Jumat, 21 Agustus 2015

Kemerdekaan atau Kemerekaan

Kemerdekaan atau Kemerekaan

Yudhistira ANM Massardi  ;   Sastrawan;
Pengelola Sekolah Gratis untuk Duafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
                                                       KOMPAS, 20 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kalimat pertama pada teks proklamasi yang dibacakan Bung Karno 70 tahun silam berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia".

Sebenarnya, apakah yang kita proklamasikan 70 tahun silam itu? Kemerdekaan atau kemerekaan? Indonesia merdeka atau Indonesia mereka?

Kelanjutan pertanyaan retrospektif itu kemudian adalah: setelah itu, lalu apa?

Pertama-tama, mari kita lihat cermin retak sejarah. Dari sana, kita melihat keterkaitan nasib Indonesia dengan Jepang dan Korea Selatan. Ketiga negara ini sama-sama rusak parah pasca Perang Dunia II dan sama-sama harus memulai hidup baru sesudah Agustus 1945.

Bedanya, Jepang adalah negara yang mengalami kehancuran akibat perang yang dimulainya sendiri sebagai penjajah, sedangkan Korea Selatan adalah negara yang dijajah Jepang jauh lebih lama dibandingkan Indonesia.

Jepang dihancurkan oleh bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada 15 Agustus 1945. Maka, sebagai negara jajahan, Korea Selatan langsung menyatakan kemerdekaannya pada hari itu juga. Indonesia baru bisa menyatakan kemerdekaan dua hari sesudahnya.

Melahirkan 150 juta anak

Sekali lagi, pertanyaan kita adalah: setelah itu, lalu apa?

Di bawah kontrol tentara pendudukan Amerika Serikat, Jepang-yang tak memiliki sumber daya alam apa pun-mampu menggenjot kembali mesin-mesin industrinya. Hanya dalam waktu lima tahun (awal 1950-an), barang-barang produksinya sudah membanjiri pasar dunia: radio, tape recorder, arloji, kamera, alat-alat musik, sepeda motor, dan mobil.

Tahun 1964, mereka sudah mampu menyelenggarakan Olimpiade Tokyo dan membangun kereta api tercepat dunia (Shinkansen). Tahun 1970-an, hanya 25 tahun setelah kehancurannya, pendapatan nasional bruto (PNB) Jepang (populasi 127 juta jiwa) sudah setara dengan PNB Inggris Raya ditambah PNB Perancis!

Bagaimana dengan Korea Selatan? Pada dekade kedua abad ke-21, terutama berkat revolusi di bidang teknologi informasi berbasis internet, kita menyaksikan Korea Selatan, negeri berpenduduk 49 juta jiwa, tengah mengepakkan sayap untuk menguasai dunia. PNB-nya 20.870 dollar AS (bandingkan dengan Indonesia dengan PNB 2.963 dollar AS)!

Dan Indonesia?

Satu hal yang pasti, setelah pernyataan kemerdekaan itu, kita mampu melahirkan sekitar 150 juta anak Indonesia baru! Tahun 1945, menurut pidato Bung Karno, populasi kita 70 juta jiwa, dan berdasarkan perkiraan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, pada 2013 penduduk Indonesia sudah 250 juta jiwa.

Setelah itu, lalu apa?

Kini, menurut daftar kekayaan yang dilansir di berbagai media (Forbes, Globe Asia), sekurang-kurangnya kita punya 125 orang Indonesia yang jumlah kekayaannya di atas 100 juta dollar AS. Sepuluh orang di antaranya memiliki kekayaan lebih dari 1 miliar dollar AS (berarti belasan hingga puluhan triliun rupiah).

Jurang kaya-miskin

Menurut Lembaga Penjamin Simpanan pada  22 Juli 2011, jumlah rekening simpanan nasabah bank di Indonesia dengan nominal di atas Rp 5 miliar ada 42.120 rekening alias hanya 0,04 persen dari jumlah rekening keseluruhan (sekitar 100 juta rekening). Total simpanan pada segmen tersebut Rp 1.005,40 triliun dari total simpanan Rp 2.494,71 triliun.

Artinya, jumlah kekayaan yang tersimpan di 42.120 rekening itu hampir setara dengan jumlah kekayaan yang tersimpan di 99.957.880 rekening. Jadi, rerata setiap rekening kelompok mayoritas ini menyimpan Rp 15 juta, berbanding Rp 5 miliar tabungan kelompok minoritas (0,04 persen).

Jadi, selama 70 tahun merdeka, kita berhasil melahirkan sekitar 50.000 miliarder, yang kekayaannya di atas Rp 5 miliar, yang menikmati nirwana kemerdekaan secara paripurna. Kemakmuran mereka menjulang di atas 249.950.000 orang lain. Mayoritas populasi di republik kita tercinta ini masih belum merdeka dari kekurangan sandang-pangan-papan. Menurut Badan Pusat Statistik, Maret 2014, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,28 juta orang atau 11,25 persen.

Bunyi tanpa makna

Kita tentu harus menghormati dan menghargai mereka yang berhasil memperoleh kemakmuran berkat kerja keras, kerja cerdas, ketajaman insting membaca peluang, serta keberanian mengambil risiko, termasuk mereka yang beruntung mendapat warisan dari pendahulu yang berkelimpahan. Namun, kita harus mengecam mereka yang memakmurkan dirinya melalui jalan korupsi dalam berbagai bentuk, perdagangan narkoba, dan aneka kejahatan lain.

Di sisi lain, kita pun menyadari, ada kemiskinan yang terpaksa dialami sebagian bangsa kita bukan karena mereka malas, melainkan karena secara struktural kondisi mereka memang termiskinkan secara absolut: nelayan, petani gurem, warga desa tertinggal, dan buruh tanpa alat tanpa keterampilan. Kemiskinan melilit sejak moyang mereka dan negara gagal menolong mereka melalui program-program pembangunan kelistrikan, pertanian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan air bersih. Jadi, kesempatan tak pernah singgah pada mereka.

Jika sebagian besar dari saudara kita masih belum beranjak dari situasi dasar "merdeka dari." dan belum memasuki tahap "merdeka untuk.", berarti secara fundamental kita masih bangsa terjajah. Teks proklamasi "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia" masih merupakan sederet bunyi tanpa makna.

Itu artinya, kemerdekaan belum terjadi. Hanya ada kemerekaan. Pembedanya hanya satu huruf (d), tetapi maknanya adalah: 70 tahun Indonesia merdeka, baru bisa menjadi rumah "mereka", belum bisa menjadi rumah bersama, tempat "mereka" dan "kami" bisa berkumpul sebagai "kita."

Entahlah nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar