Selasa, 26 April 2016

Ideologi Pelayanan Publik

Ideologi Pelayanan Publik

Ahmad Suaedy  ;   Anggota Ombudsman RI;  Pemerhati Islam Asia Tenggara
                                                        KOMPAS, 25 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gerakan sosial partisan (Suaedy, 2014) tampaknya menjadi salah satu ciri penting arah baru demokratisasi di Indonesia. Gerakan sosial partisan (GSP) adalah suatu gerakan yang mengagendakan perubahan drastis dan substansial suatu pemerintahan dengan mengikuti proses dalam sistem demokrasi yang eksisting-bukan revolusi atau penggulingan suatu pemerintahan yang sedang berjalan-melalui pemilu, tetapi tidak masuk secara langsung jadi aktor politik itu sendiri. Caranya dengan mendorong calon-bukan pemimpin gerakan itu sendiri, bahkan bukan jadi bagian darinya-yang dianggap mampu membawa agenda-agenda yang dicanangkannya. Relawan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada Jakarta 2012 dan relawan pasangan Jokowi-Kalla dalam Pilpres 2014 menunjukkan itu. Relawan "Teman Ahok" tampaknya hendak mengulang gerakan tersebut.

Mereka mengikuti proses pencalonan melalui persyaratan sesuai UU pemilu/pilkada. Fenomena ini merupakan kritik terhadap gerakan sosial nonpartisan yang cenderung tak mampu mengendalikan pemerintahan yang terlahir untuk perubahan sesuai agenda semula, seperti gerakan 1998, karena tak memiliki calon pemimpin tertentu untuk mengawal perubahan. GSP juga merupakan kritik terhadap kinerja partai politik yang cenderung mengedepankan agendanya sendiri ketimbang pelayanan kepada aspirasi rakyat pada umumnya.

Perubahan politik

Banyak perubahan politik relatif drastis dalam demokrasi di beberapa negara belakangan ini, tetapi hanya sedikit yang menunjukkan fenomena gerakan sosial partisan tersebut. Naik drastisnya perolehan kursi kelompok yang menamakan diri Aliansi Rakyat pimpinan Anwar Ibrahim di Malaysia pada Pemilu 2008, dari satu kursi di parlemen nasional jadi sekitar 30 persen lebih dengan menguasai lima negara bagian dari hanya satu sebelumnya, jadi contoh menarik. Demikian juga kemenangan Aung San Suu Kyi di Myanmar beberapa waktu lalu. Baik di Malaysia maupun di Myanmar, peran partai politik sebagai oposisi biner terkuat partai pemerintah lebih menonjol ketimbang GSP. Yingluck Shinawatra pada Pemilu Thailand 2011 mungkin suatu kombinasi yang kuat antara GSP dengan kekuatan oposisi biner atas partai penguasa.

Peran gerakan sosial partisan dan perubahan seperti itu mungkin baru terjadi sebelumnya pada gerakan anti George Bush Jr, yang membawa kemenangan Barack Obama menjadi presiden kulit hitam pertama pada Pemilu 2008 di AS. Meski Obama secara resmi dicalonkan Partai Demokrat, tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa andil relawan Obama lebih besar daripada partai pengusung itu sendiri dalam memenangkannya. Menyerupai model ketiga gerakan sosial yang disebut di atas, yaitu Pilkada Jakarta 2012, Pilpres 2014, dan Pilpres 2008 di AS, tampaknya itu terjadi pada relawan "Teman Ahok". Tulisan ini hendak mencoba memahami fenomena relawan "Teman Ahok" dalam konteks fenomena GSP.

Fenomena GSP itu biasanya terjadi karena kejenuhan terhadap kebijakan politik status quo yang cenderung sentralistik, korup, dan KKN, yang terkungkung dalam suatu sistem demokrasi prosedural. Kebijakan politik semacam itu cenderung menutup kemungkinan naiknya seorang calon yang memiliki rekam jejak baik dan menjanjikan untuk tampil sebagai kompetitor dalam proses pemilu. Proses pencalonan dalam GSP, meskipun secara prosedural mengikuti aturan main dalam demokrasi yang ada, tetapi menghindari terjadinya politik uang dan ongkos politik yang besar. Mereka lebih berbasis pada kerelawanan.

Pemilu yang berbiaya tinggi setidaknya berasal dari pengeluaran untuk "membeli" rekomendasi partai pendukung, membayar konsultan politik, dan wuwur (membayar di depan) pemilih untuk datang ke tempat pemungutan suara. Pencitraan, suatu cara membangun opini publik yang positif dan simpatik terhadap calon meskipun kenyataannya berbeda, sering menjadi program utama dengan harga sangat mahal untuk konsultan politik. Tiga komponen utama pembiayaan itu, termasuk di dalamnya perjanjian dengan partai pengusung dalam pembagian proyek pembangunan, telah menyeret banyak kepala daerah terjerat dalam pusaran utang, uang maupun janji, kepada pemodal.

Pelayanan publik yang jadi tugas utama pemerintahan terhadap rakyat, tidak lagi jadi perhatian pokok, baik bagi sang calon, partai politik maupun konsultan politik dan bahkan bagi para pemilihnya. Ditambah dengan kesepakatan-kesepakatan di bawah tangan antara parpol pendukung dan calon, korupsi dan manipulasi pun terjadi secara permanen dalam setiap implementasi dan bahkan sejak perencanaan program pembangunan. Pelayanan publik pun jadi korban dalam sistem demokrasi yang jorok tersebut.

Sejauh yang bisa diamati dari kasus Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, rekam jejak calon dan janji sistematis tentang perbaikan pelayanan publik kemudian jadi daya tarik bagi bangkitnya para relawan dalam gerakan sosial partisan tersebut. Tanpa harus mengeluarkan biaya berlebihan, relawan mampu meyakinkan dan membangkitkan ketertarikan pemilih. Berbeda dengan gerakan sosial nonpartisan, GSP tidak berhenti perannya ketika memenangkan calon, tetapi justru itu baru mulai.

Pengawalan terhadap agenda-agenda utama perubahan dan program serta anti politik berbiaya tinggi, khusunya korupsi, adalah beberapa tugas yang tetap melekat bagi para relawan-meskipun tidak menutup mata kemungkinan ada saja yang aji mumpung. Perbaikan pelayanan publik yang dijanjikan jadi tugas para relawan untuk mengawalnya. Kegagalan melakukan pengawalan agenda yang dijanjikan, sebagaimana terjadi pada demokrasi lainnya, akan dihukum oleh pemilih lima tahun berikutnya.

Pada kenyataannya, GSP melalui calon yang diusungnya dengan janji perbaikan pelayanan publik mampu menepis kuatnya calon-calon lain yang mengusung sentimen agama dan sektarianisme lainnya. Hal itu terjadi baik pada kasus Obama maupun Jokowi-Ahok dan Jokowi-Kalla. Isu pelayanan publik juga tidak terbantahkan bagi terpilihnya kembali tanpa saingan berarti pada periode kedua beberapa petahana, seperti Jokowi di Solo, Risma di Surabaya, dan Nurdin Abdullah di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Pelajaran berharga

Beberapa kasus bangkitnya gerakan sosial partisan telah memberikan warna baru bagi kesadaran politik warga akan penting dan urgennya pelayanan publik. Hal ini dikuatkan penghargaan masyarakat terhadap petahana yang telah berprestasi dalam masa jabatan pertama dengan terpilih kembali pada masa jabatan kedua tanpa kampanye berlebihan.

Pelayanan publik, dengan demikian, bukan lagi hanya relasi teknis tugas pemerintah atas masyarakat. Sebaliknya, kini sepertinya telah menjadi semacam ideologi gerakan politik demokrasi masa depan.

Kuatnya sektarianisme agama dan etnis sekalipun, tampaknya akan menemui kesulitan untuk bisa melampaui kuatnya ideologi pelayanan publik ini. Relawan "Teman Ahok" seolah menjadikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai yang terbaik, meskipun sesungguhnya bukan tanpa kekurangan. Saya berharap segera lahir gerakan pesaing dengan tawaran perbaikan pelayanan pubik yang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar