Ideologi Pelayanan Publik
Ahmad Suaedy ; Anggota
Ombudsman RI; Pemerhati Islam Asia
Tenggara
|
KOMPAS, 25 April
2016
Gerakan
sosial partisan (Suaedy, 2014) tampaknya menjadi salah satu ciri penting arah
baru demokratisasi di Indonesia. Gerakan sosial partisan (GSP) adalah suatu
gerakan yang mengagendakan perubahan drastis dan substansial suatu
pemerintahan dengan mengikuti proses dalam sistem demokrasi yang
eksisting-bukan revolusi atau penggulingan suatu pemerintahan yang sedang
berjalan-melalui pemilu, tetapi tidak masuk secara langsung jadi aktor
politik itu sendiri. Caranya dengan mendorong calon-bukan pemimpin gerakan
itu sendiri, bahkan bukan jadi bagian darinya-yang dianggap mampu membawa
agenda-agenda yang dicanangkannya. Relawan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada
Jakarta 2012 dan relawan pasangan Jokowi-Kalla dalam Pilpres 2014 menunjukkan
itu. Relawan "Teman Ahok" tampaknya hendak mengulang gerakan
tersebut.
Mereka
mengikuti proses pencalonan melalui persyaratan sesuai UU pemilu/pilkada.
Fenomena ini merupakan kritik terhadap gerakan sosial nonpartisan yang
cenderung tak mampu mengendalikan pemerintahan yang terlahir untuk perubahan
sesuai agenda semula, seperti gerakan 1998, karena tak memiliki calon
pemimpin tertentu untuk mengawal perubahan. GSP juga merupakan kritik
terhadap kinerja partai politik yang cenderung mengedepankan agendanya
sendiri ketimbang pelayanan kepada aspirasi rakyat pada umumnya.
Perubahan politik
Banyak
perubahan politik relatif drastis dalam demokrasi di beberapa negara
belakangan ini, tetapi hanya sedikit yang menunjukkan fenomena gerakan sosial
partisan tersebut. Naik drastisnya perolehan kursi kelompok yang menamakan
diri Aliansi Rakyat pimpinan Anwar Ibrahim di Malaysia pada Pemilu 2008, dari
satu kursi di parlemen nasional jadi sekitar 30 persen lebih dengan menguasai
lima negara bagian dari hanya satu sebelumnya, jadi contoh menarik. Demikian
juga kemenangan Aung San Suu Kyi di Myanmar beberapa waktu lalu. Baik di
Malaysia maupun di Myanmar, peran partai politik sebagai oposisi biner
terkuat partai pemerintah lebih menonjol ketimbang GSP. Yingluck Shinawatra
pada Pemilu Thailand 2011 mungkin suatu kombinasi yang kuat antara GSP dengan
kekuatan oposisi biner atas partai penguasa.
Peran
gerakan sosial partisan dan perubahan seperti itu mungkin baru terjadi
sebelumnya pada gerakan anti George Bush Jr, yang membawa kemenangan Barack
Obama menjadi presiden kulit hitam pertama pada Pemilu 2008 di AS. Meski
Obama secara resmi dicalonkan Partai Demokrat, tetapi tidak bisa dimungkiri
bahwa andil relawan Obama lebih besar daripada partai pengusung itu sendiri
dalam memenangkannya. Menyerupai model ketiga gerakan sosial yang disebut di
atas, yaitu Pilkada Jakarta 2012, Pilpres 2014, dan Pilpres 2008 di AS, tampaknya
itu terjadi pada relawan "Teman Ahok". Tulisan ini hendak mencoba
memahami fenomena relawan "Teman Ahok" dalam konteks fenomena GSP.
Fenomena
GSP itu biasanya terjadi karena kejenuhan terhadap kebijakan politik status
quo yang cenderung sentralistik, korup, dan KKN, yang terkungkung dalam suatu
sistem demokrasi prosedural. Kebijakan politik semacam itu cenderung menutup
kemungkinan naiknya seorang calon yang memiliki rekam jejak baik dan
menjanjikan untuk tampil sebagai kompetitor dalam proses pemilu. Proses
pencalonan dalam GSP, meskipun secara prosedural mengikuti aturan main dalam
demokrasi yang ada, tetapi menghindari terjadinya politik uang dan ongkos
politik yang besar. Mereka lebih berbasis pada kerelawanan.
Pemilu
yang berbiaya tinggi setidaknya berasal dari pengeluaran untuk
"membeli" rekomendasi partai pendukung, membayar konsultan politik,
dan wuwur (membayar di depan) pemilih untuk datang ke tempat pemungutan
suara. Pencitraan, suatu cara membangun opini publik yang positif dan simpatik
terhadap calon meskipun kenyataannya berbeda, sering menjadi program utama
dengan harga sangat mahal untuk konsultan politik. Tiga komponen utama
pembiayaan itu, termasuk di dalamnya perjanjian dengan partai pengusung dalam
pembagian proyek pembangunan, telah menyeret banyak kepala daerah terjerat
dalam pusaran utang, uang maupun janji, kepada pemodal.
Pelayanan
publik yang jadi tugas utama pemerintahan terhadap rakyat, tidak lagi jadi
perhatian pokok, baik bagi sang calon, partai politik maupun konsultan politik
dan bahkan bagi para pemilihnya. Ditambah dengan kesepakatan-kesepakatan di
bawah tangan antara parpol pendukung dan calon, korupsi dan manipulasi pun
terjadi secara permanen dalam setiap implementasi dan bahkan sejak
perencanaan program pembangunan. Pelayanan publik pun jadi korban dalam
sistem demokrasi yang jorok tersebut.
Sejauh
yang bisa diamati dari kasus Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, rekam
jejak calon dan janji sistematis tentang perbaikan pelayanan publik kemudian
jadi daya tarik bagi bangkitnya para relawan dalam gerakan sosial partisan
tersebut. Tanpa harus mengeluarkan biaya berlebihan, relawan mampu meyakinkan
dan membangkitkan ketertarikan pemilih. Berbeda dengan gerakan sosial
nonpartisan, GSP tidak berhenti perannya ketika memenangkan calon, tetapi
justru itu baru mulai.
Pengawalan
terhadap agenda-agenda utama perubahan dan program serta anti politik
berbiaya tinggi, khusunya korupsi, adalah beberapa tugas yang tetap melekat
bagi para relawan-meskipun tidak menutup mata kemungkinan ada saja yang aji
mumpung. Perbaikan pelayanan publik yang dijanjikan jadi tugas para relawan
untuk mengawalnya. Kegagalan melakukan pengawalan agenda yang dijanjikan,
sebagaimana terjadi pada demokrasi lainnya, akan dihukum oleh pemilih lima
tahun berikutnya.
Pada
kenyataannya, GSP melalui calon yang diusungnya dengan janji perbaikan
pelayanan publik mampu menepis kuatnya calon-calon lain yang mengusung
sentimen agama dan sektarianisme lainnya. Hal itu terjadi baik pada kasus
Obama maupun Jokowi-Ahok dan Jokowi-Kalla. Isu pelayanan publik juga tidak
terbantahkan bagi terpilihnya kembali tanpa saingan berarti pada periode
kedua beberapa petahana, seperti Jokowi di Solo, Risma di Surabaya, dan
Nurdin Abdullah di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Pelajaran berharga
Beberapa
kasus bangkitnya gerakan sosial partisan telah memberikan warna baru bagi
kesadaran politik warga akan penting dan urgennya pelayanan publik. Hal ini
dikuatkan penghargaan masyarakat terhadap petahana yang telah berprestasi
dalam masa jabatan pertama dengan terpilih kembali pada masa jabatan kedua
tanpa kampanye berlebihan.
Pelayanan
publik, dengan demikian, bukan lagi hanya relasi teknis tugas pemerintah atas
masyarakat. Sebaliknya, kini sepertinya telah menjadi semacam ideologi gerakan
politik demokrasi masa depan.
Kuatnya
sektarianisme agama dan etnis sekalipun, tampaknya akan menemui kesulitan
untuk bisa melampaui kuatnya ideologi pelayanan publik ini. Relawan
"Teman Ahok" seolah menjadikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok sebagai yang terbaik, meskipun sesungguhnya bukan tanpa kekurangan. Saya
berharap segera lahir gerakan pesaing dengan tawaran perbaikan pelayanan
pubik yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar