Sabtu, 19 Juli 2014

Uji Kredibilitas Lembaga Survei

                               Uji Kredibilitas Lembaga Survei

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN,  17 Juli 2014
                                                


Rakyat sudah memilih calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada 9 Juli 2014. Pemilihan presiden (Pilpres) kali ini mesti menghasilkan sosok presiden yang jauh lebih baik dari sebelumnya, bukan hanya baik dari aspek rekam jejak, melainkan juga baik dalam hal pemilihan alias tidak diraih karena kecurangan. Karena itu, aneh jika hasil hitung cepat atau quick count (QC) oleh lembaga survei tentang hasil pilpres menjadi berbeda.

Ada empat lembaga survei yang menampilkan hasil berbeda dengan delapan lembaga lainnya. Secara sederhana, bisa dinilai ada problem yang menyebabkan hasilnya berbeda, yakni ada lembaga survei yang salah metodologinya, memanipulasi data, atau malah berbohong. Jika hasil QC berbeda lantaran kesalahan metodologi, dalam tradisi ilmiah bisa dimaklumi sehingga bisa diperbaiki.

Namun, yang celaka dan tidak mungkin diampuni jika metodologi sengaja dibuat keliru atau sengaja berbohong. Sebagai contoh, sengaja mengambil sampel lebih banyak di basis kekuatan capres tertentu dengan maksud hasil QC memenangkan capres yang memberi imbalan besar.

Lebih celaka lagi jika hasil QC yang ditampilkan ke publik adalah yang tidak betul karena dibayar. Padahal, hasil hitung cepat yang sesungguhnya betul sesuai kaidah ilmiah disembunyikan. Inilah yang disebut pelacuran ilmiah atau kebohongan ilmiah yang tidak punya tempat dalam alam demokrasi.

Rujukan Terpercaya

Hitung cepat dalam alam demokrasi menjadi rujukan terpercaya oleh rakyat setelah mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS).

Mengetahui hasil QC, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum merekapitulasi manual (real count), setidaknya memberikan prediksi atau gambaran awal tentang siapa pemenang pemilu. Tujuannya, menenangkan rakyat dari kegelisahan menanti hasil penghitungan suara yang waktunya cukup renggang setelah pencoblosan, padahal mereka ingin mengetahui hasilnya dengan cepat.

Lebih dari itu, QC dapat berfungsi sebagai instrumen konfirmasi dan alat kontrol bagi penyelenggara, dari kemungkinan adanya kecurangan dalam perjalanan rekap suara dari TPS, PPS, PPK, sampai KPU. QC adalah kerja ilmiah yang dipercaya hasilnya sepanjang teknik penentuan dan pengambilan sampel, jumlah sampel, keterwakilan areal populasi, integritas pengumpul dan pengolah data, serta tidak punya tendensi.

Berkaca hasil QC pemilihan kepala daerah (pilkada) selama ini, hampir semuanya betul dengan hasil KPU, meski tidak persis sama angkanya dengan margin error (garis merah) antara 1-2 persen, dengan sampel minimal 2.000 TPS.

Sebenarnya, QC tidak akan menjadi perdebatan dan pembohongan terhadap publik jika sekiranya dikembalikan ke poisinya, sebagai alat kontrol dari kemungkinan terjadi kecurangan. Metode QC dilakukan di berbagai negara demokrasi. Indonesia mulai menggunakan QC pada Pilpres 2004.

 Hasilnya persis sama dengan rekapitulasi KPU yang memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK). QC digunakan di pilkada dan hasilnya selalu sama dengan rekap KPU yang dilakukan lembaga survei terpercaya dan menggunakan metode yang benar.

Dalam tataran ilmiah, QC merupakan pertaruhan dalam demokrasi. Jika lembaga survei yang melakukan QC ternyata hasilnya berbeda, tentu tidak benar salah satunya, membohongi rakyat.

Wajar jika Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) mencurigai hasil hitung cepat yang berbeda itu dan akan menindak lembaga survei yang melakukan penyimpangan metode jika melanggar kode etik.

Ada empat lembaga survei yang memenangkan Prabowo-Hatta, yaitu Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Indonesia Research Center (IRC), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI), dengan keunggulan antara 0,58 persen sampai 4,10 persen.

Sementara itu, ada delapan lembaga survei yang hasil QC-nya mengunggulkan Jokowi-JK. Kedelapan lembaga survei itu, antara lain LSI (Lembaga Survei Indonesia), SMRS (Saiful Mujani Research and Consulting), CSIS-Cyrus, Indikator Politik Indonesia (IPI), Populi Center, Litbang Kompas, dan RRI. Begitu pula Poltracking juga memenangkan Jokowi-JK. Hasil hitung cepat kesembilan lembaga survei itu memenangkan Jokowi-JK dengan keunggulan 3,80-6,72 persen.

Perbedaan semestinya tidak terjadi jika menggunakan metode ilmiah yang benar. Ini karena yang didata adalah fakta dari hasil penghitungan suara di TPS. Hal ini menjadi pertaruhan kredibilitas lembaga survei sebab seharusnya hasilnya sama tentang siapa pemenangnya.

Oleh karena itu, rakyat gamang menyaksikan perbedaan tersebut. Tetapi rakyat juga sadar, kepastian pemenangnya ada saat KPU mengumumkan hasil rekapitulasi suara manual. Berkaca hasil QC lembaga survei terpercaya dan kredibel selama ini, hasilnya selalu sama dengan hasil hitungan KPU.

Jaga Kebinekaan

Tidak bijaksana mencontohkan sikap yang jauh dari negarawan, yang hanya mau menang, tetapi tidak siap kalah dengan menggalang opini publik yang tidak sesuai fakta suara rakyat. Itu termasuk sikap dan pernyataan elite politik yang mendukung pasangan capres, agar tidak memicu perdebatan di ruang publik.

Gestur dan sikap para elite akan senanatiasa dijadikan panutan oleh para pengikutnya. Saat elitenya bergembira, para pendukung ikut gembira. Begitu pula sebaliknya yang bisa sedih.

Menjaga harmoni kebinekaan merupakan keniscayaan bagi kelangsungan hidup negeri ini. Kesiapan menerima kemenangan atau kekalahan, sekalipun dalam sebuah kontestasi politik, adalah bagian sikap negarawan sejati.

Jangan hanya mahir dipidatokan saat berkampanye atau saat debat capres, sikap negarawan harus memancar dalam perilaku saat menerima hasil penghitungan suara KPU pada 22 Juli 2014, termasuk hasil QC yang menimbulkan hasil berbeda.

Kita dukung audit dan investigasi yang dilakukan Persepi untuk mencari siapa yang keliru terhadap dua kubu lembaga survei itu. Para pemimpin lembaga survei harus sadar dan tidak menjual kredibilitasnya hanya karena kepentingan uang. Jika kemudian terbukti hasil QC-nya salah, dimanipulasi, dan berbeda dengan rekapitulasi KPU, bersiaplah menerima sanksi dikucilkan dan tidak laku lagi pada pemilu berikutnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar