(Salah) Arah Revisi UU Pilkada
Saldi Isra ; Profesor
Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA,
25 April 2016
JIKA melacak kelemahan sub stantif Undang-Undang No mor 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada),
sejak semula telah menjadi pemahaman kolektif bahwa dasar hukum pilkada serentak ini memerlukan revisi. Tanpa perubahan, makna hakiki kepala daerah
`dipilih secara demokratis' sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
RI Tahun 1945 (UUD 1945) sulit diwujudkan. Apalagi, setelah mengikuti pilkada
serentak 9 Desember 2015, dalam batas penalaran yang wajar tanpa melakukan legislative review, semua catatan
kelemahan potensial menghadirkan demokrasi prosedural belaka.
Secara umum, paling tidak dua persoalan dalam UU Pilkada
memerlukan revisi, yang boleh dikatakan cukup fundamental. Masalah yang
paling utama berkaitan dengan calon dan proses pencalonan. Dalam ihwal
persoalan pertama, setidaknya tersingkap tiga isu besar, yaitu (1) syarat,
perekrutan, dan pengajuan pasangan calon oleh partai politik peserta pilkada,
(2) kemungkinan pilkada dilaksanakan dengan calon tunggal, dan (3) ambang
batas calon perseorangan.Sementara itu, persoalan kedua lebih banyak terkait
dengan penyelesaian sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Arah revisi
Salah satu masalah mendasar yang menjadi perhatian serius
berkenaan dengan proses pencalonan ialah berkaitan dengan persyaratan
pasangan calon. Disadari, UU Pilkada telah menentukan bermacam persyaratan
bagi mereka yang berminat mengajukan diri sebagai calon. Apalagi, MK telah
memperlonggar persyaratan ihwal bekas narapidana untuk dapat bertarung dalam
kontestasi pilkada.
Dalam konteks itu, seharusnya pemilik yang berwenang
merevisi UU Pilkada tak perlu menghabiskan waktu memperdebatkan ulang ihwal
syarat yang harus dipenuhi calon. Agar pilihan revisi UU Pilkada memberikan
makna mendasar untuk mendorong proses politik yang lebih substantif membangun
demokrasi daerah, arah revisi mestinya memperdebatkan dan menambahkan
soal-soal yang lebih mendasar.
Sebagaimana dikemukakan dalam Ihwal Revisi UU Pilkada (Saldi Isra, 2016), bila revisi
memberikan perhatian soal pencalonan, itu seharusnya berfokus pada pengajuan
pasangan calon. Misalnya, bagaimana proses pencalonan bisa memberikan jaminan
agar penentuan pasangan calon dilakukan secara demokratis dalam arti yang
sesungguhnya. Dari pengalaman Pilkada Serentak 2015, mayoritas partai politik
mengabaikan keniscayaan proses yang terbuka dan partisipatif dalam menentukan
pasangan calon.Padahal, UU Pilkada telah memberikan isyarat bahwa pencalonan
dilakukan secara demokratis.
Tak hanya itu, UU No 2/2011 tentang Partai Politik secara
eksplisit mensyaratkan bakal pasangan calon direkrut dengan proses yang
demokratis dan terbuka. Bagaimanapun, dengan proses begitu, partai politik
harus mendengar dan menangkap aspirasi pemilih dalam menentukan pasangan
calon.
Untuk mengulangi usul dalam tulisan itu, jika memang
hendak mewujudkan proses pemilihan yang berkualitas, demokratis, dan
partisipatif, revisi UU Pilkada harus membuat pengaturan yang memastikan
proses pencalonan ‘yang dilakukan secara demokratis dan terbuka’ dipenuhi
partai politik. Caranya, persyaratan yang ‘dilakukan secara demokratis dan
terbuka’ harus dipenuhi partai politik sebelum mengajukan pasangan calon.
Jika proses ‘demokratis dan terbuka’ tidak dipenuhi, KPUD harus menolak calon
yang diajukan atau didaftarkan partai politik. Dengan memasukkan gagasan ini,
revisi akan memiliki tujuan dan arah yang sangat jelas dalam pilkada.
Dengan menggunakan cara dasar berpikir demikian, revisi UU
Pilkada tidak perlu masuk wilayah yang telah diatur sebelumnya, termasuk soal
pemberhentian bagi posisi tertentu sebagaimana telah diputuskan MK. Bahkan,
hal ihwal bekas narapidana yang diperlonggar MK, sekalipun banyak pihak
memperdebatkan peluang bekas narapidana (termasuk mantan terpidana korupsi)
mengajukan diri sebagai calon, revisi pun tidak perlu mengubah substansi
putusan MK.
Dalam soal ini, seharusnya partai politik yang lebih
selektif dalam mengajukan pasangan calon. Misalnya, jika partai politik
memang memiliki komitmen dalam agenda pemberantasan korupsi, pihak yang
pernah dipidana dalam kasus korupsi tidak diajukan sebagai calon.
Dorongan partai politik lebih selektif dan ketat di dalam
mengajukan calon karena salah satu alasan mendasar penyempurnaan syarat calon
di dalam UU Pilkada ialah menciptakan kepala daerah/wakil kepala daerah yang
memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, dan memenuhi unsur
akseptabilitas. Artinya, sekalipun menyebutkan beberapa kondisi, syarat ‘integritas’ seharusnya dijadikan sebagai roh untuk menentukan calon.
Dengan penempatan demikian, tentunya alasan menerima calon
yang pernah dipidana karena kasus korupsi tidak cukup kuat. Keterpenuhan
persyaratan integritas itu tidak cukup ditutup dengan langkah mengumumkan
secara terbuka bahwa yang bersangkutan pernah dipidana dan tindak pidana yang
dilakukan.
Begitu juga dengan calon tunggal, revisi UU Pilkada tidak
perlu memperdebatkan itu kembali. Secara hukum, putusan MK lebih dari cukup
untuk menutup kemungkinan ancaman pilkada dengan calon tunggal. Kalaupun akan
tetap direvisi, DPR dan pemerintah cukup mengadopsi substansi putusan MK.
Dalam konteks itu, tidak perlu merumuskan ancaman hukuman bagi partai politik
yang tidak mengambil kesempatan mengajukan pasangan calon. Artinya,
mengajukan atau tidak mengajukan pasangan calon semestinya dimaknai sebagai
sebuah hak dan sekaligus pilihan politik dari partai politik. Bilamana kinan
ancaman pilkada dengan calon tunggal. Kalaupun akan tetap direvisi, DPR dan pemerintah
cukup mengadopsi substansi putusan MK. Dalam konteks itu, tidak perlu
merumuskan ancaman hukuman bagi partai politik yang tidak mengambil
kesempatan mengajukan pasangan calon. Artinya, mengajukan atau tidak
mengajukan pasangan calon semestinya dimaknai sebagai sebuah hak dan
sekaligus pilihan politik dari partai politik. Bilamana tidak mengajukan
pasangan calon, biarkan rakyat yang menilai eksistensi partai politik dalam
membangun demokrasi di daerah.
Dalam kebutuhan proses pencalonan, selain memastikan arah
revisi yang terkait dengan alasan memastikan proses `dilakukan secara
demokratis dan terbuka', langkah legislative
review UU Pilkada seharusnya tak berujung pada pilihan mempersempit ruang
muncul nya calon perseorangan. Penegasan itu diperlukan karena sejak semula
sebagian partai politik di DPR kelihatan terlalu bernafsu untuk memperbesar
persentase jumlah dukungan yang harus dipenuhi kalangan yang hendak maju
sebagai calon, tapi tidak menggunakan bendera partai politik.
Bilamana
ditelusuri perdebatan di sekitar rencana ini, salah satu alasannya ialah
membangun kesetaraan dukungan dengan calon yang diajukan partai politik.
Dalam batas penalaran yang wajar, pemikiran bahwa dukungan
yang seharusnya dipenuhi calon perseorangan setara dengan dukungan calon yang
diajukan partai politik ialah cara berpikir yang sangat tidak demokratis.
Jika hendak dimaknai secara benar, dukungan yang diraih partai politik dalam
pemilu legislatif sebetulnya tak begitu tepat sekaligus dijadikan dukungan
dalam pilkada.
Alasannya sangat sederhana, mandat rakyat dalam pemilu
legislatif ialah memilih anggota legislatif. Gugatan yang patut dikemukakan
ialah mengapa mandat untuk mengisi anggota legislatif direkayasa menjadi
ambang batas pencalonan eksekutif dalam pilkada? Apakah partai politik sadar
bahwa pilihan rakyat dalam pemilu legislatif sering tak sejalan dengan
pilihan di ranah eksekutif?
Dalam soal ini, telah terlalu sering dikemukakan bahwa
pilihan menaikkan batas dukungan membuktikan betapa kuatnya resistensi
sejumlah partai politik kepada calon perseorangan. Padahal, jika disa dari,
membuka ruang bagi calon perseorangan akan memberikan daya dorong bagi partai
politik untuk menghadirkan calon yang memiliki kemampuan bersaing dan
menciptakan alternatif pilihan bagi rakyat. Seharusnya, syarat calon
perseorangan tidak dinaikkan.
Karena itu, ketika tebersit keinginan menaikkan syarat
dukungan, partai politik sedang mengancam pertumbuhan demokrasi dalam arti
yang sesungguhnya.Tak hanya itu, jika melihat perkem bangan di berbagai
daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada 2017, sangat mungkin pilihan
politik menaikkan dukungan itu sengaja ditujukan untuk menjegal kalangan
tertentu.
Seharusnya, bila hendak memosisikan pilkada sebagai suatu
proses politik yang menggembirakan, syarat dukungan calon perseorangan harus
diturunkan. Setidaknya, jumlah dukungan bagi mereka yang memilih jalur
perseorangan tidak lebih besar daripada jumlah dalam UU Pilkada yang berlaku.
Dalam hal syarat dukungan dikurangi, revisi UU Pilkada harus mengarah pada
pembentukan aturan yang bisa menilai secara benar dan valid sebagai bukti
dukungan yang diajukan bakal calon perseorangan.
Tanpa penilaian itu, sangat mungkin bukti dukungan yang
disampaikan ke KPUD didapatkan dengan cara yang jauh dari proses yang
dibenarkan secara hukum. Kiranya, dalam revisi UU Pilkada, arah revisi bukan
menambah syarat dukungan, melainkan pada validasi bukti dukungan.
Soal besar kedua berkenaan dengan penyelesaian sengketa
hasil pilkada di MK. Dalam ihwal ini, arah revisi mestinya fokus pada ambang
batas dalam mengajukan sengketa hasil. Jika merujuk ke Pasal 158 UU Pilkada,
proses pembuktian pemohon yang berada dalam selisih suara kurang dari 2%
(satu setengah, satu, atau setengah) sesuai dengan jumlah penduduk. Arah
revisi UU Pilkada ialah tetap mempertahankan ambang batas.Jika dalam proses
persidangan awal terdapat cukup bukti bahwa telah terjadi pelanggaran yang
bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (`TSM'), MK bisa menerobos ambang
batas. Dengan arah ini, revisi dapat mengantisipasi segala ben tuk kejahatan
di dalam pilkada yang berlindung di balik ambang batas.
Langkah pemerintah
Berdasarkan Pasal 20 UUD 1945, proses legislasi (termasuk
revisi) melibatkan DPR dan pre siden (pemerintah). Artinya, revisi UU Pilkada
tidak sepenuhnya menjadi wewenang DPR, tetapi juga menjadi wewenang
presiden. Hal ihwal ini, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, menyatakan setiap RUU
dibahas DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dengan memaknai
secara benar dan tepat logika konstitusional fungsi legislasi itu meski
mayoritas partai politik hendak bergerak atau membawa revisi UU Pilkada ke
arah yang berbeda, pemerintah dapat menghambat pergerakan itu.
Contoh, dalam soal persentase dukungan calon perseorangan,
sejauh pemerintah tidak bersikap serupa, manuver menaikkan itu tidak perlu
terlalu dikhawatirkan. Kondisinya akan berbeda seandainya pemerintah memiliki
sikap yang sejalan dengan kelompok pendukung kenaikan persentase. Dalam soal
ini, Presiden Joko Widodo telah memperingatkan tidak perlu menaikkan
persentase yang dimaksud. Tentunya, peringatan Jokowi menjadi perintah kepada
menteri yang mewakili presiden dalam pembahasan revisi UU Pilkada di DPR.
Sebagai pihak yang posisinya sama kuatnya dengan DPR dalam
pembahasan dan persetujuan bersama sebuah RUU, pemerintah mestinya mampu
menjadi benteng terakhir agar revisi tidak bergerak ke arah yang semakin
menjauh dari proses yang lebih demokratis.Pilihannya sangat terbatas, jika
manuver politik revisi UU Pilkada mengancam kehidupan demokratis, pemerintah
harus menggunakan kuasa dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945, yaitu menolak
memberikan persetujuan bersama. Dengan menggunakan kuasa konstitusional itu,
pemerintah bisa mencegah revisi UU Pilkada bergerak ke arah yang salah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar