Mengembalikan Narapidana ke Masyarakat
Muhammad Farid ; Fellow
pada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
28 April 2016
LEMBAGA pemasyarakatan (LP)
kembali menjadi pemberitaan setelah terjadi kerusuhan di LP Narkoba Kelas II
A Banceuy, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 23 April 2016. Dalam kerusuhan
itu para penghuni LP membakar LP Banceuy dan mengakibatkan kerugian
sedikitnya Rp6 miliar. Selain itu, kerusuhan tersebut mengakibatkan 21
penghuni LP dan empat polisi terluka. Peristiwa itu dipicu tewasnya seorang
narapidana (napi) akibat bunuh diri. Akan tetapi, tersebar isu di
tengah-tengah penghuni Lp lainnya bahwa ia tewas akibat perlakuan tidak wajar
dari sipir.
Kasus yang terjadi di LP Banceuy
itu merupakan kerusuhan keenam di LP sejak 2016 di Tanah Air. Kerusuhan-kerusuhan
sebelumnya terjadi di LP Muara Bulian (Jambi), Rajabasa (Lampung), Malabero
(Bengkulu), Tewaan (Sulawesi Tenggara), dan Kerobokan (Bali). Berbagai
kerusuhan itu dipicu berbagai hal, antara lain kondisi LP yang penuh,
perkelahian sesama penghuni LP, dan penolakan penghuni LP terhadap individu,
juga perlakuan aparat. Pada kasus di LP Banceuy, Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly mengatakan kerusuhan itu terkait dengan tekanan psikologis yang
didapat para napi karena tidak mendapatkan remisi (Media Indonesia, 24 April 2016).
Terlepas dari pemicunya yang
beragam, berbagai kerusuhan yang terjadi di beberapa LP itu setidaknya memicu
pertanyaan sejauh mana LP menjalankan fungsi untuk membina para napi agar
dapat hidup dengan wajar di tengah masyarakat setelah menjalani masa hukuman.
Selain itu, muncul pula pertanyaan tentang beban apa yang akan ditanggung
negara dan masyarakat apabila LP belum berhasil membina napi untuk
mempersiapkan diri kembali ke masyarakat.
Pada hakikatnya, lembaga
pemasyarakatan atau LP merupakan bagian dari sistem 'pemasyarakatan' yang
sangat berbeda dengan sistem 'kepenjaraan'. Dalam hal ini, seorang narapidana
atau seorang yang sedang menjalani hukuman pada hakikatnya merupakan seorang
'warga binaan pemasyarakatan'. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan adalah insan dan sumber
daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu
pembinaan yang terpadu.
Selanjutnya, UU itu mengatur bahwa
sistem pemasyarakatan saat ini bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pemahaman itu, secara
filosofis sistem pemasyarakatan jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan yang
menekankan pada prinsip pembalasan dan penjeraan. UU No 12 Tahun 1995 bahkan
menyebutkan bahwa sistem kepenjaraan yang berlaku sebelumnya di Indonesia
tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pada sisi yang berbeda, sistem
pemasyarakatan menekankan prinsip reintegrasi sosial yang memandang bahwa
kejahatan merupakan konflik antara masyarakat dan terpidana. Dengan demikian,
pemidanaan diarahkan sebagai sarana untuk menyatukan kembali terpidana dengan
masyarakat.
Lebih jauh lagi, sistem
pemasyarakatan ternyata tidak sekadar menekankan reintegrasi sosial, tetapi
juga bertujuan agar para narapidana (napi) menjadi insan yang berguna dan
produktif bagi pembangunan setelah keluar dari LP. Pada tataran tertentu,
para mantan napi yang mampu berintegrasi kembali dengan masyarakat dan
menjadi individu-individu yang produktif akan sangat berperan dalam
memperkuat ketahanan nasional.
Secara filosofis, reintegrasi
sosial antara para mantan napi dan masyarakat merupakan faktor yang sangat
esensial dalam mendukung keamanan masyarakat. Dalam hal ini, kondisi dan rasa
aman yang ada di masyarakat merupakan modal penting untuk melaksanakan pembangunan.
Modal itu akan semakin kuat jika didukung individu-individu, termasuk para
mantan napi yang produktif. Pada gilirannya, pembangunan nasional yang
dilaksanakan dalam suasana keamanan yang kondusif akan mendorong
kesejahteraan masyarakat. Kedua hal itu, yakni keamanan dan kesejahteraan,
merupakan tolok ukur dari kondisi ketahanan nasional.
Meski demikian, rentetan kerusuhan
yang terjadi di LP akhir-akhir ini paling tidak menunjukkan bahwa LP belum
dapat berfungsi sesuai dengan prinsip sistem pemasyarakatan itu sendiri. Salah
satunya terlihat dari hunian LP yang sudah melebihi daya tampung. Menurut
situs Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM), hingga
September 2015 persentase hunian LP dan rumah tahanan (rutan) mencapai 146%. Artinya,
penghuni LP dan rutan di seluruh Indonesia mencapai 173.172 orang, padahal
kapasitasnya hanya untuk 118.950 penghuni.
Kendala lain yang juga berkaitan
dengan kelebihan kapasitas LP dan rutan ialah rasio antara sipir dan penghuni
LP yang belum seimbang.
Idealnya seorang sipir mengawasi
20 penghuni LP, tetapi saat ini satu sipir bertugas mengawasi 55 orang. Selain
itu, kendala yang tidak kalah menonjol sangat terkait dengan kapasitas dan
integritas dari para petugas LP atau sipir itu sendiri. Sebagai contoh, pada
2015 terdapat 21 sipir yang dijatuhi hukuman berat karena terlibat bisnis
narkoba dari dalam LP (Kompas, 29 Januari 2016).
Ketiga kendala tersebut telah
melemahkan tujuan dari pembentukan sistem pemasyarakatan di Tanah Air
sehingga reintegrasi dengan masyarakat tidak terwujud, dan bahkan membuat
sang narapidana mengulangi kembali kejahatan setelah keluar dari LP.
Masih segar di ingatan kita bahwa
salah seorang pelaku aksi teror di Jakarta pada Januari 2016 lalu ternyata
pernah mendekam di LP Cipinang selama tujuh tahun karena terlibat pelatihan
teroris. Selain itu, media massa pun kerap memberitakan terbongkarnya jaringan
peredaran narkoba yang justru dilakukan dari dalam LP.
Dengan demikian, ketiga kendala yang dihadapi system pemasyarakatan
di Tanah Air saat ini perlu dicarikan pemecahannya. Salah satu solusi yang dapat
dipertimbangkan ialah penerapan kerja sosial sebagai alternatif untuk pidana
penjara untuk dimasukkan ke revisi KUHP. Dalam hal ini, misalnya, pelaku
tindak pidana ringan dengan pidana penjara enam bulan tidak perlu dipenjara
atau dimasukkan ke LP. Sebagai gantinya ia diwajibkan menjalani kerja sosial.
Di samping kerja sosial, sistem pemasyarakatan saat ini membutuhkan
penambahan tenaga sipir dengan kualitas SDM memadai dan integritas tinggi,
agar para napi mendapatkan pembinaan yang layak. Hal itu hanya dimungkinkan dilakukan
dalam suatu sistem pemasyarakatan yang dikawal sipir yang menyadari fungsi dan
tanggung jawabnya secara penuh.
Tidak kalah pentingnya ialah pembinaan dan pemantapan karakter
dan wawasan kebangsaan bagi para napi. Para napi perlu ditanami pemahaman bahwa
keberadaan mereka di dalam LP pada hakikatnya sedang menjalani pembinaan agar
dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat selepas menjalani hukuman, serta
siap untuk berperan dalam pembangunan nasional.
Pada hakikatnya, pembinaan karakter ini merupakan landasan
yang menopang program-program pembinaan lainnya di dalam LP, seperti pendidikan
keterampilan yang sudah ada. Tentu saja, pelatihan keterampilan di dalam LP sudah
selayaknya menjadi program pelatihan yang efektif untuk mempersiapkan para
napi produktif setelah keluar dari LP. Bila perlu, pelatihan keterampilan ini
merupakan program besertifikat.
Seperti contoh, para napi di sebuah penjara di Wales, Britania
Raya, dipekerjakan di restoran yang berada di dekat penjara itu sejak pagi
hingga sore, selain mendapat pelatihan keterampilan besertifikat dalam
industri katering. Dalam konteks di Tanah Air, pelatihan keterampilan
besertifi kat bagi para napi seperti ini dapat mendukung pembangunan di daerah
yang berbasis pengembangan potensi lokal.
Secara garis besar, ‘pembinaan’ ialah esensi dan kata
kunci dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Napi yang menyadari posisinya
dalam sistem pemasyarakatan akan lebih siap berintegrasi kembali dengan masyarakat.
Sebaliknya, mengabaikan pembinaan terhadap para napi sebenarnya telah menyia-nyiakan
potensi besar bagi pembangunan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar