Prajurit Wanita TNI Kartini dengan Multiperan
Susi Arlian ; Brigjen TNI;
Asdep Koordinasi Hukum
Internasional Kemenko Polhukam RI
|
MEDIA INDONESIA,
21 April 2016
"BUKAN
mawar penghias taman, melainkan melati pagar bangsa....”
Peran seorang prajurit wanita di dalam organisasi TNI berhasil
menyentuh aspek-aspek historis, kultur-budaya, sosial, dan politik yang
berlaku di dalam negara Indonesia. Keberadaan wanita di dalam institusi
militer di Indonesia menunjukkan wujud apresiasi sosial dan pengakuan publik
atas peran wanita, khususnya korps wanita TNI dalam setiap strata dan jenis
pekerjaan yang ada di Republik ini.
Wanita Indonesia berhasil meraih kesetaraan gender atas upaya
dan jerih payah generasi perempuan yang ada saat ini ataupun para pendahulunya
yang mendirikan organisasi-organisasi kewanitaan di dalam kemajemukan
lingkungan masyarakat Indonesia. Pengakuan atas kesetaraan gender wanita
Indonesia diraih melalui perjuangan dan harus senantiasa ditunjukkan dalam
bentuk peran aktif setiap perempuan mulai lingkungan terkecil keluarga sampai
lingkup nasional-internasional dalam bentuk peran sosial politik.
Landasan historis peran wanita Indonesia diawali oleh Raden
Adjeng Kartini. Inisiatif dan pemikirannya pada era itu menunjukkan bahwa
wanita di Indonesia mampu setara dengan kaum laki-laki. Keinginan untuk lepas
dari belenggu adat istiadat Jawa serta kebebasan untuk bersekolah merupakan
sebagian kecil dari gambaran penderitaan seluruh wanita pribumi yang RA Kartini
perjuangkan. Kondisi yang dialaminya hanyalah sekelumit contoh dari
permasalahan sosial yang berlaku di pelosok Nusantara pada zaman itu, yang
disebabkan sistem sosial patriarki.
Kegemaran membaca dan korespondensi Kartini memberikan wawasan
dan pengetahuan yang luas tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa. Melalui
tukar pikiran dan pendapat dengan para sahabat penanya di Belanda, Kartini
menyadari rendahnya status sosial dan martabat perempuan bumiputra. Usaha
Kartini untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia baru membuahkan hasil
ketika usaha mendirikan sekolah wanita mendapat izin dari sang suami, KRM
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang pada 1903.
Namun, kodrat Kartini sebagai wanita jugalah yang menghambat
cita-cita mulianya. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, rutinitas
korespondensi Kartini berkurang karena kondisi hamil. Terbatasnya sarana
kesehatan bagi ibu hamil dan melahirkan membuatnya jatuh sakit dan berujung
dengan meninggalnya Kartini pada usia 25 tahun, setelah empat hari kelahiran
sang putra, Soesalit Djojoadhiningrat. Akan tetapi, sepeninggal Kartini,
semangat dan tulisan-tulisan Kartini justru semakin berkembang seiring
meluasnya sekolah-sekolah wanita yang didirikan oleh Yayasan Kartini melalui
Politik Etis (balas budi) keluarga Van Deventer.
Inspirasi Kartini dan kumpulan bukunya mendapatkan atensi masyarakat
Indonesia dan dunia sehingga mampu mengangkat martabat wanita untuk sejajar
dengan kaum pria di Indonesia. Semangat inilah yang diembuskan kepada
prajurit-prajurit wanita di militer Indonesia untuk dapat berperan dalam
organisasi yang didominasi oleh laki-laki dengan segenap aspek
maskulinitasnya.
Dengan gema emansipasi wanita dan kesetaraan gender yang
berkembang saat ini, keberadaan kaum perempuan di dunia militer mampu
memengaruhi kultur budaya umum masyarakat Indonesia. Pandangan bahwa wanita
harus mengikuti kodratnya untuk melakukan pekerjaan domestik mulai memudar. Mengandung,
melahirkan, menyusui, sampai dengan membesarkan anak merupakan pekerjaan
domestik yang secara budaya lama dilakukan sebagai ‘satu-satunya’ pekerjaan
seorang wanita dewasa. Hal itu semakin tertutup dengan arus globalisasi yang
menuntut setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, untuk memiliki pekerjaan
dan kehidupan yang layak demi kesejahteraan keluarganya.
Wanita Indonesia dengan kemampuan intelektualnya mampu untuk
bekerja dan berpenghasilan dalam segala bentuk lingkungan sosial maupun
pekerjaan, termasuk lingkungan kerja seekstrem militer sekalipun. Sama
seperti Kartini, prajurit-prajurit wanita tentunya tidak lepas dari kodratnya
sebagai ibu dan istri. Tekanan sosial cenderung menyudutkan wanita, terutama
yang memiliki karier dan pekerjaan yang layak, ketika terjadi permasalahan
dalam rumah tangganya. Kegagalan membina keharmonisan suami-istri ataupun
kesalahan dalam mendidik anak tidak pernah dibebankan secara sosial kepada
sang suami yang memang berpredikat sebagai pencari nafkah bagi keluarga.
Kentalnya kultur patrilineal ini diperkuat dengan dogma agama
serta warisan adat istiadat yang berlaku di sebagian besar wilayah Nusantara.
Hal ini menuntut para wanita TNI untuk senantiasa dapat menyeimbangkan
perannya sebagai prajurit, pendamping suami maupun ibu bagi generasi penerus
bangsa. Tidak hanya mampu bersaing dengan kaum pria di dalam TNI sendiri,
tetapi juga berperan sebagai istri dan ibu yang melaksanakan manajemen
keluarga sehingga mampu menepis tekanan sosial dari lingkungan di sekitarnya.
Dari kondisi sosial budaya ini, tentunya kesetaraan gender yang
ingin diraih oleh wanita TNI tidak serta-merta diperoleh dari reputasi
senior, rekomendasi atasan, maupun latar belakang pendahulunya, tetapi
berdasarkan kerja keras dan karya nyata yang dimulai dari lingkungan
keluarga, masyarakat, ataupun lingkungan profesinya.
Untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi publik secara luas,
peran wanita TNI tidak terhenti pada lingkup institusi militer. Terdapat 13
kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian (K/LPNK) yang dapat menjadi
kelanjutan karier bagi Korps Wanita TNI di level pemerintahan pusat. Jabatan
strategis pada tataran instansi pemerintah tersebut tidak lepas dari arus
percaturan politik yang senantiasa dapat berdampak pada copotnya jabatan
ketika tidak memenuhi kompetensi yang digariskan.
Demikian pula dengan pengisian jabatan tinggi pada level
tersebut, yang menuntut kualifikasi, pendidikan, rekam jejak, dan integritas
individu yang dapat dipertanggungjawabkan. Penempatan sembilan wanita TNI
sebagai perwira tinggi pada level K/LPNK membuktikan bahwa peran Korps Wanita
TNI telah mendapatkan pengakuan secara politis pada tingkat nasional. Ekspektasi
terhadap aspek intelektualitas, profesionalitas, dan karakter prajurit wanita
pada tataran politik seperti ini tidak akan membedakan latar belakang
pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya, termasuk jenis kelamin. Semuanya
diperlakukan sama.
Di sinilah wanita Indonesia harus memahami pengertian kesetaraan
gender. Kondisi perlakuan yang sama antara pria dan wanita di mata hukum
serta kualitas hidup hanyalah lapisan luar dari arti besar kesetaraan gender.
Itu karena di dalamnya juga terdapat sejarah perjuangan yang panjang kaum
wanita Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan yang pada era
tersebut bertentangan dengan kultur budaya patriarki yang terbungkus erat
dengan norma agama.
Oleh karena itu, pengakuan kesetaraan gender merupakan kerja
keras multiperan wanita di Indonesia mulai lingkungan keluarga sampai level
pemerintahan. Itu merupakan suatu predikat yang senantiasa dijawab dengan
karya nyata dan usaha yang tidak pernah berhenti. Bukan sekadar untuk mencari
nafkah dan profesi semata, melainkan juga untuk membangun bangsa secara
merata.
Peran wanita Indonesia dibutuhkan untuk meningkatkan perputaran
roda ekonomi negara. Dengan manajemen SDM yang tepat, keterlibatan aktif
wanita Indonesia akan meningkatkan angkatan kerja. Bukan hanya lapangan
pekerjaan domestik, melainkan juga pekerjaan publik yang benar-benar
meningkatkan martabat wanita untuk sama rata dengan pria. Dengan begitu, pada
akhirnya semangat Kartini akan terwujud dan bergulir sepanjang masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar