Sabtu, 22 Agustus 2015

RAPBN 2016 Menepis Krisis

RAPBN 2016 Menepis Krisis

Yusuf Wibisono  ;   Direktur Ideas (Indonesia Development and Islamic Studies)
                                                 KORAN TEMPO, 21 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah pesimisme terhadap perekonomian nasional, RAPBN 2016 menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk memulihkan kepercayaan pelaku pasar. Pemerintah terlihat banyak belajar dari APBN-P 2015 yang sangat ambisius dan justru menjadi "kartu mati" perekonomian. Setelah memegang tampuk kuasa, Presiden Joko Widodo bergerak cepat melakukan perubahan anggaran melalui APBN-P 2015 pada awal tahun dengan langkah terpenting berupa pengurangan subsidi energi hingga 60 persen, yakni dari Rp 342 triliun menjadi hanya Rp 138 triliun. Meski didukung sejumlah rasionalitas ekonomi yang kuat, penurunan subsidi BBM dan listrik ini secara cepat memukul daya beli dan konsumsi masyarakat, terutama melalui jalur kenaikan tarif transportasi dan logistik.

Pelemahan daya beli dan konsumsi masyarakat ini diperparah kenaikan target penerimaan pajak 2015 yang signifikan-hingga 30 persen-terutama PPh non-migas dan PPN yang masing-masing dipatok tumbuh 37 persen dan 41 persen. Reformasi anggaran Presiden Widodo jelas terlihat mengejar penciptaan fiscal space dari dua arah sekaligus, yakni pencabutan subsidi dan peningkatan penerimaan perpajakan. Ambisi meningkatkan ruang gerak fiskal secepatnya untuk memenuhi janji-janji kampanyenya harus dibayar mahal: pelemahan konsumsi swasta yang luas.

Pelemahan ekonomi domestik ini bertemu dengan suramnya situasi eksternal akibat berlanjutnya pelemahan harga komoditas dunia dan jatuhnya permintaan global. Pelemahan ekspor yang beriringan dengan penguatan dolar secara global akibat spekulasi pengetatan moneter Amerika Serikat segera menekan rupiah. Sementara pada awal 2015 kurs rupiah masih berada di kisaran 12.400 per dolar, pada Juli rupiah longsor ke level 13.300. Bahkan rupiah sempat menembus angka Rp 13.800 per dolar pada Agustus. Penurunan signifikan subsidi energi yang semestinya membantu defisit transaksi berjalan dan nilai tukar tak mampu menahan kejatuhan rupiah.

Industri manufaktur yang mengalami pukulan dari turunnnya penjualan dan kenaikan biaya produksi semakin tertekan oleh depresiasi rupiah karena masih tingginya ketergantungan pada impor. Pengusaha tidak berani menggeser beban ini ke harga produk karena lemahnya daya beli konsumen. Menurunkan produksi dan merumahkan karyawan menjadi pilihan pahit. Gelombang PHK pun tak terelakkan, sementara investasi swasta melemah.

Pemerintah yang sejak awal berniat mendorong perekonomian terutama melalui belanja modal yang naik hingga hampir dua kali lipat-dari Rp 147 triliun menjadi Rp 276 triliun-justru berbalik semakin menekan pertumbuhan karena rendahnya penyerapan anggaran. Ratusan triliun dana pemerintah menganggur di tengah lemahnya perekonomian, termasuk anggaran di daerah. Hasilnya, perekonomian kuartal I dan II 2015 hanya mampu tumbuh 4,72 persen dan 4,67 persen, atau terendah sejak 2009.

RAPBN 2016 kini terlihat realistis serta kembali ke pola "normal" dan berperan sebagai counter-cycle policy. Secara nominal, penerimaan pajak hanya ditargetkan meningkat 5 persen. Konsumsi swasta yang melemah signifikan, dari tumbuh 12,3 persen tahun lalu menjadi hanya 4,7 persen pada kuartal I 2015, bahkan membuat PPN diproyeksikan tumbuh negatif-pertama kali sejak 2009. Peran BUMN dalam pembangunan terlihat terus didorong dengan terus turunnya target penerimaan laba BUMN hingga 15 persen, atau dua kali lipat dari penurunan 2015. Secara riil, penerimaan pajak menurun dari tax ratio 12,72 persen pada 2015 menjadi hanya 12,04 persen pada 2016.

Di sisi lain, belanja negara untuk pertama kalinya didorong hingga menembus Rp 2.000 triliun melalui peningkatan defisit fiskal menjadi 2,1 persen dari PDB, yang semula 1,9 persen pada 2015. Meski berlanjut, laju penurunan subsidi energi jauh menurun, yakni menjadi 12 persen dari 60 persen pada 2015. Subsidi bunga kredit program melejit lima kali lipat dari Rp 2,5 triliun menjadi Rp 16,5 triliun.

Sementara itu, belanja infrastruktur pemerintah dipertahankan di atas 2 persen dari PDB, yaitu di kisaran 2,4 persen, lebih tinggi daripada era SBY yang di bawah 2 persen dari PDB. Transfer ke daerah semakin meningkat terutama melalui dana alokasi khusus dan dana desa. Setelah berlipat ganda pada 2015, DAK fisik meningkat 56 persen pada 2016. Sedangkan dana desa yang baru ditetapkan tahun ini langsung melesat 126 persen pada 2016.

Meski telah memberi sejumlah sinyal positif ke pasar, pelaksanaan RAPBN 2016 tidak akan mudah. Tantangan terberat pemerintah adalah mengejar asumsi ekonomi makro yang optimistis. Dengan lemahnya konsumsi domestik dan ekspor, asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen membutuhkan extra effort untuk dicapai. Asumsi nilai tukar Rp 13.400 per dolar membutuhkan reformasi struktural agar kokoh menghadapi "taper tantrum" tidak hanya dari The Fed, tapi juga ECB dan BoJ.

Tantangan berikutnya adalah rendahnya penyerapan anggaran belanja modal, dari karena faktor lambatnya proses administrasi, kepastian hukum, hingga pembebasan lahan. Lebih jauh lagi, dari belanja infrastruktur senilai Rp 313,5 triliun yang digadang untuk pertumbuhan, yang sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah pusat hanya 53 persen. Sisanya tersebar di bawah kontrol pemerintah daerah (18 persen), pemerintah desa (6 persen), dan BUMN (13 persen). Pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan target belanja infrastruktur ini tercapai. Dengan membuat transfer ke daerah lebih besar dari belanja kementerian/lembaga-pertama kalinya sejak 2011-RAPBN 2016 juga bertaruh besar dengan semakin bergantung pada kinerja daerah.

RAPBN 2016 juga memiliki sejumlah catatan. Defisit fiskal untuk membiayai peningkatan belanja harus dibayar penarikan utang luar negeri yang melonjak hingga 50 persen-terutama untuk pinjaman program yang meroket hampir lima kali lipat-sedangkan pinjaman proyek justru turun 7 persen. Untuk pertama kalinya sejak 2004, pembiayaan luar negeri neto bernilai positif. Kebijakan afirmatif untuk lepas dari tekanan asing, ironisnya, justru kandas di tangan Presiden Widodo yang mencita-citakan kemandirian bangsa.

Kembali dipangkasnya anggaran subsidi hingga nilainya hampir sama dengan pembayaran bunga utang menimbulkan pertanyaan tentang keberpihakan pemerintah. Subsidi listrik adalah salah satu subsidi utama yang terus dipangkas. Setelah turun 28 persen pada 2015, subsidi melorot 32 persen tahun depan. Jika tren ini tidak berubah, dipastikan RAPBN 2017 mencatat untuk pertama kalinya anggaran subsidi lebih rendah daripada pembayaran bunga utang- sesuatu yang segera akan dimaknai bahwa kepentingan rakyat lebih rendah daripada kepentingan investor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar