Jumat, 21 Agustus 2015

Konstitusi Masyarakat Terbelah

Konstitusi Masyarakat Terbelah

Munafrizal Manan  ;   Alumnus University of Melbourne, Australia,
dan Universiteit Utrecht, Belanda
                                                       KOMPAS, 20 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Negara majemuk seperti Indonesia senantiasa menghadapi tantangan membangun relasi sosial yang harmonis dan toleran. Dalam usianya yang ke-70 pada tahun ini, konflik horizontal disertai kekerasan yang dipicu atau dibungkus isu primordial masih tetap aktual. Hubungan mayoritas-minoritas bak api dalam sekam di negara Bhinneka Tunggal Ika ini.

Memang tidak mudah membangun relasi sosial ideal dalam masyarakat terbelah dalam (deeply divided societies) secara etnik, ras, agama, dan budaya. Jauh lebih sulit menegakkan dan merawat demokrasi dalam masyarakat terbelah daripada dalam masyarakat homogen (Arend Lijphart, 2004:96-97). Apalagi jika absen saling percaya dalam interaksi sosial. Masyarakat terbelah juga rentan eksplosif jika dimanipulasi jadi sumber mobilisasi dan fragmentasi politik, dan klaim politik dibelokkan melalui lensa identitas primordial (Sujit Choudhry [ed], 2008:5).

Padahal, ketidakmampuan atau kegagalan menciptakan konstruksi sosial yang harmonis dan toleran potensial memantik konflik sosial, perang sipil, genosida, dan bahkan disintegrasi negara. Kasus eks Yugoslavia, Rwanda, dan Sudan adalah contoh tragis. Bahkan di negara-negara maju yang telah berpengalaman lama menerapkan demokrasi konstitusional pun, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Australia, hingga saat ini masih ada sebagian masyarakatnya yang bersikap rasial.

Mayoritas-minoritas

Banyak negara yang masyarakatnya multikultural, multietnik, dan multireligi menghadapi tantangan relatif sama, yaitu bagaimana membangun hubungan mayoritas-minoritas yang harmonis dan toleran. Ketakmampuan atau kegagalan mengatasi tantangan ini potensial menyulut apa yang disebut oleh Richard Simeon dan Luc Turgeon (2007:82) sebagai insecure majority, yaitu mayoritas menindas dan mendominasi minoritas, dan insecure minority, yaitu minoritas memberontak dan memisahkan diri dari mayoritas.

Dalam optik konstitusi, buruknya kohesi sosial yang berakar pada masyarakat terbelah sebagai tanda ada problema konstitusional. Ini disebabkan oleh kedua atau salah satu dari diagnosis konstitusional berikut. Pertama, apakah konstitusi yang berlaku menyediakan basis konstitusional memadai untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan toleran? Kedua, apakah kultur berkonstitusi masyarakat (pemahaman konstitusi dan kesadaran berkonstitusi) terbangun secara utuh dan luas?

Jika masalahnya berkaitan dengan diagnosis pertama, ini pertanda perlunya mendesain konstitusi yang kompatibel dengan upaya mengelola masyarakat terbelah. Beberapa pakar, antara lain Arend Lijphart (1977), Donald L Horowitz, (1991), dan Giovanni Sartori (1994), mengembangkan formula "rekayasa konstitusi" untuk menciptakan relasi sosial yang harmonis dan toleran dalam masyarakat terbelah.

Rekayasa konstitusi dilakukan sejak tahap penyusunan draf konstitusi. Konstitusi disusun dengan mempertimbangkan karakter sosiologis masyarakat terbelah. Pada tahap inilah pengakuan dan jaminan atas perbedaan identitas sosial hingga pembagian kekuasaan dirumuskan. Afrika Selatan (1996), misalnya, melakukan ini ketika merancang/menulis (ulang) konstitusinya pasca rezim apartheid.

Para pendiri Republik Indonesia sedari awal paham betul bahwa konstitusi yang disusun harus mengakui dan melindungi keragaman masyarakat. Meskipun dalam forum BPUPKI, PPKI, dan Dewan Konstituante sempat muncul perdebatan sengit mengenai pilihan dasar negara, pada akhirnya disadari bahwa keberlanjutan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sangat bergantung pada ada atau tidaknya pengakuan dan jaminan atas kemajemukan masyarakat. Jalan sejarah NKRI mungkin akan bergerak ke arah lain jika nihil kesadaran pluralistik ini.

Dengan demikian, problema konstitusional masyarakat terbelah Indonesia tidak berkaitan dengan aspek diagnosis pertama. UUD 1945 sejak disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sudah memberikan pengakuan dan jaminan atas keragaman masyarakat meskipun cakupannya minim. Pengakuan dan jaminan ini kini menjadi semakin mantap setelah UUD 1945 mengalami perubahan/amandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga 2002. Ini dapat ditemukan pada butir-butir UUD 1945 dalam bab-bab tentang hak asasi manusia, agama, dan kebudayaan. UUD 1945 merupakan konstitusi masyarakat terbelah.

UUD 1945 melampaui nilai partikular atau dominan tertentu sehingga konstitusi Indonesia merefleksikan dan merepresentasikan pluralitas masyarakat Indonesia. UUD 1945 merupakan, meminjam istilah Hanna Lerner dalam Making Constitutions in Deeply Divided Societies (2011), a basic charter of the state's identity dan the common denominator of the polity. Kemajemukan masyarakat seharusnya dapat hidup koeksisten dengan damai di bawah naungan UUD 1945.
Maka, problema konstitusional masyarakat terbelah Indonesia tampaknya lebih berhubungan dengan diagnosis kedua, yaitu kultur berkonstitusi yang belum terbangun holistik dan komprehensif. Ini adalah sinyal urgensi menyelenggarakan sekolah konstitusi bagi masyarakat agar konstitusi menjadi hidup (the living constitution).

Sejauh ini belum ada upaya sistematis, intensif, dan masif membangun kultur berkonstitusi masyarakat. MPR dan Mahkamah Konstitusi, misalnya, memang telah berinisiatif melakukan sosialisasi dan diseminasi pengetahuan dan pemahaman tentang UUD 1945. Namun, frekuensinya masih jauh dari cukup untuk Indonesia yang sangat luas wilayahnya dan sangat banyak penduduknya.

Kultur berkonstitusi

Ada kecenderungan, kesadaran berkonstitusi masyarakat masih sebatas bersifat vertikal, muncul manakala hak konstitusional mereka dilanggar oleh UU yang dibuat oleh legislator. Indikasinya adalah intensitas pengujian UU di MK yang dimohonkan oleh anggota masyarakat. Sebaliknya, ada kecenderungan defisit kesadaran berkonstitusi yang bersifat horizontal (relasi sosial). Buktinya, disharmoni dan intoleransi di kalangan masyarakat mudah menyulut konflik horizontal disertai kekerasan. Masyarakat justru menjadi pelaku pelanggaran hak konstitusional masyarakat lain.

Kendati demikian, di sini aspek elitis konstitusi Indonesia harus pula dipertimbangkan. Konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia adalah produk eksklusif elite politik. Proses pembuatan dan pengesahannya dimonopoli oleh elite politik. Rakyat yang oleh konstitusi diakui sebagai pemegang kedaulatan justru tidak pernah dimintai persetujuan melalui referendum untuk mengesahkan draf konstitusi yang disusun oleh elite politik. Ironisnya, konstitusi elitis itu pun tidak selalu dipatuhi oleh elite politik. Maka, tidak heran jika rakyat bersikap sinis terhadap konstitusi dan merasa terasing dari konstitusi.

Sebagai hukum dasar dan tertinggi dalam kehidupan bernegara, konstitusi sesungguhnya dapat berfungsi konstruktif bagi masyarakat terbelah. Konstitusi menjadi instrumen untuk mengatasi konflik dan mempromosikan demokrasi. Konstitusi juga berfungsi sebagai mekanisme netral untuk resolusi konflik. (Hanna Lerner, 2011:1&36). Letupan konflik sosial sebetulnya dapat dimitigasi jika kultur berkonstitusi telah terinternalisasi dalam masyarakat terbelah.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar