Tragedi Badan yang Memendek
Agus Pakpahan ;
Ekonom Kelembagaan
|
KORAN
TEMPO, 19 Agustus 2015
Rata-rata tinggi badan pria dan
wanita di Tiongkok 174,7 sentimeter (161,3 cm pada 2010). Tinggi badan
rata-rata orang Belanda: pria 183,8 cm dan wanita 170,7 cm. Sementara itu,
pada 1997 tinggi badan rata-rata pria Indonesia adalah 158 cm dan kaum
wanitanya 147 cm (https://en.wikipedia.org/wiki/Human_height). Kompas, 15 Juli 2011, memberitakan bahwa
anak-anak Indonesia makin pendek dan gemuk. Ini sebuah tragedi.
Profesor Soekirman, Deputi Sumber
Daya Manusia di Bappenas, pada awal 1990-an sangat memberikan perhatian
terhadap masalah tinggi badan manusia Indonesia ini. Tinggi badan merupakan cermin kesejahteraan
rakyat yang dapat diamati langsung oleh mata telanjang, tidak memerlukan
penghitungan dan pengukuran yang rumit. Tinggi badan merupakan resultante
dari segala faktor yang menentukan kualitas manusia. Di sini kita bicara umum, bukan kasus per
kasus.
Mengapa rerata tinggi badan kita
memendek? Secara umum, bangsa dan rakyat Indonesia telah mengalami kesulitan
hidup sangat lama. Dewasa ini, dapat dibayangkan kualitas hidup yang dialami
rakyat dengan konsumsi protein hewani hanya sekitar 13,5 gram per kapita per
tahun apabila disandingkan dengan kualitas hidup bangsa Eropa yang
mengkonsumsi protein hewani rata-rata per kapita per hari sekitar 70 gram.
Artinya, diukur tingkat konsumsi protein hewani, bangsa Indonesia tertinggal
sekitar 2.000 kali dibanding bangsa Eropa.
Adakah pelajaran yang bisa kita
petik dari negara-negara yang mencapai kemajuan melalui pertumbuhan ekonomi,
sebagaimana tergambar dalam pendapatan per kapitanya yang makin tinggi dan
sekaligus pula tinggi badannya meningkat?
Hasil riset Drukker dan Tassenaar
menunjukkan bahwa bangsa Belanda pernah mengalami pemendekan tinggi badannya
bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara ini.
Proses pemendekan tinggi badan bangsa Belanda terjadi pada paruh pertama abad
ke-19.
Belanda dijadikan kasus studi
sangat menarik, mengingat dewasa ini penduduknya secara rata-rata memiliki
tinggi badan tertinggi di dunia. Dalam studinya, Drukker dan Tassenaar
mencoba melihat kembali hasil studi Komlos yang menyatakan bahwa proses
pemendekan tinggi badan penduduk ini disebabkan oleh bekerjanya sembilan
faktor: ketimpangan pendapatan, peningkatan harga pangan secara relatif
terhadap harga barang industri, meningkatnya variasi fluktuasi pendapatan
masyarakat pada umumnya dari tahun ke tahun, semakin banyak penduduk yang
tergantung pada ekonomi pasar yang tidak stabil, sehingga semakin rentan
terhadap peningkatan harga pangan, peningkatan populasi bersamaan dengan
menurunnya keekonomian tenaga kerja pertanian, meningkatnya urbanisasi, dan
industrialisasi yang menyebabkan penurunan produksi pangan, penyerapan tenaga
kerja kanak-kanak, peningkatan kepadatan penduduk, serta urbanisasi dan
perdagangan yang menciptakan lingkungan yang subur untuk penyebaran
penyakit. Hasil riset Joerg Baten
dalam "Global Height Trends in
Industrial and Developing Countries, 1810-1984: An Overview"
memperkuat penemuan bahwa produksi protein dan kesenjangan pendapatan
merupakan faktor penentu pemendekan tinggi tubuh.
Bagaimana kita memaknai hari
Kemerdekaan RI ke-70? Mungkin kita perlu kembali ke hal yang mendasar
pembangunan demi pemerdekaan manusia Indonesia. Merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar