Sabtu, 22 Agustus 2015

Doa 70 Tahun Negeri

Doa 70 Tahun Negeri

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                 KORAN TEMPO, 21 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada kesan tersisa dari mengikuti perayaan hari ulang tahun ke-70 Republik Indonesia di Istana Negara, walau cuma lewat siaran televisi. Bukan soal pasukan pengibar bendera atau Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tak mengangkat tangan saat menghormati bendera. Apalagi soal Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak hadir, sementara Megawati hadir.

Yang berkesan adalah doa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Alinea pertama setelah pembacaan ayat-ayat suci, masih umum. Mengucap syukur dan mengagungkan kemahakuasaan Sang Pencipta, doa "formal" di setiap agama. Tapi alinea kedua menukik ke masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. "Berikanlah kami kedewasaan kehidupan berpolitik dan berdemokrasi. Mudahkanlah kami dalam bekerja dan menumbuhkan budaya kerja...." Itu cuplikannya.

Artinya, kehidupan politik kita diyakini belum dewasa. Partai politik dengan mudahnya bisa pecah hanya karena masalah sepele, berebut menjadi ketua umum. Bukan persoalan ideologis atau masalah program. Demokrasi kita masih coba-coba dan berpatokan pada kasus sesaat, bukan melihat ke depan. Dalam hal pemilihan kepala daerah, misalnya, calon independen dan persyaratan partai mengusung calon kepala daerah diperberat. Alasannya, calon menjadi tidak banyak sehingga masyarakat tidak bingung memilih. Tatkala kemudian calonnya justru tunggal, kehebohan terjadi. Bagaimana memilih kalau calonnya hanya satu?

"Mudahkanlah kami dalam bekerja dan menumbuhkan budaya kerja" adalah kritik khas setiap pelantun doa untuk menyatakan bahwa saat ini bekerja itu masih sulit, apalagi menumbuhkan budaya kerja. Orang bisa berkata (dan membaca): "Ayo kerja, kerja, dan kerja." Bagaimana petani bekerja kalau sawahnya kering? Musim lalu disalahkan, padahal sejak dulu April-Oktober adalah musim kemarau di Nusantara. Kalau saja irigasi mendapat perhatian pemerintah, mata air tidak mengering karena hutan yang dibabat. Air masih mengalir. Itu pun harus diprioritaskan untuk petani, bukan disalurkan ke hotel dan orang-orang kaya di kota. Orang kota itu harus dicarikan alternatif lain, misalnya, menyuling air laut. Ini sekadar contoh.

Sulit menumbuhkan budaya kerja saat kemewahan masih dipertontonkan, apalagi yang diperoleh dengan korupsi dan perbuatan terkutuk lain. Masyarakat tak lagi bodoh. Oke, disuruh kerja keras, tapi mereka melirik pejabat yang menyuruh itu. Apa mereka juga bekerja untuk rakyat? Masyarakat bertanya dalam diam, apa yang akan dikerjakan calon bupati itu setelah terpilih, kok berani membayar mahal ongkos politik yang begitu besar yang tak sebanding dengan gajinya selama lima tahun? Prasangka pun muncul, dan ini menggoyahkan budaya kerja yang sebenar-benarnya bekerja.

Alinea ketiga doa Menteri Agama adalah pernyataan yang umum, tapi menjadi beda jika disampaikan dalam upacara kenegaraan yang sakral. "...hindarkanlah bangsa dan negara kami dari marabahaya, fitnah antar-suku, agama, ras, dan antargolongan yang dapat memecah-belah kesatuan bangsa." Kita bisa merinding jika melihat kecenderungan di masyarakat yang masih mempermainkan "perbedaan" SARA dengan maksud memecah bangsa.

Tuhan tentu mendengar doa ini. Tapi, di atas segalanya, seharusnya kita sendiri-terutama para pemimpin-yang lebih dulu mendengarkannya dan mengamini, tidak dengan basa-basi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar