Minat Baca Tak Bisa Menunggu
Agus M Irkham ;
Pegiat Literasi
|
KORAN
TEMPO, 19 Agustus 2015
Menteri Pendidikan Anies Baswedan,
Jumat (24 Juli 2015), mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 21/2015
tentang program penumbuhan budi pekerti (PBP). Anies mengatakan, mulai tahun
ajaran baru 2015/2016, permen tersebut harus sudah dijalankan melalui
serangkaian kegiatan harian bersifat wajib maupun piihan.
Salah satunya berupa kewajiban
siswa membaca buku non-pelajaran 15 menit sebelum jam pelajaran pertama
dimulai. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan potensi siswa serta
memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan minat-bakatnya melalui buku
yang dibaca.
Tentu saja, guna melancarkan
kegiatan wajib baca tidak bisa lagi mengandaikan adanya sarana utama, yaitu
perpustakaan dan koleksi buku yang memadai, baik dari sisi jumlah atau kuantitas
maupun kualitas dan keragamannya. Artinya, buku-buku yang ada harus sesuai
dengan kebutuhan pembaca setempat.
Kesadaran tersebut telah
diafirmasi pemerintah melalui pengesahan payung hukum, yaitu Undang-Undang RI
Nomor 43/2007 tentang Perpustakaan: "Setiap sekolah/madrasah
menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan
dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan (pasal 23 ayat 1)."
Hanya, saat kita melihat kenyataan
yang terjadi di lapangan, apa yang tertuang dengan bagus dalam UU tersebut
masih jauh panggang dari api. Salah satu asnad yang dapat saya ajukan adalah
dari segi jumlah perpustakaan sekolah. Dari jumlah total sekolah dasar (SD)
di Indonesia yang mencapai 148 ribu lebih, SD yang memiliki perpustakaan baru
50 ribu (30 persen). Sementara itu, SMP 13 ribu perpustakaan (36 persen), dan
SMA 9.000 perpustakaan (54 persen).
Lantas bagaimana "benang
kusut" kondisi tersebut hendak diudar? Dalam jangka pendek,
sekolah-sekolah yang belum memiliki perpustakaan, atau sudah ada, tapi
koleksi bukunya tidak memadai, bisa bekerja sama dengan perpustakaan
desa/kelurahan, taman bacaan masyarakat (TBM), dan perpustakaan daerah
(kabupaten dan kota).
Bentuk kerja samanya berupa
peminjaman buku. Kerja sama ini digagas bertitik mula dari kesadaran bahwa
minat baca tidak bisa menunggu. Ketiadaan bacaan akan membuat para siswa yang
semula memiliki minat baca tinggi menjadi malas membaca. Momentum pembentukan
reading habit melalui kegiatan jam wajib membaca pun akhirnya bisa hilang.
Hanya, meskipun model kerja sama
peminjaman buku tersebut bisa menolong, dalam jangkan panjang tidak akan
berkelanjutan. Selain jumlah bacaan yang dimiliki perpustakaan desa dan TBM
terbatas, ada pula masalah cakupan layanan-jika bekerja sama dengan perpustakaan
daerah. Rasa-rasanya mustahil jika perpustakaan daerah harus melayani
peminjaman buku ke semua sekolah se-kabupaten.
Untuk itu, yang harus diupayakan
segera adalah membangun perpustakaan sekolah. Saat ini terdapat sekitar 200
ribu sekolah dari tingkat SD sampai SMU. Sesuai dengan Pembukaan Manifesto
UNESCO bersama IFLA (International Federation of Library Associations and
Institutions) tentang Perpustakaan Sekolah, pemerintah yang berkewajiban
membangun. Artinya, dalam jangka panjang pewajiban membaca pada siswa tidak
akan efektif jika tidak disertai pembangunan perpustakaan yang memenuhi
standar, sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar