Senin, 31 Agustus 2015

Arus Investasi dan Korupsi

Arus Investasi dan Korupsi

Djoko Subinarto  ;  Penulis
                                                 KORAN TEMPO, 31 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemberantasan korupsi menjadi kunci penting bagi peningkatan arus investasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo telah meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk para tenaga kerja asing (TKA) dihapus. Harapannya, investasi di Indonesia akan terdongkrak oleh penghapusan syarat kemampuan berbahasa Indonesia untuk para TKA tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 12 Tahun 2013, Pasal 26 ayat 1, dinyatakan bahwa tenaga kerja asing harus dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Maksud peraturan Menteri Tenaga Kerja itu tentu baik. Lewat medium bahasa, kita mesti berani menunjukkan kedaulatan kita dan sekaligus melindungi para tenaga kerja kita. Warga negara asing yang hendak bekerja di sini sudah seharusnya adalah mereka yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik, dan bukan sebaliknya malah kita, sebagai tuan rumah, yang dituntut untuk mengikuti bahasa mereka.

Untuk kepentingan tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Bahasa Universitas Indonesia dan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja, telah memiliki perangkat uji kompetensi bahasa Indonesia (UKBI) berdasar metode TOIFL (Test of Indonesian as Foreign Language) untuk para TKA yang hendak bekerja di Indonesia. Para calon TKA yang hendak bekerja di Indonesia wajib terlebih dulu mengikuti ujian TOIFL.

Maka, permintaan Presiden Joko Widodo agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk para TKA dihapus layak kita pertanyakan. Mengapa? Selain merendahkan martabat bangsa dengan menggadaikan kedaulatan bahasa dan kedaulatan ketenagakerjaan kita, penghapusan syarat kemampuan berbahasa Indonesia bagi para TKA ini toh tidak memiliki dampak langsung terhadap iklim investasi.

Pasalnya, yang sangat berpengaruh langsung bagi naik-turunnya arus investasi itu salah satunya adalah tingkat korupsi. Ratusan penelitian yang dilakukan di berbagai negara menyimpulkan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi dan perdagangan, mengurangi pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan distorsi dalam pengeluaran anggaran pemerintah untuk sektor publik, yang pada gilirannya dapat menaikkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat.

Dan khusus untuk negara-negara yang sedang berkembang, korupsi juga menjadi penghambat utama bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Corruption Watch International--lembaga nirlaba yang berbasis di Braamfontein, Afrika Selatan--akibat praktek korupsi, sektor UMKM harus mengeluarkan biaya operasional dua hingga tiga kali lipat dari biaya yang semestinya, sehingga membatasi kemampuan sektor ini untuk tumbuh dan membuka lapangan kerja.

Jadi, apabila pemerintah Presiden Joko Widodo ingin arus investasi ke Indonesia terus meningkat dengan signifikan, yang perlu diprioritaskan itu salah satunya adalah penghapusan praktek korupsi di semua lini kehidupan bangsa ini, dan bukan penghapusan aturan mengenai kewajiban para TKA untuk memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.

Pingpong

Pingpong

Toriq Hadad  ;  Wartawan Senior Tempo
                                                 KORAN TEMPO, 30 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kejuaraan pingpong yang digelar Tempo dan Universitas Terbuka (UT) pekan lalu berlangsung meriah, lancar, dan sukses. Pesertanya saja lebih dari 500 orang. Meja-meja pertandingan sudah dilipat. Lampu gedung konvensi UT yang megah di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, itu pun telah dipadamkan. Tapi saya justru mulai sedih.

Tentu bukan karena tim saya, Tempo, kalah telak. Saya pedih mendengar keluh-kesah atlet, dari pelajar sampai nasional. Semua melihat masa depan tenis meja kita suram. Mengapa? Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia ternyata ada dua atawa ganda. Sejak 2013, ada dua ketua, juga dua kepengurusan, yang sama-sama merasa berhak mengatur tenis meja kita.

Pasti kolom ini tak cukup untuk menampung debat alasan dua ketua itu-Marzuki Alie, mantan Ketua DPR, dan Oegroseno, mantan orang nomor dua di kepolisian. Tapi setiap kali induk organisasi olahraga pecah, korbannya sama saja: atlet. Hal itu juga yang terjadi ketika kepengurusan sepak bola terbelah antara kubu Djohar Arifin (PSSI) dan La Nyalla Mattalitti (KPSI). Nama yang terakhir ini sekarang menjadi Ketua Umum PSSI, organisasi yang sedang dibekukan pemerintah.

Pertikaian pengurus membuat atlet-mereka yang menjadikan olahraga sebagai profesi dan ajang mencari penghidupan-telantar. Ada atlet tenis meja yang berlatih keras delapan bulan menjelang SEA Games, tapi tiba-tiba diganti pemain yang dijagokan pengurus "kubu yang lain" hanya empat hari menjelang berangkat bertanding. Like and dislike dalam penunjukan pemain menjadi-jadi. Pembinaan pun praktis macet. Jadwal turnamen di dalam negeri bertabrakan. Kompetisi tingkat nasional terbengkalai. Dengan adanya kekacauan seperti ini, atlet mana yang masih mau mempertaruhkan masa depannya?

Pemerintah sejak dulu tak pernah serius mengurus olahraga. Pada zaman Soeharto dulu, hampir setiap menteri "ditugasi" menjadi pemimpin induk organisasi olahraga. Si menteri tak perlu syarat pernah menjadi pemain di cabang yang dipimpinnya, atau bisa memainkan olahraga itu, bahkan tak harus mengerti cara menghitung kemenangan dalam cabang itu. Begitu Soeharto merestui, maka jadilah dia ketua.

Ada yang berbeda dengan sekarang. Pada masa Soeharto itu, si ketua sangat gampang menggalang dana. Perusahaan mana pula yang berani menolak menyumbang pada masa itu? Harus pula diakui, ada tokoh yang benar-benar mencintai olahraga yang dipimpinnya. Bob Hasan, orang dekat Soeharto itu, begitu habis-habisan mencurahkan perhatian untuk mengurus atletik. Prestasi cabang atletik pada masa itu tak terlalu mengecewakan.

Sekarang ini pendekatan kekuasaan dalam mengurus olahraga sudah ketinggalan zaman. Budaya "injak kaki" agar pengusaha mau menyumbang olahraga sudah sangat sulit dilakukan. Ada banyak saluran untuk protes. Inilah hikmah demokrasi. Saking demokratisnya negeri ini, sampai-sampai seorang menteri koordinator pun merasa boleh-boleh saja menantang wakil presiden berdebat.

Pengurus induk olahraga zaman sekarang mesti punya kemampuan menjual yang tinggi. Olahraga harus dikemas sebagai paket bisnis menarik sehingga memancing kerumunan orang datang. Kerumunan, bahasa gaulnya crowd, merupakan alasan pengusaha mengucurkan dana promosi besar.

Marzuki Alie, Oegroseno, pastilah memahami kiat marketing ini. Kalau begitu, salah satunya layak menjadi ketua, agar nasib atlet tak kesana-kemari seperti bola pingpong. Jalur hukum panjang berliku. Bagaimana kalau urusan pingpong diselesaikan di meja pingpong? Keduanya bertanding, disiarkan secara live di televisi. Yang menang pasti lebih "dekat" dengan pingpong, maka dialah yang lebih pantas menjadi ketua. Setuju? Deal?

Cinta Genteng

Cinta Genteng

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 30 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Adi naksir banget sama Angel, cewek SMA III yang berwajah seperti Sophia Latjuba yang tinggal sekompleks dengan Adi, di perumahan “Griya Indah”. Angel ini punya kebiasaan yang unik yaitu hampir setiap sore dia duduk di balik jendela kamarnya yang terbuka, menghadap ke jalan.

Kadang dia memandangi jalanan saja, entah apa yang dilihat atau dibayangkannya, tetapi lebih sering dia mengobrol dengan seseorang, entah siapa, melalui HP-nya. Jujur aja, walaupun ngebet, Adi enggak punya nyali untuk PDKT (pendekatan) ke Angel. Biasa, enggak PD (percaya diri), takut ditolak.

Dasarnya juga Adi tergolong laki-laki yang enggak PD-an sama lawan jenis. Tetapi, jangan dikira Adi tidak berusaha. Kebetulan Adi punya motor Yamaha Mio M3, kebanggaannya, yang baru dibelikan ayahnya di pameran automotif di Balai Sidang beberapa waktu lalu. Maka, setiap sore, kira-kira saat Angel duduk di jendelanya, Adi pun meluncur dengan Yamahanya, kadang pelanpelan, kadang ngebut dengan melakukan zig-zag untuk menarik perhatian Angel,

bahkan pernah juga dia berakrobatik dengan berdiri di sadel Yamahanya dengan lepas tangan seperti the hell drivers. Maksudnya, tentunya adalah untuk makin menarik perhatian Angel, siapa tahu dia akan ngajak kenalan. Anehnya, walaupun jendela kamar Angel sedang tertutup dan yang pasti Angel tidak sedang muncul menampilkan wajahnya yang ayu itu, Adi tidak menghentikan usahanya.

Pokoknya setiap masuk sore hari sampai menjelang magrib, Adi tetap saja melajukan motornya bolak-balik di depan jendela yang tertutup. Kata Adi, rasanya ada yang kurang kalau enggak lewat rumah Angel setiap sore. Pokoknya, kata Adi, melihat genteng rumah Angel saja rasanya sudah bahagiaaa .... sekali sehingga kawan-kawannya pun sering mengolok-olok Adi dengan kata-kata “cinta genteng”.

Dalam ilmu psikologi, intensitas Adi untuk menarik perhatian Angel dengan sering dan rutinnya Adi memacu motornya di depan rumah Angel itu menunjukkan dorongan (drive) yang besar dan dorongan ini merupakan perwujudan dari motivasi yang tinggi dari Adi untuk PDKT ke Angel.

Sebagian pakar psikologi, terutama dari aliran Behaviorisme, lebih percaya pada dorongan yang diekspresikan secara kasatmata ini ketimbang motivasi yang dinyatakan secara lisan seperti rayuan melalui HP dari cowok-cowok lain yang naksir Angel juga. Jadi, menurut para pakar ini, untuk menilai motivasi, melalui perilaku yang kasatmata adalah yang paling sahih (valid) dan tepercaya (reliable).

Kalau motivasi merupakan faktor yang utama, ada baiknya Angel mengajak kenalan dengan Adi. Tetapi, tidak selalu intensitas perilaku cukup untuk menilai sifat atau watak seseorang, apalagi kalau untuk dijadikan andalan sebagai teman, pacar, apalagi pasangan, ataupun sebagai mitra kerja, atau sebagai wakil rakyat di DPR atau untuk menjadi anggota kabinet dari seorang presiden misalnya.

Bisa saja, saat ini intensitas perilaku itu tinggi, tetapi ketika sudah tercapai apa yang diingininya, motivasinya berkurang, atau hilang, dorongan pun berkurang dan perilaku sedikit demi sedikit menghilang. Betapa banyak perkawinan yang awalnya sangat indah karena dorongan untuk menjadi suami-istri sangat tinggi, tetapi bubar setelah beberapa tahun karena motivasi salah satu atau kedua belah pihak berubah.

Karena itu, selain intensitas yang tinggi, perlu dicermati apakah perilaku itu betul-betul eksklusif dilakukan oleh seseorang (dalam situasi yang sama perilakunya tidak sama dengan orang lain pada umumnya) dan konsisten (walaupun situasi berubah perilaku tetap sama).

Tentu saja dalam kasus Adi, dia tidak perlu lagi memacu Yamahanya kalau Angel sudah jadi pacarnya atau istrinya, tetapi perhatiannya yang besar, yang melebihi perhatian orang lain pada umumnya terhadap Angel, tetap berlangsung. Selain itu, dalam keadaan apa pun misalnya Angel dalam keadaan sakit atau mengalami masalah yang serius dan lain-lain, Adi tetap mencurahkan dorongannya kepada Angel. Cinta gentengnya sudah menyatu dengan cinta kepada Angel karena buat Adi genteng rumah Angel identik dengan diri Angel sendiri.

Sayangnya, kita di Indonesia masih sangat banyak yang lebih percaya pada lisan dari pada perbuatan. Hampir di seluruh sektor. Selain perkawinanperkawinan yang bubar karena rayuan gombal, betapa banyak masyarakat yang tertipu arisan bodong karena tergiur ingin mendapat untung berlipatlipat secara cepat, padahal siapa yang menawarkan arisan itu belum diketahui.

Akibatnya, uang miliaran rupiah raib begitu saja. Sebaliknya, seorang kepala cabang sebuah bank menerima telepon dari seorang nasabahnya yang sudah sangat dikenalnya, yang meminta agar bank membayarkan sejumlah uang kepada rekan kerja si nasabah, lembar cek akan menyusul. Walaupun melanggar prosedur, kepala cabang mengiyakan permintaan nasabahnya dan ketika mitra kerja nasabah datang, uang yang diminta diserahkan begitu saja.

Benar saja, sebelum waktu clearing sopir si nasabah datang dengan membawa lembar cek beserta setoran harian nasabah dari hasil bisnisnya hari itu yang besarnya ratusan juta rupiah. Sebenarnya si kepala cabang bisa masuk penjara, tetapi dia tidak takut karena sangat percaya kepada nasabah yang satu ini sebab track record-nya selama ini selalu baik.

Track record inilah yang seharusnya merupakan acuan untuk mengenali kepribadian seseorang, termasuk untuk memilihnya menjadi anggota DPR atau menteri atau pimpinan KPK dan lainnya. Sayang, kita memang lebih suka mendengar orang bicara-bicara (termasuk melalui media massa dan media sosial) dan marah-marah kalau ternyata yang dibicarakan hanya kebohongan. Sudah saatnya kita hentikan NATO (no action talk only) dan kita mulai kerja...kerja...kerja!!!

Gotong Royong Politik Pelayanan

Gotong Royong Politik Pelayanan

Yudi Latif  ;  Cendikiawan Kebangsaan
                                            MEDIA  INDONESIA, 31 Agustus 2015       

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP kali kata optimisme hendak dupan kita lukis di atas kanvas kehid bangsa, selalu saja menerjang badai pesimisme yang menggentarkan. Perayaan Idul Fitri dan hari kemerdekaan Indonesia mestinya memantulkan semangat optimisme jiwa pemenang. Namun, memburuknya perekonomian dan kerentanan politik yang kita alami membuat cuaca kebatinan bangsa ini diliputi kabut pesimisme.

Dalam situasi paradoks seperti itu, yang kita perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang buta, malainkan suatu optimisme yang fleksibel--optimisme dengan mata terbuka.Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat.Meski demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.

Pemikiran konvensional beranggapan bahwa kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.
Akan tetapi, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, dengan mentalitas kepemimpinan yang siap mengembangkan kerja sama dalam spirit pelayanan.

Pertama-tama diperlukan kejujuran untuk menerima kenyataan. Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolaholah keadaan bangsa ini baik-baik saja, tak ada masalah yang merisaukan.

Selain krisis perekonomian seperti ditandai oleh merosotnya nilai tukar rupiah, jatuhnya indeks saham gabungan, jatuhnya harga komoditas andalan, menurunnya penerimaan pajak, serta ancaman pemutusan hubungan kerja dalam skala masif, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai oleh Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau.Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi hari ini. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika seperti terpisahnya air dengan minyak.Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru saling bertikai, berlomba menghancurkan kewibawaan negara.

Yang lebih buruk lagi, pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara dan masyarakat politik justru seperti kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan negara dan elite politik hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elite politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya. Bung Karno mengatakan, “Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke lingkungan mereka.... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.“ Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, “Berapa orangkah dari alam pemimpin Indone sia sekarang ini yang masih benar-benar `rakyati' seperti dulu, masih benar-benar `volks' seperti dulu?“

Dengan tercerabut dari lumpur kehidupan rakyat, para penyelengara negara cenderung mengembankan sikap defensif untuk melarikan diri tanggung jawab. Misalnya saja, kita mendengar ada pejabat yang menyatakan bahwa jatuhnya nilai rupiah ialah baik bagi perekonomian nasional.

Lebih dari itu, ketika kita dihadapkan pada berbagai pesoalan pelik yang menuntut semangat solidaritas dan tanggung jawab bersama, kepedulian politik kita justru hanya berhenti pada persoalan bagi-bagi kekuasaan. Kegaduhan politik terjadi hanya di sekitar persoalan siapa, partai apa, mendapatkan apa. Bahkan belakangan, indikasi pertarungan kepentingan pun mulai merobek kekompakan kabinet. Padahal dalam situasi krisis seperti ini, mentalitas yang harus ditumbuhkan bukanlah ekerekeran mempersoalkan pembagian kekuasaan, melainkan mentalitas gotong royong dalam pembagian tanggung jawab.

Dalam kaitan itu, perlu disadari bahwa demokrasi memang merupakan solusi terhadap tirani, tetapi tidak selalu memberikan solusi yang segera terhadap masalah-masalah bangsa lainnya. Berbeda dengan ledakan harapan banyak orang, pemerintahan demokratis justru sering dihadapkan dengan aneka masalah dan kekecewaan yang sulit diatasi. Oleh karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah kesanggupan mereka dalam menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya. Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama (lintas partai, lintas golongan, lintas profesi); bukan mengundang pertikaian; sambil mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional.

Untuk keluar dari krisis menuju politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme, menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batasbatas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.

Politik sebagai ikhtiar merealisasikan harapan kebahagiaan hanya bisa diwujudkan dengan bergotong royong mengembangkan politik pelayanan. Usaha demokrasi membawa kebahagiaan bersama menuntut penjelmaan `negara-pelayan' yang bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan.

Negara memiliki legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial bukan saja bagi kehidupan, melainkan juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti, negara-negara dengan pencapaian tertinggi dalam indeks kebahagiaan, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya ialah negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban.

Legitimasi kedua ialah responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah dalam memfasilita asi kesejahteraan sangat penting. Seperrti ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan, melainkan karena rakyat tak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat buruknya layanan pemerintahan.

Legitimasi ketiga ialah kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran yang sangat vital bagi kelangsungan komunitas bangsa. Tidak ada perbantahan antara rezim demokratis dan nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, seorang Mao dalam Revolusi Kebudayaannya meyakini, “Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan.“

Legitimasi pamungkas ialah kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dan binatang ialah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara ini sangat vital bagi resolusi konflik dalam masyarakat multikultur.

Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan tersebut merupakan pertaruhan atas kebahagiaan warga negara.Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Jalan demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan bersama masih teramat panjang. Namun, dengan menggali lapis demi lapis lintasan sejarah perjuangan bangsa akan kita temukan bahwa warisan terbaik para pendiri bangsa ialah `politik harapan' (politics of hope), bukan `politik ketakutan' (politics of fear). Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan indentitas sebagai bangsa Indonesia.

Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala. Indonesia boleh jadi satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut negerinya dengan `tanah air'. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan.

Salah Sangka sang Guru BK

Salah Sangka sang Guru BK

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                            MEDIA  INDONESIA, 31 Agustus 2015       

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM kesempatan rapat kerja tahunan sekolah, yang selalu menarik dan saya tunggu ialah laporan dari para konselor sekolah. Seperti para guru lainnya, konselor sekolah selalu punya cerita menarik tentang penanganan masalah keseharian siswa. Jika titik tekan guru terhadap siswa lebih kepada penguasaan keilmuan (knowledge ability), konselor sekolah lebih banyak berhubungan dengan habituasi anak. Pendek kata, antara keduanya terkadang saling mengandalkan jika terjadi masalah pada siswa mereka.

Seperti hari itu, Hijri, konselor Sekolah Sukma Bangsa Bireun, melaporkan betapa sulitnya mengatasi seorang anak yang sejak kelas 9 hingga kelas 11 saat ini selalu membuat gaduh sekolah dengan perilakunya. Katakanlah, nama siswa tersebut `Amar'. Tidak seperti anak bermasalah lainnya yang selalu dapat diatasi dengan konseling secara personal, Amar tak pernah mau untuk masuk ke ruang konselor sekali pun.Hingga akhirnya, ditemukan cara jitu dengan mengajaknya `berkoselor ria' di luar ruang konselor, tepatnya di warung kopi, dengan membuat diskusi terbatas bersama dua teman karibnya.

Teknik advokasi jenis itu jelas dibutuhkan para konselor sekolah. Waktu luang para konselor jelas harus lebih banyak dan efektif untuk mengidentifikasi persoalan tidak hanya di lingkup sekolah, tapi juga di luar sekolah.Alasannya sederhana, konselor biasanya memang selalu dibebani seluruh persoalan sosial siswa, seperti kenakalan, kekerasan, narkoba, broken home, kemalasan, dan perilaku negatif lain. Pendek kata, identifikasi atau assesmen merupakan langkah pertama yang dibutuhkan para konselor sekolah untuk mengenali ragam persoalan siswa.

Sahabat siswa

Selain itu, ada banyak argumen negatif lain tentang konselor yang selalu ditimpakan, di antaranya sering kali hanya siswa yang mempunyai masalah dengan peraturan sekolah yang menjadi bulan-bulanan guru BK. Ke tika ada suatu pelanggaran yang dilakukan siswa, siswa yang bersangkutan langsung dihukum dan konselor akhirnya menjadi momok bagi para siswa. Pengalaman para konselor di Sekolah Sukma Bangsa mungkin sedikit berbeda dalam konteks tersebut.Mendekatkan anak dengan konselor terjadi hampir setiap hari karena konselor meletakkan lembar evaluasi guru di ruang kelas dan setiap hari bisa diisi siswa jika mereka merasa ada masalah dengan guru pada hari itu.

Lembar evaluasi guru menjadi efektif karena ternyata menurut siswa, yang bermasalah bukan hanya mereka, melainkan juga tidak jarang guru mereka. Lembar atau instrumen evaluasi guru merupakan keberanian sekolah untuk menilai salah satu kompetensi guru, yaitu kompetensi kepribadian.Mengajak para siswa untuk menilai dan mengevaluasi kepribadian guru ialah cara yang bisa dilakukan setiap konselor sekolah dalam rangka menurunkan problem sosial kenakalan anak. Dengan memberi siswa kepercayaan untuk menilai guru mereka, itu menjadikan siswa percaya diri dan menurunkan perilaku negatif.

Menjadikan konselor sebagai sahabat siswa juga dapat dilakukan dengan cara membuat skema pembelajaran untuk topik apa pun dengan melibatkan konselor. Karena pembimbingan bukan hanya terjadi ketika masalah muncul, pembimbingan dapat dilakukan justru pada saat anak tidak mempunyai masalah, tetapi dikenalkan dengan ragam masalah-masalah sosial di sekitar mereka. Di sekolah Sukma Bangsa, tak jarang guru dan konselor berkolaborasi membuat skema pembelajaran yang diasuh bersama, bahkan hingga membuat class project yang disepakati antara guru, konselor dan siswa.

Salah satu jenis class project yang sering diinisiasi guru, konselor, dan siswa ialah membantu teman mereka yang sedang mengalami kesulitan. Save our brother dijadikan sebagai tagline kegiatan bersama bilamana ditemukan ada masalah atau kesulitan yang dialami teman-teman mereka. Pada suatu saat, misalnya, di Sekolah Sukma Bangsa, ada anak yang hampir dikeluarkan dari sekolah karena tak pernah membayar kewajibannya hampir setahun. Setelah diselidiki, ternyata ayah teman mereka memang sudah di PHK dari pekerjaannya. Barulah kemudian konselor dan rekan guru serta siswa menjalankan save our brother dengan cara mengumpulkan sedikit dari uang jajan mereka hari itu untuk disumbangkan ke teman mereka yang punya masalah. Alhasil, setelah 3 bulan, teman mereka dapat meneruskan sekolah dan membayar kewajibannya.

Menjadikan konselor sebagai sahabat siswa juga dapat dilakukan dengan membuat parent day program yang temanya disesuaikan dengan hasil polling para siswa. Konselor biasanya memberikan kuis tentang pola hubungan anak-orangtua yang dirasakan para siswa, kemudian hasilnya dijadikan pokok bahasan utama dengan memanggil para orangtua ke sekolah dan dibuat training kepengasuhan.

Pola itu juga cukup efektif untuk mendorong partisipasi orangtua terhadap proses tumbuh-kembang anak-anak mereka di sekolah. Selain itu, sekolah juga dapat merancang career day setahun tiga kali, sesuai dengan hasil polling siswa tentang jenis profesi yang mereka ingin ketahui lebih lanjut.

Akhirnya, seperti ditulis Hartono dan Soedarmadji (2012), setidaknya ada lima fungsi konseling yang harus dipahami tidak saja oleh para konselor, tetapi juga oleh para guru, orangtua, dan siswa. Kelima fungsi tersebut ialah fungsi pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi pengentasan, fungsi pemeliharaan, dan fungsi advokasi. Kelima fungsi itu jelas memerlukan dukungan semua pihak, terutama dari kepala sekolah, guru, orangtua, dan siswa agar para konselor sekolah dapat membuat program yang sesuai dengan ragam fungsi konseling, seperti yang terjadi di Sekolah Sukma Bangsa. Dengan demikian, salah sangka terhadap posisi dan fungsi konselor atau para guru BK dapat dihindari sedini mungkin dan masalah yang menimpa warga sekolah dapat ditekan dan dihindari.

Guru BK di Sekolah

Guru BK di Sekolah

Junaidi Abdul Munif  ;  Direktur el-Wahid Center, Semarang
                                            MEDIA  INDONESIA, 31 Agustus 2015       

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERMASALAHAN pelajar dalam dunia pendidikan di Indonesia semakin kompleks.Sebagai manusia yang berakal budi, mereka tidak bisa luput dari persoalan sebagaimana manusia lainnya. Sebagai anak yang sedang dalam masa belajar, masalah pribadi akan berpengaruh pada proses belajar mereka di sekolah.Persoalan siswa di sekolah memiliki hubungan timbal balik dengan kehidupan di luar sekolah, baik dari lingkungan keluarga maupun pergaulan.

Siswa di sekolah tidak hanya menerima pelajaran untuk meningkatkan kompetensi dan pengetahuannya. Psikologi siswa berpengaruh pada tingkat penerimaan dan pemahaman pelajaran. Mengapa ada murid yang mendapat nilai jelek untuk beberapa pelajaran, sementara nilai murid yang lain nilainya bagus? Sering kita mendengar stigma anak bodoh hanya karena tidak mendapatkan nilai bagus dalam mata pelajaran tertentu. Masalah psikologis itulah yang belum mendapatkan `ruang pendidikan' maksimal dari sekolah.

Hakikatnya, semua guru memiliki peran membimbing dan pada situasi tertentu sebagai konselor. Guru bertugas menyiapkan anak didiknya dengan seperangkat kompetensi dan mental untuk menyongsong kehidupan mendatang.Seiring perkembangan zaman, demi kebutuhan proses pengajaran dengan pelajaran yang berbeda, peran konseling dibebankan pada guru tertentu.

Sejak Kurikulum 1975, kebutuhan memberikan ruang pendidikan psikologis untuk siswa sudah diakomodasi dengan kehadiran guru BK (bimbingan dan konseling).Pada KTSP, program BK di sekolah fokus pada layanan pengembangan diri yang bertujuan menumbuhkembangkan kompetensi siswa sesuai dengan potensinya (Mulyasa, 2005).

Dengan ekspektasi tinggi yang disematkan pada siswa terhadap nilai, siswa yang tidak bisa memenuhinya akan mengalami stres, takut, dan gelisah ketika belajar di kelas.Ekspresi kenakalan akhirnya menjadi luapan ketika dia merasa tidak nyaman dengan lingkungannya, baik itu lingkungan di sekolah maupun di luar sekolah. Kejenuhan di sekolah dilampiaskan dengan membolos. Berbagai kasus kenakalan pelajar merupakan dampak selanjutnya.

Terlebih, saat ini pelajar dengan mudah bisa mendapatkan banyak informasi dari luar sekolah. Hal itu memberikan pengaruh pada kejiwaan anak. Anak sangat mungkin menghadapi benturan nilai antara kehidupan di sekolah.Yaitu nilai-nilai ideal di mata pelajaran dan tata tertib di sekolah dengan nilai-nilai yang mungkin tidak ideal di luar sekolah. Pada situasi seperti itu, anak yang sedang dalam masa perkembangan kejiwaan akan mengalami kesulitan mendefinisikan diri dan memilih nilai yang akan mereka pegang.

Bukan guru penghukum

Pada 1990-an, guru BK dikenal sebagai BP (bimbingan dan penyuluhan) yang memiliki kesan sebagai `guru penghukum' murid-murid bandel dan nakal. Guru BP seperti polisi yang merazia siswa yang tak lengkap berseragam upacara lengkap berseragam dan menunggu murid terlambat di pintu gerbang sekolah. Guru BP menjadi momok bagi siswa nakal. Ruang BP seperti ruang eksekusi murid bandel.

Di sekolah, guru BK juga hanya menjadi guru `kelas dua' karena tidak mengampu mata pelajaran yang di-UNkan. Dampak bimbingan dan konseling yang dirasakan untuk kenaikan atau kelulusan siswa pun bersifat tidak langsung. Karena kondisi yang demikian, banyak yang melirik peran guru BK dengan sebelah mata.Dengan kenyataan banyaknya kenakalan remaja saat ini, kita patut menempatkan peran guru BK sebagai salah satu solusi.

Sayangnya, jumlah guru BK sekarang hanya 38 ribu, padahal idealnya sebanyak 130 ribu. Peningkatan peran gutu BK diharapkan sebagai konselor siswa di jurusan SMA (Kompas, 14/8). Dari jumlah tersebut, berarti masih kurang 98 ribu guru agar mencapai ideal. Itu menjadi tugas perguruan tinggi keguruan demi menyiapkan calon guru BK yang mumpuni untuk mengajar di sekolah, memiliki kompetensi akademik, dan profesional.

Kesan guru BK sebagai guru penghukum mesti mulai dikikis. Pembinaan pada murid nakal bukan lagi dengan hukuman, melainkan pendekatan persuasif. Guru harus lebih banyak mendengar keluhan siswa. Namun, seperti lazimnya masyarakat Indonesia, orang kesulitan berterus terang tentang masalah yang dihadapi, terlebih bagi pelajar yang mungkin malu, ragu, dan takut untuk berkata jujur ketika curhat pada guru BK. Anak-anak kesulitan merangkai ka limat untuk menjelaskan perasaannya.

Itu tentu akan menyulitkan guru BK dalam mengidentifikasi dan memberikan solusi pada siswa. Namun, seiring de ngan penggunaan media sosial di kalangan siswa, guru BK dapat memantau mereka melalui status yang diunggah di Facebook, misalnya. Pasalnya, banyak remaja yang begitu mudah curhat ke media sosial ketimbang curhat dengan orangtua atau guru. Karena itu, guru BK yang baik ialah yang mampu menyesuaikan diri dengan gaya hidup dan pergaulan anak didik.

Teman bagi siswa

Guru BK ialah psikolog di sekolah. Kompetensi akademik menjadi garansi kualitas konseling guru BK. Sebagai ilmu, psikologi berkembang dengan temuan-temuan teori dan metode baru. Sementara itu, kompetensi profesional menjamin guru BK un tuk melakukan konse ling seturut kode etik dan menjamin jenjang karier guru BK selanjutnya.Pemerintah bisa memfasilitasi pelatihan untuk meningkatkan kemampuan guru BK.Sebagaimana guru lainnya, guru BK juga perlu menambah wawasan, pengalaman, dan metode terbaru dalam rangka konseling.

Sebagai konselor, guru BK diharapkan dapat memantau perkembangan psikologi siswa. Dia mesti tahu kondisi keluarga siswa. Pelajar di kota kecil dan perdesaan, misalnya, pun banyak yang membutuhkan motivasi, dorongan, atau sekadar pendengar dari persoalan sehari-hari yang dialami. Apalagi, anak-anak yang tumbuh di keluarga yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan dan pengajaran anaknya pada sekolah. Mereka rentan menemukan dua model kehidupan yang berbeda, antara di sekolah dan rumah yang tidak memiliki budaya belajar.

Guru BK harus menjadi tempat curhat siswa, lantas memberikan solusi terhadap persoalan kehidupannya. Baik itu menyangkut pelajaran di sekolah maupun kehidupan pribadi siswa. Pendekatan layaknya teman seumuran akan memudahkan pelajar usia belasan itu membuka diri. Kehidupan di luar sekolah berkembang semakin tidak terkendali dengan model pergaulan yang berakibat negatif jika pelajar salah pilih.

Banyak potensi guru BK yang selama ini belum maksimal. Itu ialah tugas pemangku kepentingan, terutama pemerintah, untuk mengatasi kesenjangan jumlah guru BK dan siswa agar mendekati ideal. Kita berharap, kehadiran guru BK dapat meminimalkan perilaku negatif siswa, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Guru BK punya peran penting dalam mempersiapkan pelajar sebagai generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Antropologi Manusia Indonesia

Antropologi Manusia Indonesia

Masdar Hilmy  ;  Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya
                                                       KOMPAS, 31 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Diskusi tentang apa dan siapa ”manusia Indonesia” sudah pernah mengisi ruang-ruang perdebatan akademis di negeri ini. Antropolog Koentjaraningrat (1971) dan budayawan Mochtar Lubis (1977) termasuk segelintir perintis yang menginisiasi sekaligus menstimulasi perdebatan dimaksud. Terlepas dari kontroversi, subyektivitas, dan ketidaksempurnaan rumusan masing-masing, keduanya telah membuka horizon baru bagi perdebatan publik tentang identitas ”kedirian” (the self) orang Indonesia.

Memasuki HUT Ke-70 RI, ada baiknya lembaran diskusi tentang sosok manusia Indonesia kita buka kembali guna menjawab segala tantangan zaman yang makin kompleks. Hal ini penting sebagai batu pijakan untuk mengonstruksi apa dan siapa sebenarnya manusia Indonesia dalam konteks kekinian dan ke depan. Anggaplah rumusan manusia Indonesia versi kedua tokoh di atas merepresentasikan zeitgeist pada zamannya, maka upaya memotret konsep kedirian bangsa merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Identitas nasional

Kini Indonesia dihadapkan pada tantangan yang luar biasa dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta percaturan politik-ekonomi global. Persaingan antarbangsa tak jarang ditandai ancaman negara gagal akibat ketidakmampuannya merespons secara baik tantangan-tantangan dimaksud.

Yunani adalah gambaran nyata dari ketidakmampuan sebuah negara untuk berdialektika atau ”berdamai” dengan tantangan persaingan global yang makin keras. Dalam konteks inilah, peta konfigurasi bangsa-bangsa dalam percaturan global akan meneguhkan palu godam Darwinisme sosial: the survival of the fittest.

Meminjam Joseph S Nye Jr (2004), keberhasilan dan kegagalan sebuah bangsa dalam merespons tantangan global tentu saja tidak hanya ditentukan oleh ”kuasa keras” (hard power), seperti kekuatan ekonomi-politik-militer, untuk menopang eksistensi dirinya. Lebih dari itu, nilai-nilai intrinsik sosial-budaya adalah ”kuasa lunak” (soft power) yang tak kalah pentingnya. ”Kuasa lunak” dalam konteks ini adalah sistem nilai yang dapat membentuk kebanggaan nasional yang digali secara otentik dari sumber-sumber kesejarahan sebuah bangsa dan bernilai kompetitif bagi keberlangsungan bangsa tersebut.

Dalam struktur anatomi sebuah bangsa, ”kuasa lunak” menjadi ruh yang akan menghidupi sekaligus membangkitkan ”kuasa keras” bangsa dimaksud. ”Kuasa keras” semata, tanpa ”kuasa lunak” yang kokoh, tak akan mampu menopang eksistensi dan keberlangsungan sebuah bangsa. Dalam hal ”kuasa keras” tak dapat lagi menopang eksistensi sebuah bangsa, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus menggali dan mengonstruksi kembali ”kuasa lunak” yang akan memandu kita mendefinisikan sosok manusia Indonesia sebenarnya.

Persoalan tentang daya tahan sebuah bangsa juga pernah dilontarkan Rousseau, sebagaimana dikutip Samuel P Huntington (2004: 11): ”If Sparta and Rome perished, what state can hope to endure forever?” Seperti diketahui, Sparta dan Romawi adalah dua imperium besar yang pernah berjaya dan menguasai dunia pada zamannya. Namun, mengapa keduanya musnah ditelan bumi? Apa yang menyebabkan kehancuran keduanya? Apa pula kekuatan yang dapat menopang keberlangsungan sebuah bangsa—belajar dari kehancuran dua peradaban besar tersebut—agar tetap bertahan selama mungkin?

Pertanyaan kritis Rousseau di atas sengaja dijadikan oleh Huntington sebagai terapi kejut bagi bangsa Amerika yang dianggapnya telah terlena (lebih tepatnya intoxicated, teracuni) oleh kedigdayaannya sendiri dalam percaturan politik global selama beberapa dekade terakhir, hingga akhirnya terjadi tragedi 11 September 2001. Serangan teroris yang meluluhlantakkan dua menara kembar WTC di New York senyatanya telah memukul secara telak kesadaran dan identitas kolektif warga Amerika sebagai sebuah bangsa. Tragedi tersebut diidentifikasi Huntington sebagai titik balik untuk merefleksikan kembali konsep kedirian bangsa Amerika dalam rangka bangkit dari keterpurukan.

Upaya untuk mengonstruksi kembali identitas bangsa Amerika kemudian dirumuskan oleh Huntington ke dalam sebuah pertanyaan retoris yang sekaligus menjadi judul bukunya: ”Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (2004). Menurut Huntington, menjadi Amerika bukanlah sebuah proses statis sekali jadi. Lebih jauh dari itu, menjadi Amerika adalah sebuah pergulatan eksistensial panjang yang tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur lama, seperti faktor WASP (White Anglo-Saxon Protestant), tetapi juga unsur-unsur baru yang akan menegosiasi identitas lama tersebut secara terus-menerus.

Memang Indonesia bukanlah Amerika. Keduanya memiliki tantangan yang juga berbeda. Meski demikian, kebutuhan bagi keduanya untuk tetap sintas sebagai sebuah bangsa tetaplah sama. Oleh karena itu, pencarian eksistensial tentang apa dan siapa manusia Indonesia menemukan relevansinya di sini.

Parameter obyektif

Jika Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis telah merintis sebuah upaya pencarian eksistensial tentang sosok manusia Indonesia dari perspektif ”subyektivitas budaya” pada konteks historisitasnya, maka Indonesia saat ini butuh sebuah rumusan yang jauh lebih kontekstual dan obyektif. Rumusan semacam inilah yang nantinya akan menjadi referensi sekaligus kompas eksistensial bagi manusia Indonesia ke depan, yang pada gilirannya dapat menyangga eksistensi kedirian bangsa ini dari terpaan krisis identitas kebangsaan.
Yang dimaksud parameter obyektif di sini adalah hasil-hasil pengukuran berkala tentang beberapa karakteristik bangsa- bangsa di dunia, seperti: (1) indeks pembangunan manusia; (2) indeks demokrasi; (3) indeks korupsi; (4) indeks kebebasan sipil; (5) indeks toleransi beragama, dan indeks lain yang menggambarkan keadaban dan tertib sipil. Indeks-indeks semacam inilah yang lebih mewakili realitas manusia Indonesia yang tak terbantahkan karena bersifat obyektif-empiris-kontekstual.

Memotret sosok manusia Indonesia dari perspektif parameter obyektif di atas, di samping dapat menghindarkan kita dari perdebatan subyektif tanpa ujung, juga dapat menghindarkan diri kita dari jebakan esensialisme kultural yang cenderung stereotipikal dan peyoratif.

Tentu sebagian kita akan meradang ketika kita disebut sebagai bangsa hipokrit, enggan bertanggung jawab, atau suka jalan pintas dan semacamnya. Penilaian semacam itu jelas sebuah penghakiman yang cenderung menggeneralisasi manusia Indonesia secara keseluruhan, padahal tidak ada sebuah kategori yang berlaku untuk semua. Selalu ada kekecualian pada sebuah kategori sosiologis.

Jika kita merujuk hasil riset berbagai lembaga internasional tentang kelima indeks di atas, posisi Indonesia untuk konteks saat ini jelas tak terlalu menggembirakan. Jangankan dibandingkan negara maju, alih-alih posisi kita secara umum masih di bawah sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Realitas semacam inilah yang seharusnya dijadikan sebagai bahan refleksi bagi lintas kementerian untuk merumuskan cetak biru kebijakan di tingkat hulu sampai hilir tentang bagaimana membangun ”manusia Indonesia seutuhnya”, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.