Masih soal Hukum Reklamasi
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 16 April
2016
Berita
teranyar mengenai ribut-ribut reklamasi Teluk Jakarta, dua hari yang lalu DPR
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersepakat untuk menghentikan
reklamasi Teluk Jakarta.
Pada
hari yang sama DPRD Jakarta juga mengumumkan penghentian pembahasan atas
raperda yang akan dijadikan landasan atas izin reklamasi yang sudah
dikeluarkan Gubernur. Rabu pekan lalu, melalui acara kabar pagi di sebuah
stasiun televisi swasta saya juga menyarankan agar proyek tersebut dihentikan
dan diambil alih oleh KKP sesuai dengan kewenangan yang diberikan UU.
Alasan
perlunya penghentian proyek reklamasi tersebut karena banyak masalah hukum
yang harus dijernihkan lebih dulu. Melalui kolom berjudul ”Hukum Reklamasi”
di KORAN SINDO ini pada pekan lalu, saya sudah menulis salah satu problem
hukum yang serius dari proyek tersebut adalah dikeluarkannya izin sebelum ada
peraturan daerah (perda). Mengeluarkan izin (beschikking) yang mendahului
peraturannya (regeling) tidaklah dibenarkan menurut hukum.
Kalau
perda dibuat setelah adanya izin, tendensinya hanya akan membenarkan izin
yang telanjur dikeluarkan yang bisa membuka celah korupsi. Dan itu sudah
tampak terjadi dengan ditangkap tangannya anggota DPRD Jakarta Sanusi yang
diduga kuat menegosiasikan besarnya tambahan kontribusi pengembang yang akan
dimasukkan di dalam raperda. Problem hukum lain yang terkait dengan hal
tersebut adalah hubungan antara keputusan presiden (keppres) dan peraturan
presiden (perpres).
Ada
yang mengatakan bahwa pemberian izin kepada pengembang adalah sah didasarkan
pada Keppres No 52 Tahun1995. Pendapat inikurang tepat karena setelah
keluarnya keppres tersebut ada beberapa peraturan perundang-undangan yang
menyebabkan keppres tersebut tidak lagi berlaku.
Harus
diingat bahwa sebelum tahun 2004, berdasarkan Tap MPRS No XX/MPRS/1966,
keppres merupakan peraturan perundang-undangan yang derajatnya langsung
berada di bawah peraturan pemerintah (PP). Tapi sejak 2004 keppres bukan lagi
peraturan perundang- undangan. Kalau dulu keppres bisa menjadi peraturan
(regeling) sekaligus bisa menjadi keputusan (beschikking), sekarang keppres
bukan lagi regeling.
Berdasarkan
UU No 10 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa peraturan
perundang- undangan yang levelnya langsung di bawah PP adalah peraturan
presiden (perpres). Oleh sebab itu kedudukan keppres yang sifatnya mengatur
yangdikeluarkansebelumtahun 2004 adalah sama dengan perpres yang dikeluarkan
setelah tahun 2004 karena sama-sama langsung berada di bawah PP.
Oleh
karena kedudukan keppres sebelum tahun 2004 sama dengan perpres setelah tahun
2004, maka Keppres No 52 Tahun 1995 menjadi tidak berlaku setelah
dikeluarkannya Perpres No 54 Tahun 2008, apalagi kemudian disusul dengan
Perpres No 122 Tahun 2012 yang mengatur reklamasi dan tata ruang. Asas yang
berlaku dalam hubungan ini adalah asas lex posterior derogat legi prior,
peraturan yang datang belakangan menghapus peraturan yang sejajar yang telah
ada lebih dulu.
Berdasarkan
hal tersebut, setelah tahun 2004 tidak boleh lagi menggunakan Keppres No 52
Tahun 1995 untuk proyek-proyek reklamasi yang baru. Memang produk izin dan
pekerjaan proyek yang telah ada berdasar Keppres No 52 Tahun 1995 itu tidak
bisa dibatalkan, tetapi mengembangkan izin proyek baru tidak bisa lagi
menggunakan keppres tersebut.
Lebih
dari soal hubungan antara keppres dan perpres, izin reklamasi yang sekarang
diributkan dinilai bertentangan pula dengan peraturan yang lebih tinggi yang
juga datang kemudian seperti UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil.
Kantor
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa izin reklamasi Teluk
Jakarta bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009 karena tidak disertai amdal
yang layak dan atau izin dari lembaga yang ditentukan oleh UU tersebut. Jadi
distorsi hukum dalam izin reklamasi Teluk Jakarta sudah terjadi karena ada
izin dikeluarkan mendahului perdanya, ada distorsi pemberlakuan antara
keppres dan perpres, bahkan ada benturan antara izin yang dikeluarkan dengan
UU yang jelas-jelas berada di atasnya.
Kesepakatan
DPR dan KKP untuk menghentikan proyekproyek serta keputusan DPRD Jakarta
untuk menghentikan pembahasan raperda terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta
merupakan solusi yang tepat untuk saat ini. Keputusan ketiga lembaga tersebut
bisa dijadikan momentum oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok untuk membuat
keputusan baru tanpa kehilangan muka.
Ahok
bisa mengatakan, ”Karena lembagalembaga yang berwenang telah memutuskan
penghentian, izin reklamasi dinyatakan dibekukan atau dicabut.” Dengan
penghentian tersebut, mungkin saja akan timbul gugatan dari pengembang yang
sudah mendapat izin, tetapi pilihan menghentikan proyek reklamasi tetap jauh
lebih aman secara hukum daripada melanjutkannya, baik dari sudut hukum pidana
maupun dari sudut hukum administrasi negara.
Kemungkinan
adanya gugatan hukum dari para pengembang bisa lebih mudah dihadapi, apalagi
kita sudah mempunyai UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar