganggu dirimu. Kalau egoismu itu
kenapa gak diobati, karena itu tidak mengganggu dirimu, dan nggak kepikiran
kalau itu mengganggu orang lain. Memang dasar egois," demikian
saudara-saudari suara nurani yang tiba-tiba menikam.
Maka,
sebelum saya memeriksakan kesehatan jiwa, saya memeriksa diri sendiri. Saya
melihat kembali pada bagaimana kondisi keluarga saya di masa kecil dahulu.
Kami bukan datang dari keluarga yang mapan. Sejak awal ayah berjuang untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Mungkin saya merasa, sebagai anak, saya
kekurangan dibandingkan teman-teman saya yang keluarganya sungguh kaya raya.
Saya
kelaparan finansial, kemudian timbul iri hati sebagai bentuk sebuah kelaparan
emosional. Mau menyalahkan orangtua, kok jadi orangtua miskin, tentunya tidak
bisa. Mau menyalahkan kehidupan yang katanya adil, tetapi bisa tidak adil,
makin tidak bisa. Sehingga sekarang kalau saya egois, itu karena memenuhi
rasa lapar yang bertahun lamanya itu, yang tak saya sadari telah membuat saya
malnutrisi.
Karena
saya kelaparan, maka saya harus berhemat. Sehingga persediaan tidak habis
kalau dibagi. Maka penghematan itu saya lakukan sampai sekarang. Kebiasaan
menghemat yang kemudian menjadikan saya sebuah pribadi yang oleh orang lain
diberi predikat egois. Karena orang seperti saya ini tak akan pernah merasa
egois, karena berpikir bahwa tidak berbagi itu menyelamatkan hidup saya. Saya
harus memikirkan diri saya dahulu, sebelum saya kelaparan lagi.
Mumpung
hari Minggu, semoga Anda tidak terlalu sibuk, cobalah periksa kesehatan Anda.
Apakah Anda malnutrisi sejak dahulu seperti saya atau malah kelebihan
sehingga predikat yang saya dapati juga Anda miliki. Semoga setelah pemeriksaan
diri sendiri, Anda dan saya memiliki hidup yang baru. Berani memberi dan tak
takut kelaparan lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar