Peta Baru Jagat Media
Agus Sudibyo ; Ketua
Program Studi Komunikasi Massa
Akademi Televisi Indonesia,
Jakarta
|
KOMPAS, 28 April
2016
Studi ekonomi-politik media hari
ini harus memperhitungkan keberadaan raksasa-raksasa global teknologi informasi,
seperti Google, Yahoo, Facebook, dan Microsoft. Merekalah yang mengambil
keuntungan paling besar dari proses evolusi ekologi media dewasa ini, di mana
masyarakat semakin bergantung pada mode komunikasi yang berbasis pada
perantaraan medium internet dan perangkat telepon pintar. Penetrasi bisnis mereka telah melampai
batas-batas geografis dan secara cepat mengubah konstelasi media secara
global.
Sebagai gambaran, kita dapat
menyimak data ZenithOptimedia berikut ini.
Tren iklan media digital mengalami pertumbuhan pesat lima tahun
terakhir. Dari total belanja iklan global 548 miliar dollar AS tahun 2015,
porsi iklan media digital mencapai 29 persen, melampaui porsi belanja iklan
media cetak sebesar 12,8 persen. Belanja iklan televisi tetap dominan dengan
porsi 37,7 persen. Namun, ZenitOptimedia memperkirakan, belanja iklan media
digital melampaui belanja iklan media
televisi tahun 2019.
Dari belanja iklan media digital
sebesar 159 miliar dollar AS pada 2015, 65 persen dikuasai segelintir
korporasi global penyedia layanan mesin pencari (search engine) atau aplikasi
media sosial, seperti disebut di atas.
Dalam lima tahun terakhir, Google selalu mendominasi perolehan belanja
iklan digital, dengan porsi antara 39-44 persen. Bagaimana dengan belanja iklan
media jurnalistik online alias daring? Secara komparatif masih belum
signifikan sehingga belum diperhitungkan secara global.
Tak pelak lagi, masa depan media
massa konvensional ditentukan oleh inovasi dan manuver raksasa-raksasa global itu. Sebagai contoh,
kita bisa melihat bagaimana praktik bisnis web search engine, seperti Google
dan Yahoo turut mengubah nasib media jurnalisme. Dengan kapasitas data dasar
dan algoritma yang mereka miliki, web search engine mampu mengagregasi dan
menyajikan konten jurnalistik dari semua media sejauh terhubung melalui
jaringan internet. Proses agregasi ini terjadi secara otomatis, tanpa
perjanjian apa pun dengan si pemilik konten.
Muncul persoalan etika dan hukum
di sini. Web search engine memperoleh pendapatan iklan dari persebaran
informasi yang sebagian besar tidak mereka produksi sendiri, tetapi mereka
himpun dari sumber lain. Perseteruan pun terjadi antara web search engine dan
pengelola media jurnalistik di berbagai negara: Perancis, Inggris, Kanada,
Spanyol, Belgia, Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan Tiongkok.
Pada 2013, Google membayar ganti
rugi 60 juta euro selama tiga tahun kepada beberapa media Perancis untuk
menghindari gugatan hak cipta. Agustus 2013, Parlemen Jerman mengesahkan
regulasi tentang hak cipta media pers (Ancillary
copyright for news publishers).
Regulasi ini mewajibkan agregator berita dan web search engine membayar royalti atas
konten berita yang mereka agregasi dari media konvensional. Regulasi serupa
juga diterapkan di Spanyol sejak awal 2016. Beberapa pihak menolak regulasi
ini, misalnya, pengelola portal berita yang justru merasa terbantu oleh web
search engine. Kontroversi pun tak bisa dihindari.
Hubungan
yang setara
Hubungan media jurnalistik dengan web search engine ibarat hubungan
"benci tapi rindu". Nikos Smyrnaios dalam tulisan berjudul "Journalism facing the Internet
oligopoly: Google, Facebook and news infomediation" (2015)
menyebutnya coopetision: kooperasi sekaligus kompetisi. Penyebarluasan konten
jurnalistik melalui web search engine memungkinkan media jurnalistik untuk
mendapatkan indeks atau traffic. Sebaliknya web search engine bergantung pada
produktivitas media jurnalistik dalam menghasilkan berita setiap hari. Namun kedua pihak sebenarnya institusi bisnis
yang bersaing untuk meraih iklan dan popularitas. Persaingan yang lebih
banyak dimenangi web search engine.
Masalah berikutnya adalah pajak.
Negara Eropa, seperti Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman, dan Italia
belakangan sedang getol mempersoalkan praktik penggelapan pajak lintas benua,
terutama sekali yang diduga dilakukan Google.
Sekadar ilustrasi, transaksi iklan
Google di London tidak dapat dikenakan pajak Inggris (25 persen) karena hak
paten aplikasi iklan dimiliki sebuah perusahaan di Irlandia. Pajak Irlandia
(12,5 persen) tak dapat diterapkan karena perusahaan itu harus membayar
royalti kepada perusahaan lain di Belanda. Perusahaan Belanda ini lalu
membayarkan royalti ke perusahaan Irlandia lain lagi tanpa pajak menurut
peraturan Uni Eropa. Perusahaan Irlandia terakhir ini juga bebas dari pajak
karena dikontrol oleh wajib pajak di Bermuda. Istilah Double Irish With a Dutch Sandwich populer digunakan untuk
mengolok-olok praktik semacam ini.
Isu pajak ini terkait erat dengan
isu iklim persaingan usaha yang timpang. Tanpa adanya kepastian skema pajak, web search engine dapat
menerapkan harga iklan yang murah atau meraih pendapatan iklan lebih besar.
Sementara media konvensional tetap terbebani berbagai pajak dan biaya
produksi yang besar. Web search engine
jelas lebih efisien karena mereka umumnya tidak memproduksi informasi sendiri
dan hanya mengagregasi informasi dari sumber lain.
Dengan peta baru seperti ini,
beberapa isu strategis perlu dipikirkan komunitas media. Pertama, untuk
mendorong terciptanya iklim bisnis media yang sehat, rencana pemerintah
meminta Google dan lain-lain menjadi wajib pajak di Indonesia sesungguhnya
patut disambut. Rencana ini turut menentukan nasib media massa di Indonesia
ke depan, sejauh pemerintah telah mengantisipasi benar praktik pengalihan
pajak, seperti dijelaskan di atas. Komunitas pers perlu memberi perhatian
lebih pada persoalan ini.
Kedua, mengembangkan model
hubungan yang saling menguntungkan dengan web
search engine. Menolak keberadaan Google tidak realistis. Namun,
merumuskan hubungan yang setara masih dapat dilakukan. Kita dapat memulainya
dengan mengkaji regulasi tentang hak cipta media jurnalistik, seperti
diinisiasi negara-negara Eropa di atas. Apa yang dapat diambil dan
dikembangkan dari regulasi ini untuk konteks Indonesia? Perlu segera
dipikirkan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar