Sesat Pikir
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 24 April
2016
Coba
simak argumentasi (bahasa filsafatnya: silogisme) seperti ini, “Semua manusia
perlu makan, Sarlito perlu makan; jadi Sarlito adalah manusia.” Benar atau salah?
Salah! Mau buktinya? Mari kita ganti kata “manusia” misalnya dengan kata
“kuda nil”.
Jadi
argumentasinya berubah menjadi seperti ini, “Semua kuda nil perlu makan,
Sarlito perlu makan; jadi Sarlito adalah kuda nil.” Salah, kan?
Padahaltidakada yang salah dalam premis (alasan) yang dijadikan dasar
argumentasi. Manusia, kuda nil maupun Sarlito, semua perlu makan. Mengapa
dalam argumentasi pertama kesimpulannya benar, tetapi dalam argumentasi kedua
kesimpulannya bisa salah?
Ini
yangdalamfilsafat logikadisebut “sesat pikir”, yaitu kesalahan dalam membuat
keputusan. Penjelasan dari sesat pikir dalam contoh di atas lumayan rumit dan
membutuhkan satu mata kuliah senilai 3 SKS. Pasalnya sesat pikir yang satu
ini disebabkan pelanggaran salah satu dari delapan hukum silogisme yang
memang tidak mudah untuk dijelaskan sampai orang mengerti. Tapi sesat pikir
tidak harus karena pelanggaran hukum silogisme, melainkan bisa juga karena
premis yang salah.
Contohnya,
“Semua yang hidup di laut adalah ikan, paus hidup di laut; jadi paus adalah
ikan.” Betul? Salah lagi! Tapi kali ini kesalahan terletak pada premisnya,
yaitu bahwa tidak semua yang hidup di laut adalah ikan. Selain ikan yang
bernapas dengan insang, banyak hewan lain yang juga hidup di laut, termasuk
mamalia yang bernapas dengan paru-paru. Paus bernapas denganparu-paru,
jadi dia termasuk mamalia, bukan ikan.
Tapi
orang awam tetap menyebutnya “ikan” paus. Demikian juga dengan ikan
lumba-lumba yang sebetulnya mamalia (segolongan dengan Sarlito dan kuda nil),
tetapi tidak ada hubungannya dengan ikan (seperti tuna, bandeng, gurami atau
salmon). Untuk mengatasi sesat pikir karena kesalahan informasi ini,
diperlukan ilmu pengetahuan.
Hanya
ilmu pengetahuan yang bisa membedakan antara ikan dan mamalia karena ilmu
pengetahuan tidak berhenti pada apa yang teramati saja, melainkan mencari
tahu sampai tuntas segala hal yang ada di balik yang teramati. Walau begitu
sampai hari ini masih saja lebih banyak yang percaya bahwa paus itu ikan,
bukan mamalia.
Namun
lebih dahsyat lagi adalah apa yang disebut teori Dunia Datar (Flat Earth
theory) yang dikemukakan seorang rohaniwan Yunani bernama Cosmas, pada abad
keenam, yang berargumentasi bahwa dunia ini rata seperti nampan yang terbang
di langit yang dikelilingi lautan dan Yerusalem sebagai pusatnya dengan
matahari yang mengelilingi bumi.
Teori
ini kemudian dijadikan ajaran dalam agama Kristen dengan sebutan Peta Dunia
Kristen (Christian Topography) dan dipercaya umat selama berabad-abad. Namun
pada abad ke-16 ada seorang rohaniwan bernama Copernicus yang mengajukan
teori Heliosentris, yaitu bumilah yang mengitari matahari, bukan sebaliknya.
Sayang
Copernicus wafat pada waktu bukunya dipublikasikan, tetapi penelitiannya
dilanjutkan oleh rohaniwan abad ke-16 bernama Galileo Galilei yang
menyatakan bumi ini bulat dan mengelilingi matahari. Sebagai dampaknya,
Galileo dikucilkan dari gereja dan baru direhabilitasi namanya setelah (kalau
saya tidak salah) 300 tahun. Jadi penguasa pun bisa menjadi sumber sesat
pikir, bahkan untuk membela pikirannya yang sesaat itu, penguasa bisa
menggunakan kekuasaannya.
Dalam
salah satu salat Jumat, kebetulan saya mendengarkan khatib yang mengemukakan
“teori” bahwa toilet laki-laki yang biasa ada di toilet-toilet umum (yang
digunakan dengan cara berdiri) adalah ciptaan orang Yahudi. Alasannya, kata
beliau, toilet seperti itu pasti menyebabkan pipis kita (semua yang salat
Jumat laki-laki) bisa muncrat ke kanan-kiri dan mengotori celana kita
sehingga kita tidak suci dalam bersalat, akibatnya kita semua tidak ada yang
bisa masuk surga.
Itulah
memang tujuan Yahudi, yaitu mencegah muslim masuk surga (selanjutnya dia
kutip ayat tentang Yahudi dan Kristen yang senantiasa ingin melihat hancurnya
Islam). Jadi yang benar, kata beliau, adalah kalau kita menggunakan toilet
duduk atau jongkok seperti toilet yang digunakan para perempuan.
Tentu
saja khatib yang satu ini tidak mewakili khatib-khatib lain pada umumnya. Bisa
juga dia agen toilet yang rangkap pekerjaan sebagai khatib. Tapi yang
berbahaya adalah jika kata-katanya itu dipercaya orang (padahal orang
Indonesia cepat percaya). Padahal kalau kita mau kritis sedikit saja,
pendapat khatib itu gampang untuk dipatahkan.
Misalnya,
siapa nama Yahudi pencipta toilet itu? Yang namanya mencipta harus oleh
seorang, tidak bisa oleh seluruh bangsa. Kalaupun sudah diketahui siapa
Yahudi pencipta toilet, tidak otomatis bisa digeneralisasi ke semua Yahudi.
Einstein juga Yahudi, tetapi temuannya di bidang ilmu fisika telah membawa
kemaslahatan buat seluruh umat, termasuk yang muslim. Jadi, yang penting itu
adalah berpikir kritis sehingga kita tidak sesat pikir.
Masalahnya,
sekarang ini di media massa maupun media sosial, banyak sekali orang yang
ngomong-nya asal saja, salah, sesat pikir, bahkan sengaja menyesatkan pikiran
orang lain. Termasuk para pakar, profesor, mantan menteri, bahkan juga
menteri yang masih aktif dan seterusnya. Acara-acara dialog interaktif di TV
dan radio diisi oleh orang-orang awam, yang ikut berpendapat, padahal tidak
punya data sama sekali.
WA
dan/atau SMS dipenuhi dengan hoax yang langsung disebarluaskan tanpa mengecek
kesahihannya dulu. Kalau orang Indonesia tidak mau belajar kritis, sesat
pikir akan merajalela dan semua orang kebingungan karena tidak ada lagi yang
bisa dipercaya. Akibatnya adalah masyarakat yang chaos, yang menurut sosiolog Merton disebut sebagai masyarakat
anomie. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar