Jumat, 21 Agustus 2015

Pendidikan untuk Merdeka

Pendidikan untuk Merdeka

Ignas Kleden  ;   Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
                                                       KOMPAS, 20 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang tiap 17 Agustus, kita teringat lagi akan metafor Bung Karno tentang kemerdekaan, yang diibaratkannya sebagai sebuah jembatan, bahkan jembatan emas. Indonesia harus menyeberangi jembatan itu, barulah di seberangnya dapat diselesaikan berbagai masalah lain yang akan dihadapi sebagai suatu bangsa.

Setelah 70 tahun merdeka, makin terlihat di antara berbagai masalah menyangkut ekonomi, politik, sosial-budaya, dan hubungan internasional, ada masalah lain, yaitu seberapa jauh kemerdekaan politik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sudah berhasil mengubah perilaku sebuah bangsa terjajah jadi bangsa yang merdeka dalam sikap, perilaku, dan alam pikirannya. Apakah kemerdekaan politik menghasilkan sikap merdeka dalam kebudayaan? Apakah terlepasnya Indonesia dari penjajahan asing menghasilkan kebebasan yang lebih leluasa dalam jiwa dan pikiran yang lebih terbuka dalam berhadapan dengan kesulitan sehari-hari?

Bung Hatta sudah mengatakan bahwa kemerdekaan perlu disertai pendidikan yang bertujuan memberi pengertian, keinsafan dan keyakinan. Orang-orang yang punya pengertian dan keyakinan sudah merdeka dalam semangatnya, meski negerinya masih diperintah oleh kekuasaan asing. Pernyataan itu dapat mengandung implikasi: orang-orang yang tidak punya pengertian dan keyakinan tetap jadi orang yang tidak merdeka dalam semangatnya, sekalipun bangsanya sudah terlepas dari kungkungan suatu pemerintahan asing.

"Pemindahan kekuasaan" yang dinyatakan dalam proklamasi hendak diselesaikan "dalam tempo sesingkat-singkatnya", tetapi kemudian kita berurusan dengan "pemindahan budaya" yang mungkin belum selesai juga setelah lewat 70 tahun. Penjajahan asing sudah lama berakhir, tetapi akibat-akibat penjajahan dapat lebih lama mengendap dalam perilaku orang- orang di suatu bekas koloni.

Nalar dan kepribadian

Akibat-akibat penjajahan itu tak selalu merupakan peninggalan yang buruk. Tradisi menghormati hukum negara yang diwariskan oleh Inggris di berbagai bekas jajahannya bertahan hingga sekarang. Kehidupan dalam negara bukanlah kehidupan liar yang didasarkan pada improvisasi dari waktu ke waktu, tetapi suatu kehidupan berdasarkan aturan hukum, sehingga perilaku orang dapat diramalkan karena mengikuti pola yang mengikuti peraturan yang berlaku.

Dalam satu konferensi internasional di Penang, Malaysia, saya datang terlambat sehari. Turun dari pesawat saya segera naik taksi menuju tempat konferensi. Setelah duduk dalam taksi beberapa saat lamanya, sopirnya tidak menghidupkan mesin sehingga saya menegurnya untuk segera berangkat karena saya sudah terlambat. Dengan sopan dalam sikap formal dia menjawab, "Please fasten your seat belt, Sir, according to Malaysian law" (Silakan ikat sabuk pengaman Tuan, menurut hukum Malaysia). Saya agak kaget karena diperingatkan oleh seorang sopir taksi untuk taat pada hukum negaranya.

Penjajahan Belanda dengan segala penindasan yang dilakukannya meninggalkan satu hal baik yang patut dicatat, yakni pendidikan modern yang diberikannya di Hindia Belanda sebagai implementasi Politik Etis pada awal abad ke-20. Sekalipun tujuan akhir pendidikan itu untuk mendapatkan tenaga-tenaga berpengetahuan dan bisa menjadi pegawai yang diandalkan untuk melestarikan penjajahannya atas Hindia Belanda, pendidikan yang diberikan ternyata bermutu tinggi. Hasil pendidikannya sudah kita ketahui, yaitu generasi pendiri republik ini, yang memiliki pengetahuan dan kecakapan yang dapat dibandingkan dengan lulusan sekolah mana pun di negara maju lainnya, baik sekolah menengah maupun universitas.

Standar pendidikan di HBS Batavia atau Surabaya pada masa itu dipastikan sama kualitasnya dengan HBS di Amsterdam. Inilah suatu bukti bahwa pendidikan yang mengembangkan nalar dengan benar, dan membentuk kepribadian yang etis, pada akhirnya tidak bisa membenarkan tujuan yang tidak benar, yang hendak dilayani oleh pendidikan itu. Tidak semua lulusan mau bekerja sebagai pegawai di perusahaan, kantor, atau birokrasi Belanda. Banyak yang memilih menjadi manusia bebas yang memimpin bangsanya melepaskan diri dari penjajahan.

Makna pendidikan ini diungkapkan Sukarno dalam epigram sebuah artikelnya. Dia menulis "men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is" (orang tidak dapat mengajar apa yang dia mau, orang tidak dapat mengajar apa yang dia tahu, orang hanya dapat mengajarkan apa yang ada dalam dirinya).

Konon, Mussolini-pemimpin fasisme Italia dalam Perang Dunia II-pernah berkata bahwa demokrasi sudah passé, sudah tamat riwayatnya, karena orang sudah letih dengan kebebasan. Mengomentari pernyataan ini, John Dewey-filosof dan penganjur serta pembela demokrasi yang gigih dalam pendidikan di AS-mengatakan mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Mussolini. Kebebasan dan kemerdekaan politik bukanlah suatu keadaan kosong, tapi mengandung tugas dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Keadaan tak bebas membuat kehidupan ditentukan pihak lain, dan kita hanya perlu melaksanakannya tanpa perlu berpikir mengenai alasan dan konsekuensinya. Suatu ketergantungan seperti itu diubah oleh kemerdekaan menjadi kehidupan yang ditentukan sendiri oleh seseorang yang harus berdiri tegak di atas kakinya dan memutuskan setiap saat apa yang harus dilakukan, sebaiknya dilakukan, atau tidak boleh dilakukan, agar tidak meniadakan hormatnya pada kebebasan sebagai martabat dirinya sebagai orang merdeka.

Ada relasi ganda dalam tiap kebebasan, yaitu hubungan keluar, khususnya dengan pembatasan-pembatasan eksternal, dan hubungan ke dalam antara tiap orang dengan dirinya sendiri. Dalam kasus pertama, para ahli psikologi dan filsafat menamakannya keadaan "bebas dari" atau freedom from, sedangkan dalam kasus kedua ditunjuk keadaan "bebas untuk" atau freedom for. Situasi "bebas dari" merujuk ke halangan atau pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dari luar untuk seseorang. Kalau hambatan-hambatan itu hilang dan pembatasan-pembatasan disingkirkan, seorang menjadi "bebas dari". Dalam kasus kedua, kebebasan ibarat modal yang harus diputar seseorang untuk menghasilkan keuntungan dan kemajuan yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Ada kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi dalam kebebasan. Psikolog Erich Fromm mengingatkan dalam bukunya Escape From Freedom (Lari dari Kebebasan): kebebasan mengandung tanggung jawab dalam melakukan pilihan-pilihan yang tersedia. Orang yang enggan memanfaatkan kebebasan sebagai fasilitas dan tugasnya, atau orang yang memilih tidak melakukan pilihan apa pun, cenderung jatuh kembali pada jebakan sikap tidak merdeka, khususnya jebakan otoritarianisme.

Filosof Inggris, Francis Bacon, menamakan sikap tidak merdeka ini sebagai insting menyembah beberapa jenis berhala atau idols. Orang yang tidak membuka dirinya untuk mengonfrontasikan prasangka dan kepentingan-kepentingan diri dengan pemikiran orang lain seakan mengubah dirinya jadi sebuah gua tempat dia menyembunyikan diri dan merasa aman di dalamnya. Dia menyembah idol of the cave. Pun demikian orang yang terkungkung dalam kelompok suku atau kelompok etnik dan memandang orang dari kelompok lain sebagai ancaman dan bahaya, mencari perlindungan dalam idol of the tribe. Sebaliknya, orang yang tak berani mempertahankan pendirian dan pikirannya, dalam berhadapan dengan keyakinan umum dalam suatu lingkungan, dan percaya saja kepada segala apa yang dikatakan oleh orang-orang sekitarnya, seakan menemukan dalam komunitasnya idol of the market-place yang mendiktekan bagaimana dia harus berlaku dan bertindak. Ibaratnya di tengah pasar dia hanya bisa membeli apa yang ditawarkan. Sementara itu, mereka yang percaya secara mutlak kepada apa yang diterimanya dalam tradisi, tanpa keberanian untuk memikirkannya kembali, memperlakukan ajaran dan nilai-nilai yang diterimanya sebagai idol of the theatre. Mereka bertindak sebagai para aktor yang harus menghafal naskah dialog dan kemudian mementaskannya dalam pertunjukan teater untuk ditonton.

Lepaskan dari ketergantungan

Kemerdekaan suatu bangsa berarti dia menyatakan bebas dari ketergantungan kepada suatu kekuasaan dari luar. Dia di- anggap sanggup mengatur diri sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. Kemerdekaan yang dirayakan pada tiap 17 Agustus adalah suatu konsep kolektif. Pernyataan diri untuk bebas dari ketergantungan asing adalah pernyataan diri berbagai kelompok orang yang kemudian menyatakan bersatu dalam suatu kesatuan bangsa.

Namun demikian, kemerdekaan kolektif ini selanjutnya direalisasikan secara individual pada diri tiap orang yang jadi anggota bangsa tersebut. Terlepasnya suatu bangsa dari ketergantungan pada suatu kekuatan dan penguasaan asing menjadi prasyarat bahwa tiap individu anggota bangsa itu juga dapat membebaskan dirinya dari ketergantungan pada kekuatan- kekuatan domestik yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan dirinya.

Perjuangan kemerdekaan suatu bangsa untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada kekuasaan asing kini diganti perjuangan dalam pendidikan guna membantu tiap individu melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam negeri sendiri, yang dapat menghambat perkembangan seseorang menjadi individu yang berdiri sendiri, tidak bergantung, dan tidak mengandalkan pihak-pihak di luar dirinya untuk bisa berkembang dan mencapai kematangan dan kemandirian untuk maju. Ini artinya, keberhasilan pendidikan diukur berdasarkan berhasil atau gagalnya pendidikan itu membuat peserta didik menjadi orang yang tidak hidup dari ketergantungan, tetapi dapat berdiri di atas kaki sendiri untuk membangun nasibnya berkat kemajuan yang dicapai melalui usaha yang dijalankannya dengan memanfaatkan kesempatan yang ada.

Pada usia kemerdekaan nasional ke-70, kita sepatutnya bertanya: apakah pendidikan nasional kita membuat peserta didiknya semakin bebas dan mandiri sebagai seorang pribadi yang merdeka, atau makin menjebak mereka dalam ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan yang ada di luar diri mereka? Kita mencatat bahwa pendidikan selama Orde Baru telah memperluas kesempatan pendidikan secara ekstensif, menambah jumlah sekolah, memberi beasiswa untuk sekolah menengah dan pendidikan tinggi; dan dalam masa Reformasi sekarang, menambah anggaran pendidikan hingga 20%. Semua ini merupakan kemudahan untuk pendidikan, tetapi baru menyangkut fasilitas secara fisik. Kita tahu pendidikan selama Orde Baru amat berhasil mendidik ketaatan kepada kekuasaan dan kontrol, tetapi relatif menciptakan banyak pembatasan untuk kebebasan dan kreativitas. Sistem ujian pilihan ganda cenderung membuat orang tidak sanggup berpikir out of the box karena pertanyaan dan jawaban sudah dibatasi dalam suatu kerangka yang tidak boleh diterobos. Peserta didik tidak mencari jawaban menurut nalar mereka, tetapi hanya memilih di antara kemungkinan jawaban yang sudah disediakan.

Tiap kekuasaan amat berkepentingan dengan pendidikan, apakah kekuasaan kolonial atau kekuasaan nasional. Reformasi 1998 melakukan pembaruan dalam banyak sektor, tetapi tak sanggup menerobos perangkap pendidikan untuk ketaatan pada kekuasaan, dan menggantinya dengan pendidikan untuk ketaatan kepada nalar yang bebas dan hati nurani yang etis.

Kini kita menanggung akibatnya. Korupsi yang semakin meluas, permainan hukum untuk kepentingan pragmatis dan bukan untuk keadilan, sikap mementingkan diri dan bukan mengutamakan institusi dalam berorganisasi, ketergantungan berlebihan kepada modal asing dan bukannya memperkuat potensi ekonomi nasional, hilangnya rasa salah dan rasa malu melakukan kecurangan dalam ujian nasional, hilangnya semangat bertarung dalam olahraga, sikap yang demikian lemah menghadapi godaan uang, hingga merosotnya hormat kepada manusia hanya berdasarkan jabatan dan kekayaan dan bukan berdasarkan martabatnya. Semua ini dicoba dipahami dengan berbagai alasan teknis, tetapi jarang membawa kita kepada refleksi tentang pendidikan yang tidak membuat orang merdeka, tetapi membuat mereka semakin tergantung.

Kita bisa diingatkan oleh ucapan filosof Friedrich Nietzsche: manusia adalah makhluk yang harus mengatasi dirinya sendiri. Dalam hal Indonesia, manusia adalah makhluk yang harus mengatasi ketergantungan dan kesukaan untuk terus-menerus tergantung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar