Infrastruktur versus Ketimpangan
Razali Ritonga ; Kepala
Pusdiklat BPS RI
|
MEDIA INDONESIA,
23 April 2016
KABINET Kerja pemerintahan
Presiden Jokowi secara perlahan semakin menunjukkan kinerja positif. Hal itu
setidaknya ditunjukkan menurunnya ketimpangan pendapatan di masyarakat, yang
berdasarkan Rasio Gini menurun dari 0,41 pada Maret 2015 menjadi 0,40 pada September
2015. Rasio Gini bernilai 0-1. Bernilai 0 jika pendapatan setiap orang sama
dan bernilai 1 jika seluruh pendapatan dimiliki hanya satu orang.
Menipisnya ketimpangan pada
Maret-September 2015 itu diakibatkan meningkatnya pendapatan kelompok 40% terbawah,
yakni dari 17,10% pada Maret 2015 menjadi 17,45% pada September 2015 (BPS,
2016).
Pembangunan infrastruktur yang
cukup gencar diperkirakan menjadi faktor pendorong besar dalam penurunan
ketimpangan belakangan ini. Hal ini juga sejalan dengan apresiasi masyarakat
yang kian meningkat terhadap pemerintahan Presiden Jokowi (Media Indonesia,
18 Maret 2016).
Secara faktual, meningkatnya
kepercayaan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi di tengah menurunnya
ketimpangan pendapatan itu merupakan momentum bagi pemerintah untuk terus
bekerja guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempersempit
ketimpangan.
Pemetaan
kebutuhan
Pembangunan infrastruktur akan
berhasil optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya
masyarakat kelompok terendah dan mempersempit kesenjangan antara kelompok
kaya dan miskin, manakala pemerintah mampu memetakan kebutuhan masyarakat
dalam menjalankan roda kegiatan ekonomi, terutama di daerah. Hal ini
disebabkan setiap daerah memiliki keunggulan masing-masing, baik dari sisi
kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan kapasitas institusi.
Pemetaan kebutuhan di tiap daerah
itu perlu dilakukan guna menentukan jenis infrastruktur yang diperlukan,
seperti kebutuhan jalan, jembatan, pasar, perbankan, pelabuhan, irigasi, dan
listrik. Penyediaan jenis infrastruktur yang tepat tidak hanya akan
mengurangi ketimpangan, tapi juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan
membuka lapangan usaha serta kesempatan kerja.
Sejatinya, pembangunan
infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lingkaran kemakmuran.
Hanmer et al (2000) mengidentifikasi sejumlah faktor positif dari keberadaan
infrastruktur, seperti turunnya biaya operasional kegiatan ekonomi, meningkatnya
volume kegiatan ekonomi, turunnya biaya input usaha, meningkatnya modal
manusia, terbukanya peluang kegiatan ekonomi baru, dan kesempatan berusaha
dan bekerja.
Studi yang dilakukan Sun (2013) di
sejumlah negara ASEAN menunjukkan pembangunan infrastruktur menghasilkan efek
ganda, yakni penurunan kemiskinan dan pertumbuhan secara inklusif. Keuntungan
ganda tersebut diperkirakan dapat terwujud karena pembangunan infrastruktur
dapat menggerakkan aspek kesempatan promosi terhadap sumber daya alam dan
sumber daya manusia, menurunkan kerentanan terhadap krisis, dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi.
Sementara itu, pada sisi modal
manusia, pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan kesempatan kerja dan
produktivitas (Brenneman and Karf, 2002).
Namun, kegagalan dalam mengidentifikasi kebutuhan masyarakat atas jenis
infrastruktur yang diperlukan, pembangunan infrastruktur tidak akan berdampak
signifikan terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Di India, misalnya, hasil studi
Baneerje dan Somanathan (2007) menemukan pembangunan infrastruktur di negara
itu justru menguntungkan penduduk berpendapatan tinggi ketimbang penduduk
miskin. Sementara itu, di Bangladesh, pembangunan jalan perdesaan hanya
berpengaruh sedikit terhadap kesejahteraan masyarakat di perdesaan (Khandker
and Koolwal, 2007).
Peluang
dan kapabilitas
Pengalaman di India dan Bangladesh
itu sekaligus menegaskan pembangunan infrastruktur tidak selalu berpihak pada
penduduk miskin dalam meningkatkan kesejahteraan.
Hal ini amat bergantung pada jenis
infrastruktur yang dibangun, terbukanya peluang bagi penduduk miskin untuk
berusaha dan bekerja, serta kemampuan (kapabilitas) untuk melakukan usaha.
Atas dasar itu, pembangunan
infrastruktur perlu dilakukan bersamaan dengan peningkatan kapabilitas
penduduk. Bagusnya, peningkatan kapabilitas itu kini menjadi agenda
pembangunan guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Lebih jauh, Menteri Koordinator
Maritim Rizal Ramli menyebutkan pemerintah berencana menggelontorkan Rp44
triliun sampai dengan 2019 untuk kegiatan pelatihan tenaga kerja (Media
Indonesia, 20 April 2016).
Di tengah berlangsungnya
transformasi ketenagakerjaan yang dipicu arus globalisasi dan revolusi
teknologi (Human Development Report,
Work for Human Development, 2015), kegiatan pelatihan itu sangat relevan
untuk segera dilaksanakan.
Upaya itu juga sebagai jalan
pintas untuk mengantisipasi rendahnya tingkat pendidikan pekerja di Tanah
Air.
Hasil Sakernas Agustus 2015,
misalnya, menunjukkan sekitar 44,27% tenaga kerja di Tanah Air berpendidikan
paling tinggi SD. Adapun penduduk bekerja yang berpendidikan SMP sebanyak
18,03%, SMA dan SMK sebesar 26,69%, dan berpendidikan D-I/II/III dan
Universitas sebesar 11,01% (BPS, 2015).
Selanjutnya, agar peningkatan
keahlian tenaga kerja itu menjadi lebih optimal, kiranya perlu dilakukan
desentralisasi pusat pelatihan agar tidak terkonsentrasi di perkotaan dan
pusat-pusat pemerintahan. Desentralisasi pusat pelatihan itu juga dimaksudkan
agar link and match dengan kebutuhan daerah.
Berbagai upaya sepatutnya perlu
dilakukan agar pembangunan infrastruktur dapat berfungsi optimal dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan berusaha, serta
meningkatkan kesejahteraan, yang pada gilirannya dapat mempersempit
ketimpangan pendapatan.
Namun, pembangunan infrastruktur
itu perlu disertai dengan pengawasan ketat, mulai perencanaan hingga tahap
implementasi. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur rawan terjadi
penyimpangan dan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar