Kamis, 20 Agustus 2015

Tangisan Ibu Pertiwi

Tangisan Ibu Pertiwi

Suwidi Tono  ;   Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
                                                       KOMPAS, 19 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu lalu, saya bertemu Surono Danu (63), petani dan penangkar benih luar biasa yang menemukan dan mengembangkan 19 varietas padi lokal sejak puluhan tahun silam. Terdorong idealisme membantu petani, jebolan Institut Pertanian Bogor (tidak tamat) ini membagikan temuan benih unggulnya kepada petani di seluruh negeri secara cuma-cuma. Kini, ribuan petani berlahan marjinal seperti daerah rawa pasang surut dan lahan kering merasakan manfaat varietas Sertani (akronim dari Sejahterakan Petani) yang terkenal tahan penyakit dan hemat unsur hara.

Bersinergi dengan pupuk pembugar tanah organik, inovasinya memenuhi tiga kelebihan sekaligus: mandiri, produktif, ramah lingkungan. Ia tak bersedia melepas temuannya meski ditawar tinggi perusahaan asing. Alih-alih didukung dan dibantu, Surono pernah dibui, dituduh melanggar undang-undang perbenihan.

Kisah Dasep Ahmadi, alumnus Institut Teknologi Bandung, lebih mengenaskan. Penggagas mobil listrik ini harus meringkuk di penjara gara-gara uji coba mobil ciptaannya. Mimpi besar untuk menciptakan mobil nasional ternyata malah tersandung penafsiran lain penegak hukum.

Pada fakta sebaliknya, ada pegawai negeri sipil (PNS) dengan pangkat biasa, tetapi punya rekening triliunan rupiah, yang diduga jadi penampungan uang bisnis haram. Di pengadilan, PNS tersebut divonis bebas. Demikian pula terbongkarnya kasus prajurit tamtama bertransaksi triliunan rupiah tidak cukup menggerakkan penegak hukum menelisik tali-temalinya.

Ilustrasi fakta-fakta tersebut adalah wajah Indonesia hari ini. Kita bukan hanya kehilangan rasa hormat atas daulat negeri, bahkan tega menyia-nyiakan dan membunuh tunas-tunas kemandirian anak negeri. Kita tak saja meremehkan korupsi yang merasuk sangat dalam ke perangkat negara, tetapi juga membiarkan berbagai keganjilan praktik hukum melela di depan mata.

Panasea

Realitas empirik 70 tahun Indonesia merdeka menyajikan gambaran besar kemiskinan nilai-nilai keluhuran dan kedaulatan. Kealpaan membangun dan meneguhkan martabat itu bermula dari keteledoran mendiseminasikan cita-cita besar bersama. Bersanding maraknya akrobat politik kepentingan, pengkhianatan terhadap daulat dan amanat rakyat terus terjadi.

Setelah produksi kayu hasil hutan surut, sungai-sungai dan jalan-jalan di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan sekarang diramaikan hilir mudik tongkang dan truk yang mengangkut batubara, nikel, tandan kelapa sawit, dan getah karet. Penggundulan hutan tropis yang memusnahkan ekosistem kaya raya biodiversitas, berganti kegiatan penambangan besar masif dan perkebunan monokultur, hanya menyisakan sedikit "tetesan" bagi penguatan kapasitas ekonomi lokal dan nasional.

Panen kebakaran dan kebanjiran rasanya segera disusul oleh penampakan kawah-kawah besar bekas penambangan di perut bumi. Predatorik dan hegemonik tetap merupakan karakteristik melekat dalam bangun ekonomi dari rezim ke rezim.

Kita bersemangat mengumandangkan koordinasi, tetapi yang mencuat malahan egosektoral. Lihatlah antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam kebijakan impor bahan pangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Daerah Tertinggal menyangkut alokasi anggaran untuk desa. Kementerian Keuangan dan Badan Pertanahan Nasional mengenai investasi properti oleh modal asing, serta menonjolnya arogansi dan tafsir sepihak di kalangan institusi penegak hukum. Semua menunjuk pada krisis kepemimpinan dan kenegarawanan.

Seluruh kekisruhan ini melahirkan kultur self fulfilling prophecy dalam maknanya yang negatif, yakni kecemasan menumpuk yang berubah jadi kenyataan. Pejabat dan orang-orang kaya sengaja menyimpan dollar bukan semata-mata didorong hasrat profit taking, melainkan mereka tidak percaya dengan kebijakan pemerintahnya sendiri.

Namun, masih banyak pribadi dan komunitas yang menjaga marwah bangsa melampaui apa yang dikerjakan dan dipikirkan elite negeri. Keanekaragaman tindakan dan kekayaan nurani tetap tumbuh subur jadi penawar dahaga keteladanan. Moralitas bangsa tak benar-benar terkoyak karena tenunan persaudaraan dan persatuan masih terajut di berbagai belahan negeri.

Agaknya kita memerlukan semacam panasea, obat dewa, untuk mengatasi kebobrokan terstruktur pada entitas kebangsaan. Dengan ringkas dapat disebutkan, terapi obat dewa itu adalah kombinasi kepemimpinan dan ketegasan yang tak menoleransi pembangkangan dan penyimpangan praktik bernegara. Jalan ke arah ini perlu dipandu para "panglima otentik" yang telah selesai dengan urusannya sendiri dan tertantang menunaikan tugas sejarah.

Kanon pikiran-tindakan

Mengapa para "panglima otentik" perlu terpanggil dan dipanggil? Kita ditantang mengikis dan, jika harus, membombardir berkecamuknya bermacam-macam agenda yang berpotensi mencerai-beraikan persatuan, keadilan, dan bhinneka tunggal ika. Kita perlu kanon pemikiran dan tindakan untuk mengatasi dan melampaui semua itu, selanjutnya menapak pada perwujudan mimpi menjadi Indonesia.

Kita butuh panduan moralitas kuat yang terpancar dalam setiap eksekusi terhadap kejahatan politik-ekonomi melembaga. Dukungan dan sumbangsih seluruh elemen bangsa untuk menjemput dan menaklukkan tantangan yang semakin berat bukan hanya diperlukan, juga dibangkitkan lewat praksis-praksis keteladanan otentik yang membubungkan semangat dan harapan. Kita tidak boleh membiarkan sistem meritokrasi kepemimpinan yang kacau dan degil di semua lini sehingga rakyat jadi korban.

Para pendiri bangsa adalah elite terdidik dan terpelajar, berperilaku asketis menjurus zuhud. Keluhuran moralitas dan keteguhan keyakinan mendasari sikap dan tindakannya. Oleh karena itu, mereka mewariskan kanon pemikiran dan tindakan, sumber inspirasi yang tetap relevan sampai sekarang. Kita hanya perlu merekonstruksinya untuk Indonesia hari ini dan ke depan agar tangisan Ibu Pertiwi tak berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar