Kesaksian Ahli dan Integritas Akademik
Sigit Riyanto ; Guru
Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS, 30 April
2016
Tulisan Eddy OS Hiariej tentang "Alat Bukti Keterangan Ahli"
(Kompas, 25/4, 2006) menarik untuk disimak dan didiskusikan lebih lanjut.
Topik tentang alat bukti
keterangan ahli dalam proses peradilan ini jadi wacana menarik di negeri ini,
utamanya berkaitan dengan kasus-kasus yang menyita perhatian publik. Lebih menarik lagi kesaksian ahli (hukum)
dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dalam
jumlah besar.
Tulisan ini menawarkan sudut
pandang lain mengapa alat bukti berupa keterangan ahli
(khususnya para ahli hukum) jadi
persoalan yang mengundang pro dan kontra.
Mengapa kehadiran para saksi ahli hukum, yang umumnya bergelar
profesor atau doktor yang mengajar
di universitas, di persidangan
pengadilan menjadi kontroversial?
Kedudukan dan fungsi kesaksian
ahli sebagai alat bukti telah diatur jelas dalam peraturan
perundang-undangan. Masalahnya adalah terletak pada bagaimanakah para ahli
hukum yang bersaksi di pengadilan memosisikan dirinya dalam kontestasi
kepentingan yang sedang berhadapan di depan hakim.
Salah satu pertanyaan sederhana
yang sering muncul tentang kehadiran para ahli hukum adalah tentang
kompensasi apa yang diperoleh ahli bersangkutan ketika bersaksi. Tidak ada larangan dan tidak ada keharusan
untuk memberikan kompensasi atas kehadiran seorang ahli di persidangan pengadilan.
Di Indonesia tidak ada aturan rinci dan ketat tentang hal ini. Seorang ahli
yang bersaksi di pengadilan dapat memperoleh kompensasi atas kehadirannya
untuk memberikan keterangan di persidangan, tetapi dapat juga secara pro bono (tanpa imbalan).
Sudah jamak diketahui, pada
umumnya para pihak yang berperkara di pengadilan dan menghadirkan saksi ahli
hukum adalah mereka yang memiliki kemampuan keuangan memadai sehingga mampu
memberikan kompensasi berupa bayaran yang tinggi kepada ahli hukum yang didatangkan
untuk bersaksi. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki uang cukup untuk membayar para ahli agar
bersaksi di persidangan?
Di negara-negara tertentu, semisal
Australia, telah dibuat pedoman
tentang bagaimana kehadiran dan proses kesaksian ahli di persidangan. Bahkan, dapat saja kehadiran
para ahli dalam persidangan hukum
adalah free of charge, atau mereka tidak menerima kompensasi,
misalnya ketika kesaksiannya
diperlukan demi kepentingan umum.
Independensi
Secara normatif, para ahli yang
bersaksi di persidangan pengadilan wajib bersikap obyektif dan tidak memihak
(independent; impartial). Mereka dituntut memberikan keterangan yang benar,
relevan, sahih, dan obyektif sesuai kompetensi keilmuannya. Para ahli ini
memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan pendapat yang jujur dan
obyektif dalam rangka membuat terang masalah yang sedang dihadapkan pada
hakim. Pendapat atau keterangan yang diberikan di persidangan semata-mata
didasarkan pada kebenaran ilmiah dan etika akademik.
Benarkah para ahli hukum yang
hadir di hadapan hakim dan memberikan kesaksiannya telah menyampaikan
pendapat yang jujur, obyektif, dan tak memihak? Tidak jarang kehadiran para
ahli dalam proses persidangan menuai kritik karena ditengarai telah berpihak
dan atau dimanfaatkan salah satu pihak yang berperkara untuk menjustifikasi
kepentingannya dan memenangi kasusnya.
Kesaksian ahli yang tidak jujur, subyektif, dan memihak dapat merusak
proses pengungkapan kebenaran.
Inilah gejala yang disebut
"hired guns" (senjata sewaan). Para ahli yang memberikan keterangan
dan atau pendapat dengan maksud menguntungkan salah satu pihak diibaratkan
sebagai senjata sewaan. Mereka hadir
memberikan kesaksian semata-mata untuk memperoleh kompensasi atas
keterangannya, yang umumnya berupa sejumlah uang. Ahli semacam ini akan
melayani siapa saja yang mau dan mampu menyewa atau memberikan kompensasi
atas jasa yang diberikan untuk bersaksi di hadapan hakim, hasil akhir
persidangan tidaklah penting baginya. Para ahli semacam ini tidak segan-segan
mengorbankan independensinya sebagai akademisi dan mengompromikan pendapatnya
semata-mata untuk mendukung argumen salah satu pihak yang berperkara, yang
sanggup menyewa jasanya untuk bersaksi di pengadilan.
Hal terpenting yang harus diingat
oleh akademisi, ketika mereka bersaksi dan terlibat dalam proses hukum adalah
bagaimana mempertahankan dan menjaga
integritas akademik. Integritas akademik adalah komitmen dalam situasi
apa pun untuk berpegang pada lima nilai dasar: kejujuran, kepercayaan,
keadilan, kehormatan, dan tanggung jawab. Lima nilai dasar ini menjadi
landasan perilaku akademisi dan diterjemahkan dalam tindakan. Ketika
memberikan kesaksian, benarkah dilakukan dengan jujur, dapat dipercaya,
obyektif, menjunjung kehormatan, dan bertanggung jawab atas apa yang
dinyatakan sebagai saksi ahli?
Nilai-nilai ini juga terkait erat
dengan misi kelembagaan/institusi, kebijakan dan praksis, sehingga integritas
akademik dijaga dan dirawat. Pendapat para akademisi yang berpegang dan taat
pada lima nilai dasar tadi secara
konsisten merupakan kontribusi bagi upaya pencarian kebenaran dan bermuara
pada pengungkapan kebenaran.
Seorang akademisi yang menjadi saksi ahli dituntut untuk
beropini dan membangun argumen ilmiah yang jujur, adil, dan bertanggung jawab
dalam rangka pencarian dan pengungkapan kebenaran; bukan membenarkan salah
satu kepentingan yang sedang berkontes di lembaga peradilan.
Jika yang dilakukan bertentangan
dengan integritas akademik, ada tiga kemungkinan: penyesatan, pengkhianatan
integritas akademik, atau pelacuran akademik. Bersaksi bukan untuk
menyampaikan kebenaran, tetapi untuk memperoleh sejumlah uang, seperti kata
pepatah: "I'm selling myself, more
often than not to the highest bidder, purely for thrill and money." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar