Minggu, 23 Agustus 2015

Pembangunan dan Kerja

Pembangunan dan Kerja

Bandung Mawardi  ;   Esais
                                                 KORAN TEMPO, 22 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 18 Agustus 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Makloemat Kepada Rakjat Indonesia, yang berisi empat kalimat. Maklumat memberi penerangan tentang tujuan kemerdekaan. Kita membaca ada penguatan makna merdeka dan pembangunan. Kalimat pertama: "Dengan ini dimakloemkan bahwa pembangoenan negara Indonesia merdeka jang dikehendakkan oleh rakjat sekalian diwaktoe ini sedang didjalankan dengan saksama." Penggunaan istilah "saksama" berkesan pemerintah memang serius dan bertanggung jawab. Semula, istilah itu sudah muncul di teks proklamasi, 17 Agustus 1945. Saksama bisa berarti cermat, hati-hati, teliti, akurat, atau jitu (Eko Endarmoko, 2006). Dua teks konsisten menggunakan istilah "saksama". Barangkali istilah itu paling manjur untuk membuktikan kemerdekaan dan pembangunan.

Istilah pembangunan tentu bertaut ke lirik lagu gubahan W.R. Soepratman: "bangoenlah djiwanja, bangoenlah raganja". Pemilihan istilah dan pemaknaan pembangunan dalam maklumat tampak menjelaskan situasi genting, sehari setelah Indonesia merdeka. Kekacauan masih terjadi. Kebingungan masih melanda jutaan orang untuk mengekspresikan kemerdekaan. Para pemimpin belum terlalu memiliki modal mengartikan merdeka. Proklamasi segera digenapi penetapan UUD 1945 dan pembentukan kabinet. Pembangunan mesti segera dimulai dengan kepastian Indonesia telah merdeka, tak lagi diperintah Belanda atau Jepang. Di ujung maklumat, Sukarno-Hatta berlaku sebagai pemimpin bijak: "Diharap sekalian rakjat Indonesia dari segala lapisan tinggal tenteram, tenang, siap-sedia dan memegang tegoeh disiplin." Pembangunan dipastikan dimulai dengan seribu impian.

Indonesia adalah "negara belia", bergerak masih lambat dan rawan terkena kutukan bernama pesimisme. Sukarno-Hatta bekerja dan berbakti. Para menteri menjalankan tugas-tugas berat. Para petani menunaikan pembangunan di sawah. Butuh-buruh bekerja. Indonesia berlakon pembangunan meski masih sulit menepis kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Pembangunan selalu diharapkan saksama, tak sembrono atau serampangan. Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir mengingatkan: "Bagi rakjat djelata njata bahwa sembojan merdeka itoe tidak sadja berarti negara Indonesia jang berdaoelat, poen tidak poela sadja bendera merah-poetih baginja berarti simbol persatoean dan tjita-tjita bangsa dan negara, akan tetapi teroetama kemerdekaan dirinja sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan merah-poetih baginja teroetama simbol perdjoeangannja itoe, jaitoe perdjoeangan kerakjatan." Sjahrir menilai agenda-agenda pembangunan belum sukses.

Kini, sejarah Indonesia sudah bergerak jauh. Usia 70 tahun diartikan oleh Joko Widodo dengan kerja, tak lagi meniru penggunaan istilah pembangunan. Soeharto sudah terlalu "memiliki" dan "membakukan" pembangunan selama 32 tahun. Joko Widodo memilih kerja, berharap bisa membuktikan janji kemerdekaan demi berbakti kepada ratusan juta orang Indonesia. Istilah kerja telanjur tercantum dalam dokumen dan spanduk meski pesimisme masih melanda. Barangkali Joko Widodo, menteri, gubernur, bupati, dan wali kota harus semakin "saksama" dalam kerja. Kita ingin "saksama" bermula dengan kesungguhan dan keikhlasan demi kemuliaan Indonesia. Kerja itu pembuktian, tak melulu pidato singkat atau tulisan di ribuan spanduk!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar